Negara Tidak Hadir
Realitas perlindungan hak asasi manusia setelah Orde Baru memperlihatkan wajah paradoksal. Di satu sisi, terjadi penguatan dalam legalisasi norma-norma hak asasi di pelbagai peraturan perundang-undangan. Pada saat yang sama, muncul keresahan akibat meluasnya intoleransi terhadap perbedaan serta bangkit dan beraksinya kelompok-kelompok dengan misi memberangus kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Perlindungan hak asasi dan eksistensi demokrasi bukan semakin eksis, tapi seperti unsur asing yang akan disingkirkan. Demokrasi dan hak asasi tiba-tiba dibenci dan dicaci maki sambil melupakan bahwa ruang yang dipakai untuk memaki itu adalah buah dari demokrasi dan penghormatan hak asasi manusia.
Upaya memelihara, memperjuangkan, dan menjaga hak-hak sipil mulai kepayahan. Ini sejalan dengan sulitnya organisasi-organisasi masyarakat sipil mewujudkan hak-hak dan kebebasan tersebut dalam negara yang semakin melemah.
Penyerbuan dan pembubaran acara diskusi, seminar, pameran, atau pemutaran film oleh sekelompok orang dengan tuduhan menyebarkan ajaran komunis telah terjadi berulang-ulang di banyak tempat tanpa mampu dicegah oleh aparat negara. Malah, dalam beberapa peristiwa, polisi justru meminta kegiatan itu dibubarkan.
Penyelidikan kasus penyiraman air keras yang menimpa penyidik senior andalan Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan, kian tak jelas juntrungannya. Ini serupa dengan kasus yang menimpa aktivis Indonesia Corruption Watch, Tama S. Langkun, yang dianiaya orang tidak dikenal pada 2010. Kita lalu bertanya, di mana negara? Di mana polisi? Mengapa mereka tidak hadir? Mengapa terlambat hadir? Mengapa kehadirannya tak menghentikan kekerasan?
Pemberangusan hak-hak sipil pada era Orde Baru dilakukan oleh negara. Karena itulah negara diharuskan tidak melakukan kebijakan atau tindakan represif yang melanggar hak asasi manusia (negative right) agar hak-hak dan kebebasan sipil terpenuhi. Tapi, apabila negara berperan intervensionisme, tak bisa dihindari hak-hak dan kebebasan yang diatur dalam Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik akan dilanggar oleh negara.
Sejak 1998, perilaku represif negara ala Orde Baru relatif selesai. Hak-hak dan kebebasan sipil politik warga negara semakin baik seiring dengan menguatnya pengaturan hak-hak dan kebebasan tersebut dalam peraturan perundang-undangan. Masalahnya, pada masa kini, pelanggaran hak sipil tidak lagi dilakukan oleh negara, melainkan kelompok-kelompok tertentu.
Lalu, bagaimana peran negara? Untuk situasi seperti ini, negara-yang dalam konsep hak asasi mengambil peran positif untuk pemenuhan, penghormatan, dan perlindungan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya-mau tidak mau harus menjalankan peran positif untuk perlindungan hak sipil dengan mengambil langkah-langkah aktif dalam mencegah dan menanggulangi perilaku kelompok tersebut. Kalau diam saja (pasif), negara bisa dikategorikan telah melakukan kejahatan dengan pembiaran, atau bahkan bisa dituduh menjadi bagian dari kekerasan diam-diam.
Karena itu, negara sangat diharapkan tidak lagi absen, melainkan hadir dengan misi dan pesan kuat untuk melindungi hak-hak dan kebebasan serta harkat dan martabat kemanusiaan warga negara yang telah dijamin oleh peraturan perundang-undangan. Ini dilakukan demi negara hukum, demokrasi, dan konstitusi yang telah dibangun selama ini.
Paradigma negara demikian itu pernah ditunjukkan oleh Presiden Amerika Serikat Dwight D. Eisenhower ketika mengirim pasukan Divisi Airborne 101 dari Angkatan Darat Amerika ke Arkansas untuk melindungi sembilan murid kulit hitam dari tindakan segregasi. Langkah Eisenhower berhasil. Dengan demikian, pada 23 September 1957, untuk pertama kalinya, sembilan murid itu berhasil masuk sekolah dengan kawalan 1.200 tentara.
Langkah Eisenhower sempat dipertanyakan publik Amerika sebagai tindakan berlebihan. Tapi sang Presiden menyatakan bahwa apa yang terjadi terhadap sembilan anak kulit hitam itu adalah persoalan kemanusiaan yang serius. Jika dibiarkan, hal ini akan mengancam kelangsungan kehidupan kemanusiaan warga negara Amerika pada masa depan.
Kita merindukan negara yang menaruh hormat terhadap hak dan kebebasan warga negaranya secara maksimal agar tumbuh pula penghormatan terhadap manusia dan kemanusiaan. Tidak ada gunanya kemajuan ekonomi dengan segala kemewahan infrastruktur yang kita miliki jika hak-hak dan kebebasan warga negara terancam setiap saat. Kita pun barangkali sukar mengharapkan sikap hormat negara lain kepada warga negara kita di mana pun kalau tidak ada rasa hormat negara kita sendiri kepada warga negaranya.
Suparman Marzuki, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
--------------------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Tempo edisi 3 November 2017, dengan judul "Negara Tidak Hadir"