New Normal KPK: Curi Barang Bukti, Gagal Geledah, Lambat Meringkus Buronan, sampai Dugaan Pemerasan Kepala Daerah
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berada pada ambang batas kepercayaan publik. Praktis setiap waktu pemberitaan lembaga anti rasuah itu selalu diwarnai dengan problematika di internalnya sendiri. Mulai dari pencurian barang bukti, gagal menggeledah, enggan meringkus buronan Harun Masiku, hilangnya nama politisi dalam surat dakwaan sampai terakhir adanya dugaan pemerasan kepada kepala daerah. Selain karena rusaknya regulasi baru KPK, isu ini juga mesti diarahkan pada kebobrokan pengelolaan internal kelembagaan oleh para komisioner.
Sepanjang hari ini, 21 April 2021, KPK diwarnai dengan isu dugaan pemerasan yang dilakukan oleh Penyidik asal Polri kepada Walikota Tanjung Balai, Sumatera Utara. Adapun jumlah uang yang didapatkan atas hasil pemerasan tersebut berjumlah fantastis, yakni mencapai Rp 1,5 miliar. Janji yang disampaikan oleh Penyidik itu pun terdengar klasik, yaitu menghentikan perkaranya.
Penting untuk diketahui, kejadian semacam ini bukan kali pertama terjadi di lembaga anti rasuah itu. Sebelumnya, tahun 2006 silam, seorang Penyidik KPK bernama Suparman juga melakukan hal serupa. Kala itu, Suparman terbukti memeras seorang saksi dan menerima uang sebesar Rp 413 juta. Akibat perbuatannya, Suparman kemudian diganjar hukuman 8 tahun penjara. Sangat disayangkan, lembaga antikorupsi yang seharusnya menjadi contoh dan trigger mechanism bagi penegak hukum lain justru saat ini menjadi sumber permasalahan.
Berkenaan dengan isu tersebut, penting pula rasanya untuk turut mengkritisi kebiasaan KPK saat ini dalam menangani sebuah perkara. Beberapa waktu terakhir, KPK kerap kali menyembunyikan nama tersangka dengan alasan menunggu penangkapan atau penahanan. Selain perkara lelang jabatan di Tanjung Balai, sebelumnya juga terdapat model penanganan serupa, misalnya dalam dugaan suap pajak dan korupsi pembangunan gereja di Mimika Papua.
Merujuk pada UU KPK, pada dasarnya tidak ada kewajiban bagi lembaga anti rasuah itu untuk menutup-nutupi nama tersangka saat proses penanganan perkara sudah masuk dalam proses penyidikan. Pasal 44 ayat (1) UU KPK sudah jelas menyebutkan bahwa dalam fase penyelidikan KPK sudah mencari bukti permulaan yang cukup. Hal itu menandakan, tatkala perkara sudah naik pada tingkat penyidikan, maka dengan sendirinya sudah ada penetapan tersangka. Dengan melakukan hal ini secara terus menerus maka KPK telah melanggar Pasal 5 UU KPK perihal asas kepentingan umum, keterbukaan, dan akuntabilitas lembaga.
Kebiasaan baru KPK dalam menyidik perkara tanpa penetapan tersangka ini, juga semakin diperparah dengan kewenangan KPK mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang diatur dalam Pasal 40 ayat (1) UU KPK. Pemerasan yang diduga dilakukan oleh Penyidik KPK tersebut, patut diduga merujuk pada penghentian penyidikan lewat penerbitan SP3 oleh KPK.
Sulit untuk dipungkiri, sejak Firli Bahuri dilantik sebagai Ketua KPK, praktis anggapan publik atas kinerja KPK selalu bernada negatif. Terbukti, dalam catatan ICW, sepanjang tahun 2020 setidaknya ada enam lembaga survei yang mengonfirmasi hal tersebut. Tentu ini menjadi hal baru, sebab, sebelumnya KPK selalu mendapatkan kepercayaan publik yang relatif tinggi. Lagi-lagi, kekeliruan dalam kepemimpinan KPK ini akibat buah atas kekeliruan Presiden kala menyeleksi komisioner pada tahun 2019 lalu.
Jika dugaan pemerasan itu benar, maka Penyidik asal Polri itu mesti dijerat dengan dua Pasal dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni kombinasi Pasal 12 huruf e tentang tindak pidana pemerasan dan Pasal 21 terkait menghalang-halangi proses hukum. Tentu ketika dua kombinasi pasal itu disematkan kepada pelaku, ICW berharap Penyidik asal Polri yang melakukan kejahatan itu dihukum maksimal seumur hidup.
Melandaskan pada penjelasan di atas, maka ICW mendesak agar:
- Kedeputian Penindakan KPK dan Dewan Pengawas harus segera menindaklanjuti dugaan pemerasan dengan melakukan klarifikasi dan penyelidikan lebih lanjut atas tindakan Penyidik asal Polri itu;
- Jika kemudian tindakan pemerasan itu terbukti, maka KPK harus memproses hukum penyidik itu serta Polri juga mesti memecat yang bersangkutan dari anggota Korps Bhayangkara;