Momentum Menata Birokrasi
"Minimnya profesionalitas sebagian besar pegawai diperparah juga dengan ketidaksesuaian disiplin ilmu dan penempatan bidang kerja"
KEBIJAKAN pemerintah menunda (moratoriun) penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) akhirnya dilakukan. Realisasinya berlaku 16 bulan, sejak 1 September 2011 hingga 31 Desember 2012. Walau demikian kebijakan moratorium tidak berlaku untuk tenaga pendidik dan kesehatan. Lahirnya kebijakan moratorium tentu tak lepas dari rasio antara pegawai dan jumlah penduduk. Melihat penduduk Indonesia sebanyak 240 juta, dibandingkan jumlah PNS yang mencapai 4,7 orang, dapat dikatakan bahwa rasio jumlah PNS dengan penduduk Indonesia tergolong relatif kecil, yakni sekitar 1,98%.
Angka rasio penduduk dengan jumlah PNS negara kita tergolong masih moderat ketimbang negara tetangga. Misalnya Malaysia mencapai 3,7%, Filipina 2,9%, Vietnam 2,1%, Kamboja 1,2%, Myanmar 1,7%, Thailand 1,9%, atau Brunei Darussalam yang mencapai 11%.
Dari seluruh PNS di Indonesia yang mencapai 4,7 juta orang, ternyata perbandingan pegawai pusat sebanyak 916.493 orang (19,5%) dan pegawai daerah mencapai 3.791.837 (80,5%). Adapun komposisi menurut usia, untuk 50 tahun ke atas 1.074.788 orang (22,83%) yang terdiri atas usia 50-55 tahun 848.535 orang (18,02%), usia 56-60 tahun 219.933 orang (4,67%), dan usia 61-65 tahun 5.987 orang (0,01%).
Angka PNS di Indonesia terus bergerak secara fluktuatif mengingat jumlah pegawai masuk usia pensiun tahun 2011-2014 sebanyak 488.495 orang. Secara rinci, pensiun tahun 2011 sejumlah 107.416 orang, tahun 2012 sejumlah 124.175, tahun 2013 sejumlah 123.167, dan tahun 2014 sejumlah 133.734 orang. Jumlah yang menjalani pensiun jelas mengurangi komposisi pegawai yang harus dicarikan penggantinya.
Lalu, bagaimana dengan kebijakan pemerintah terkait moratorium pegawai? Imbas belanja membengkak untuk pegawai, mengakibatkan beban tidak proporsional, baik anggaran pusat maupun anggaran pemerintah daerah (pemda) yang lebih menyedihkan. Ada kabupaten dan kota yang kesulitan menggaji pegawainya, misalnya Kabupaten Ciamis, Jawa Barat yang menghabiskan 85% belanja untuk menggaji 19 ribu pegawai atau Kabupaten Pandeglang Banten menguras 78,8 % belanja guna menggaji 13 ribu pegawai.
Persoalan Kompetensi
Faktanya, ada sekitar 52 daerah yang belanja pegawainya kurang dari 30%. Ada 76 daerah yang belanja pegawainya masih mencapai 31-41%. Bahkan ada 106 daerah yang belanja pegawainya mencapai 41-50% dan ada 145 daerah yang belanja pegawai sebesar 51-60%. Dengan demikian, niatan pemerintah menata kepegawaian harus cermat saat melaksanakan kebijakan moratorium bagi PNS. Dengan pedoman yang jelas dan tegas, dipastikan daerah bakal menghentikan perekrutan pegawai.
Di samping itu, pemerintah perlu memastikan jumlah pegawai pada kementerian, lembaga negara,dan pemerintahan daerah agar tidak bertambah (zero growth) demi efektifitas kinerja pegawai dan mengefisienkan pengeluaran pemerintah di sektor belanja pegawai. Penerapan moratorium layak dilakukan mengingat perlu upaya menata distribusi pegawai yang selama ini tidak merata. Jumlah PNS guru saat ini 1,7 juta orang yang mayoritas penempatan hanya berada di kota besar. Akibat pegawai menumpuk di kota besar maka kebutuhan guru PNS untuk daerah pedalaman dan perbatasan terasa masih sangat kurang.
Pascakebijakan moratorium, saatnya pemerintah mendistribusikan kembali pegawai sesuai kompetensinya. Realitas karut-marutnya distribusi pegawai negeri yang selama ini terjadi, karena ada mismatch antara tenaga yang diperkerjakan dan keahliannya. Kompetensi yang tak sesuai dengan posisi, menyebabkan fungsi sebagai pelayan publik menjadi tidak maksimal. Minimnya profesionalitas sebagian besar pegawai diperparah juga dengan ketidaksesuaian disiplin ilmu dan penempatan bidang kerja.
Seiring penataan pegawai perlu pula payung hukum baru yang menjadi urgensi dasar moratorium. Regulasi moratorium membutuhkan rasionalisasi dalam bidang hukum dari beberapa lembaga negara. Skema moratorium butuh sinergisitas lembaga negara, antara Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dalam memastikan jumlah PNS yang riil dan profesional. (10)
Drs Joko Triwiyatno MSi, widyaiswara Badan Diklat Provinsi Jawa Tengah/ Lembaga Administrasi Negara (LAN)
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 1 September 2011