NU: Harta Pejabat Bukan Alat Pembuktian Terbalik

Kekayaan seorang pejabat yang melebihi batas kewajaran tidak bisa dijadikan alat pembuktian terbalik dalam kasus dugaan korupsi. Harta berlebih yang tak wajar hanyalah indikasi bahwa sang pejabat memperolehnya dari korupsi.

Demikian salah satu keputusan pembahasan di Komisi Bahstul Masail dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama, Sabtu lalu. Kegiatan ini berlangsung di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, Jawa Timur, sejak Kamis hingga Ahad kemarin. Hukum Islam tidak membolehkan menjadikan harta berlimpah itu sebagai alat bukti. Itu hanya indikasi, ujar koordinator panitia acara, KH Said Agil Siradj, kemarin.

Said mencontohkan, harta melimpah yang dimiliki seorang bupati belum tentu berasal dari korupsi. Bisa saja kekayaan sang bupati berasal dari warisan, ujarnya.

Menurut dia, banyak kasus korupsi di Indonesia tidak dapat diproses secara hukum karena tidak ditemukannya alat bukti atau tidak adanya keterangan saksi. Sehingga, kata dia, sejumlah kalangan berusaha melakukan pembuktian terbalik, yakni dengan melihat harta pejabat yang melimpah. Tapi harta melimpah itu hanya bisa dijadikan sebagai indikasi, ujarnya.

Karena itu, Said menyarankan agar aparat penegak hukum tetap menggunakan pembuktian secara konvensional. Penyidik harus bekerja lebih keras lagi, ujarnya.

Dihubungi terpisah, Wakil Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch Danang Widoyoko mengatakan pembuktian terbalik hanya dapat dilakukan oleh terdakwa--di pengadilan. Itu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Jaksa penyidik, kata Danang, tetap harus melakukan pembuktian atas dugaan korupsi seseorang. Itulah sebabnya Undang-Undang Pemberantasan Korupsi di Indonesia belum mampu menaklukkan koruptor, ujarnya kemarin.

Danang membandingkannya dengan Thailand. Di Negeri Siam itu, kata dia, jika kekayaan seorang pejabat dinilai tidak wajar, dapat langsung dilakukan suatu penyelidikan. SUNUDYANTORO | FANNY FEBIANA

Sumber: Koran Tempo, 31 Juli 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan