Mulyana Siap Beber Dana Asing; Semua Dokumen Disimpan di KPU

Mulyana W. Kusumah, mantan ketua Pokja Dana Kampanye KPU (Komisi Pemilihan Umum), punya pengakuan menarik seputar aliran dana asing yang masuk ke tim sukses capres-cawapres dalam Pemilu 2004. Menurut dia, setidaknya ada dua cara masuknya dana asing tersebut.

Pertama, melalui tim sukses daerah. Kedua, bisa melalui LSM pemantau pemilu dari LSM asing, warganegara asing, serta pemerintah asing. Selain itu, kata dia, ada sekitar 60 LSM asing yang menjadi pemantau pemilu yang tentu dananya tak diperoleh dari dalam negeri.

Mereka mengaku independen. Tapi, dari catatan kami, ada kecenderungan mereka tidak murni independen dan cenderung partisan, ungkap Mulyana yang saat ini dipidana di Rutan Salemba dalam kasus dugaan korupsi kotak suara pemilu dan penyuapan auditor BPK Khairiansyah Salman tersebut.

Apakah tim SBY-Kalla termasuk yang menerima aliran dana asing tersebut? Mulyana tidak berani menjawab. Semua dokumen tentang itu (aliran dana asing ke tim sukses daerah) ada di KPU. Semoga masih tersimpan rapi di sana, ujar Mulyana yang memang mengetahui persis seputar aliran dana kampanye tersebut.

Dia siap menjadi saksi untuk memperjelas aliran dana asing tersebut. Itu pun jika diizinkan pihak berwenang, tegasnya.

Dia menyatakan, ketika menjadi ketua Pokja Dana Kampanye KPU, dirinya sulit mengaudit aliran dana asing yang masuk ke tim sukses daerah. Sebab, dalam UU Pilpres, wewenang KPU tak menjangkau tim sukses di daerah.

Selain itu, karena keburu dibui, Mulyana tak sempat menelusuri aliran dana tersebut melalui audit investigatif serta jawaban PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan).

Namun, kata dia, itu bukan hambatan. Dia tetap bisa mengklarifikasi berdasar dokumen-dokumen di KPU. Karena itu, asalkan diizinkan pihak berwenang, saya siap membeber dokumen-dokumen itu. Dengan catatan, (dokumen tersebut) masih terpelihara rapi di KPU, ungkapnya.

Bagaimana nasib dokumen dana kampanye? Ketika dihubungi Jawa Pos tadi malam, Sekjen KPU Aries Djaenuri mengungkapkan, data-data soal dana kampanye masih tersimpan di KPU dan terbuka untuk umum. Saya kira masih ada, tegasnya.

Sayangnya, dia tak bersedia mengomentari lebih lanjut pernyataan Mulyana yang mengungkapkan bahwa dokumen itu bisa membeber fakta-fakta seputar aliran dana asing yang masuk ke tim sukses capres. Bukan kapasitas saya untuk menjawab, ujarnya.

Soal aliran dana asing itu memang sempat mencuat ke permukaan, buntut kasus aliran dana nonbujeter DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan) yang menyeret keterlibatan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri.

Sejumlah tokoh nasional dan para mantan capres-cawapres dalam Pemilu 2004 tercatut kasus tersebut, sebagai pihak yang menerima dana DKP. Dari sejumlah tokoh itu, ada yang mengaku, ada yang membantah. Di antara yang mengaku adalah Amien Rais.
Dalam sebuah wawancara di stasiun TV swasta, Amien bahkan mengungkapkan ada pasangan capres-cawapres yang menerima dana kampanye dari Washington.
Pernyataan Amien itulah yang membuat SBY marah. Secara khusus dia menggelar jumpa pers pada Jumat lalu di kantor kepresidenan. SBY menganggap pernyataan mantan ketua MPR itu menyudutkan dirinya. Karena itu, dia mengancam memerkarakan Amien secara hukum.

Tindakan SBY itu disesalkan pakar komunikasi dari Universitas Indonesia (UI) Dr Effendy Gazali. Menurut dia, cara SBY menyampaikan keterangan pers yang memuat kecaman terhadap Amien, didampingi Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa dan Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi di depan kantor kepresidenan tidak semestinya. Kalau SBY berperan sebagai kepala negara atau kepala pemerintahan, seharusnya apa yang dia sampaikan adalah persoalan aktual atau terkait pemerintahan, bukan soal kasusnya ketika menjadi calon presiden, ujar Effendi kepada Jawa Pos kemarin.

SBY bisa saja melakukan jumpa pers di kediamannya di Cikeas. Kalaupun di istana, tambahnya, bisa dilakukan secara santai, bukan dalam format acara formal. Soal substansi tak masalah, tapi konteks waktu dan tempat tak sesuai. Selain itu, apa memang dia yang harus ngomong? tambahnya.

Pengasuh acara Republik Mimpi tersebut mengungkapkan, klarifikasi dari Blora Centre yang disebut-sebut tim sukses SBY yang menerima dana Rp 40 juta dari dana nonbujeter DKP serta klarifikasi anggota tim sukses SBY-JK Munawar Fuad yang mengaku menerima Rp 150 juta, tapi bukan untuk kepentingan kampanye sudah cukup. Soal dana kampanye asing, misalnya, biar orang lain yang mengklarifikasi. Tak harus SBY sendiri yang melakukannya.
Akbar Bela SBY

Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang membantah timnya dalam Pilpres 2004 menerima dana dari DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan) dibenarkan Akbar Tandjung. Sepengetahuan saya, tidak ada tim SBY yang menerima aliran dana DKP, kata Akbar kepada wartawan di sela acara deklarasi Barisan Indonesia (Barindo) Maluku Utara di Restoran Floridas Ternate, Sabtu lalu.

Menurut Akbar, hanya Fuad Munawar Nuh (saat ini Sekjen DPP KNPI) yang pernah menerima dana dari DKP. Fuad memang mengaku menerima Rp 150 juta dari DKP. Itu diterima Fuad ketika masih menjadi staf khusus SBY saat mencalonkan diri sebagai presiden dalam Pilpres 2004. Tapi, Fuad menegaskan bahwa dana yang dia terima dari DKP tidak ada kaitannya dengan pencalonan SBY.

Dana itu diterima Fuad dalam rangka tugas beliau melakukan survei tentang potensi nelayan di Pantai Utara. Bukan dalam kapasitas Fuad menjadi tim sukses SBY, kata Akbar. Faktanya, dia (Fuad Munawar) tidak menjadi anggota tim sukses SBY karena tidak masuk dalam daftar tim sukses SBY, ujar Akbar.

Din Minta Diselesaikan di Jalur Hukum

Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin mengaku prihatin dengan polemik seputar aliran dana nonbujeter Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Sebab, ada kecenderungan mengarah pada disharmoni antar kekuatan politik bangsa.

Polemik dana DKP dan bantuan asing untuk Pilpres 2004 sangat memprihatinkan dan potensial mendorong pada konflik politik tajam, ujar Din dalam keterangan pers di Jakarta kemarin.

Sebagai jalan keluar, Din berharap masalah yang muncul diselesaikan melalui jalur hukum agar semua pihak mengungkapkan kebenaran dan kejujuran demi keadilan. Dapat juga diselesaikan secara kekeluargaan sebagaimana watak bangsa dan ajaran agama, ungkap guru besar UIN Jakarta itu. (ein/agm/adb/fai/jpnn)

Sumber: Jawa Pos, 28 Mei 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan