Negeri para Bunglon (10/6/04)
SESUDAH jeda dari pemilu legislatif, jalan-jalan mulai dipenuhi lagi dengan bendera, poster, dan iklan untuk calon presiden dan wakil presiden. Mungkin karena banjir warna dan bising bunyi-bunyian itu menyusup ke dalam tidur, saya sering bermimpi tentang Pemilu 5 Juli 2004. Dalam mimpi itu saya menjadi seorang kontestan.
Para ajudan saya tersenyum masam, lantaran mereka tahu persis rekor saya sebagai jagal, atau sering memerintahkan berbagai operasi pembunuhan dalam kemelut politik. Sewaktu makan siang, beberapa ajudan saya suka berkumpul untuk bertanya tentang strategi saya seandainya saya presiden. Omongan itu sering rinci, dan mereka tidak lagi dapat membedakan apakah saya cuma berkhayal, ataukah saya sedang menjadi calon presiden sungguhan.Siasat 1: UangTentu ambisi saya untuk menjadi presiden butuh dana raksasa. Ketika masih menjadi bos dulu, saya sudah kumpulkan cukup banyak, meskipun waktu itu saya tidak berpikir mau memakainya untuk kursi kepresidenan. Toh masih kurang. Saya bisa mengandalkan uang partai, tetapi itu tentu membuat operasi saya transparan.Maka pertama, seperti yang sudah dilakukan banyak bankir swasta, saya akan membobol satu atau dua bank pemerintah. Toh hukum di negeri ini tidak pernah berlaku. Seandainya dari Rp1,7 triliun yang saya bobol, saya bayar para profesional Rp500 miliar, dana saya sudah akan bertambah Rp1,2 triliun.Kedua, para konglomerat (hitam atau bukan-hitam) punya kepentingan siapa yang akan menjadi presiden. Demokrat atau tiran bukanlah kepentingan mereka. Kalau seorang demokrat akan melindungi bisnis mereka atau memberi mereka fasilitas serta kontrak, mereka akan dukung. Kalau perlindungan dan fasilitas serta kontrak itu lebih bisa dijamin oleh seorang diktator, mereka juga akan dukung diktator. Para ekonom memang ceroboh ketika bilang kemajuan bisnis akan menghasilkan kemajuan demokrasi. Yang benar, para pelaku bisnis tidak peduli apakah demokrasi hidup atau mati, karena kemajuan bisnis tidak punya kaitan logis dengan ada dan tidaknya demokrasi. Saya akan minta mereka untuk kumpulkan dana bagi jalan saya menuju kursi kepresidenan.Ketiga, lewat beberapa deal, saya harus menangkan dulu pencalonan saya dari partai saya. Karena reputasi saya begitu hitam di mata publik, susah juga menjamin orang-orang partai memilih saya. Tetapi saya punya uang, dan saya akan pakai cuaca politik Indonesia yang 'serba uang' untuk memenangkan pencalonan saya. Kalau beberapa puluh anggota sidang partai saya bayar antara Rp300 juta sampai Rp500 juta untuk memilih saya, itu tentu sudah akan menambah suara para pendukung saya di partai. Soal prosedur pemilihan, itu urusan teknis dagang api.Sambil menaruh gula pada secangkir teh, seorang ajudan saya mereka-reka apa yang harus dilakukan untuk menutupi reputasi hitam saya sebagai orang berdarah. Dia benar, karena pada akhirnya saya mesti menghadapi citra yang beredar luas di benak publik.Siasat 2: BunglonPertama, dalam kalkulasi ajudan saya, saya mesti memilih calon wapres yang bisa menandingi citra publik saya yang hitam. Dia harus seorang yang dikenal dekat dengan kalangan pejuang hak-hak asasi. Apabila saya dapatkan orang seperti itu, tentu dia akan bisa menjadi 'mesin pencuci' yang membasuh tangan berdarah saya, setidaknya dalam citra publik. Seperti halnya histeria massa pada AFI (Akademia Fantasi Indonesia) dan Indonesian Idol, penduduk negeri ini toh lebih gandrung pada citra ketimbang substansi.Kedua, supaya taktis, pilihan saya arahkan pada beberapa tokoh partai-partai yang perolehan suaranya cukup besar dalam pemilu legislatif kemarin. Lebih taktis lagi bila saya dapat menggaet tokoh dari kelompok keagamaan yang besar. Citra kesalehan tokoh keagamaan seperti itu akan sangat menguntungkan sebagai 'mesin cuci' citra hitam saya.Saya kira menggaet satu dari mereka bukan urusan yang terlalu sulit, karena toh dalam semrawut politik sekarang, semua pihak sedang haus kuasa. Beberapa makelar sewaan saya benar ketika mereka bilang bahwa dalam cuaca politik seperti ini, kalkulasi orang-orang partai adalah bagaimana bisa ikut dalam 'kereta kemenangan'.Ketiga, tentu saja mereka perlu diyakinkan bahwa saya pantas menjadi presiden. Untung saja pemilu di negeri ini adalah soal membuat massa kesurupan, dan saya tidak perlu bekerja keras menyusun program yang mencerminkan keyakinan, visi, dan ideologi kepemimpinan saya. Dari keterlibatan saya dalam berbagai operasi politik selama dua dasawarsa terakhir, saya mengerti bahwa mereka dapat dibeli.Kira-kira saya butuh Rp50 miliar sampai Rp75 miliar rupiah untuk membeli seorang tokoh keagamaan untuk calon wakil presiden, lalu mungkin Rp30 miliar bagi tiap seniornya, Rp5 miliar sampai Rp10 miliar akan cukup bagi tiap intelektual dari kelompok keagamaan itu. Orang-orang partai saya, juga jika mereka tahu, toh tidak akan terlalu mempersoalkan, karena mereka berambisi agar partai menang lagi.Keempat, para preman intelektual saya sudah berpesan agar Tim Sukses memainkan 'naluri dasar' manusia, atau basic instincts. Kepada para pebisnis, saya menyulut insting mereka pada laba yang tinggi. Kepada para investor asing, saya memainkan keinginan instingtif mereka akan jaminan keamanan yang terkendali. Kepada para petani, saya akan membakar insting mereka bagi perlindungan hasil pertanian. Kepada para pejuang antikorupsi, saya akan mengungkit insting mereka bagi pemenjaraan koruptor.Untuk para pejuang hak-hak asasi yang mempersoalkan rekor berdarah saya, cukuplah saya minta mereka menunjukkan bukti-bukti hukum. Dan toh saya telah membeli beberapa preman hukum yang di hari-hari kemarin kelihatan seperti berjuang bagi hak asasi.Maka, tinggallah berbagai 'mesin gergaji' saya bekerja melaju menuju 5 Juli. Tentu, saya perlu minum vitamin dan menjaga penampilan untuk banyak perjalanan kampanye. Penampilan adalah soal permainan. Dan kebetulan, lewat permainan media, kebanyakan pemilih di negeri ini sedang gandrung pada 'acara mimpi' di televisi seperti AFI dan Indonesian Idol.Siasat 3: CitraPertama, Tim Sukses saya mesti menyerbu semua stasiun televisi, radio dan media lain dengan iklan. Para preman intelektual saya berpesan, iklan bukan soal kebenaran, tetapi soal penampilan. Semakin banyak berondongan itu, semakin citra yang diiklankan akan merasuk ke dalam psike massa. Apa yang terbentuk dalam psike massa itu adalah citra baru saya, dan berapa juta suara akan saya menangkan melalui citra baru itu. Toh banyak pemilih tak membuat perhitungan rumit. Mereka akan mencoblos apa yang sering tampil di layar televisi. Tentu, sebagai kebalikan rekor hitam saya, saya harus dicitrakan sangat putih. Sebagai kebalikan tangan berdarah saya, citra saya harus begitu lembut dan penuh rasa peduli.Kedua, saya akan memakai kualitas rendah televisi di Indonesia. Pada prime time, biasanya berbagai stasiun televisi menayangkan acara sampah. Isinya adalah buaian dan hiburan konyol yang membawa insting para penonton terbang ke alam fantasi. Para penasihat saya untuk urusan media sudah berpesan supaya Tim Sukses saya membanjiri jam-jam itu dengan iklan saya, agar citra baru saya juga naik bersama terbangnya fantasi para penonton. Saya kira itu tidak sulit, karena televisi toh juga telah menjadi bisnis yang mengejar bayaran iklan, dan saya punya cukup uang untuk memberondongkan iklan pada prime time mereka.Ketiga, jadi soal mengubah citra publik saya yang hitam sebagian akan saya lakukan lewat media. Tetapi, sesungguhnya kerja rahasia untuk kemenangan saya serahkan kepada 'mesin gergaji' saya. Sebagian adalah bagian dari tradisi mesin partai saya yang sampai sekarang masih utuh di pelosok-pelosok. Sebagian lain adalah bentukan baru yang cepat berkat sumber keuangan saya. Pada akhirnya preman-preman saya akan membeli suara, apapun caranya.Tentu, di Jakarta saya harus selalu tampil cool, untuk memberi kesan bahwa saya membiarkan rakyat bebas memilih, tidak membayar mereka, dan tidak memaksa mereka. Saya memang tidak seluruhnya bisa menentukan hasil pemilu. Kalau pada akhirnya saya tidak terpilih, tentu saya akan marah. Tetapi jauh dalam hati, saya juga akan bilang: Ah, ternyata rakyat Indonesia sudah pintar! ***
Oleh: B Herry-Priyono
Dosen Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta