organisasi Advokat; Hanya Ramai Saat Munas, lalu Konflik...

Terus terang, tak mudah mencari kegiatan yang dilakukan organisasi advokat di negeri ini, selain menggelar musyawarah nasional atau munas dan bersaing mengadakan pendidikan profesi advokat. Sama tak mudah ketika mencari lontaran pemikiran dari advokat, terkait kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk di bidang pembaruan hukum, selama 10 tahun terakhir.

Justru dalam benak sebagian orang, termasuk yang terekam dalam dokumentasi pemberitaan di media massa, adalah buram-nya perilaku advokat yang kian memperburuk citra peradilan di negeri ini. Advokat dianggap sebagai makelar perkara, membela yang bayar, dan belum diterima sepenuhnya menjadi penegak hukum.

Lebih dari sembilan tahun lalu, advokat senior Adnan Buyung Nasution mengingatkan, advokat seharusnya memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Tetapi, advokat terkadang malah mengkhianati kliennya, antara lain dengan memperdagangkan perkara demi keuntungan sendiri (Kompas, 17/4/1998).

Bahkan, Ketua Umum (kala itu) Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) Yan Apul Girsang secara lugas mengakui, kebanyakan pengacara (advokat) melakukan praktik dagang perkara. Bahkan, banyak advokat hanya menjadi broker perkara. Kondisi ini tidak bisa dihindari karena dalam praktik hukum di Indonesia, pengacara bukan penegak hukum. Pengacara dalam tugasnya tak dijamin dengan undang-undang (UU) (Kompas, 18/4/1998).

Akhirnya, setelah berjuang lama, advokat memiliki perlindungan hukum dalam praktiknya, yakni dengan disahkannya UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Advokat ditetapkan sebagai penegak hukum. Tetapi, harus diakui, sampai kini citra pengacara belum sepenuhnya berubah. Bahkan, diakui Ketua Umum Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) periode 2003-2007 Otto Hasibuan, saat membuka Munas IV akhir Mei lalu di Balikpapan, Kalimantan Timur, citra advokat sebagai pembela masyarakat, pejuang keadilan dan kebenaran, secara perlahan memudar.

Bahkan, menurut Otto, advokat tidak lagi mengisi hati masyarakat. Kebanyakan pengacara pun kurang peduli dengan nasib rakyat. Kedudukan advokat sebagai penegak hukum diragukan karena ia dibayar klien. Apakah bisa advokat menjadi penegak hukum jika ia menjadi pembela kliennya, katanya lagi.

Wakil Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Indra Sahnun Lubis mengakui, profesi advokat di negara mana pun memang sering menjadi pembicaraan kontroversial. Dalam penegakan hukum, peranan advokat tergantung dari sisi mana memandangnya.

Walau begitu, Indra yang juga Ketua Umum Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI) secara tidak langsung mengakui, betapa masih tingginya peran advokat untuk membalikkan keadilan dan kebenaran. Dicontohkan, di Amerika Serikat (AS), Bill Clinton dari sisi kekayaan lebih kaya sebelum menjadi presiden.

Dari pelacakan, ternyata gaji dan penghasilan lainnya selama dua periode menjabat presiden habis untuk membayar biaya pengacara saat ia menghadapi skandal dengan sejumlah wanita, termasuk Monica S Lewinsky, yang bisa mengancam kedudukannya. Clinton pun lolos.

Besarnya peran advokat di AS untuk meloloskan klien dari jeratan hukum juga terjadi dalam kasus pembunuhan yang diduga melibatkan atlet football ternama AS, OJ Simpson. Meski bukti yang ada cukup kuat, Simpson akhirnya dinyatakan tak terbukti membunuh mantan istrinya, Nicole Brown, serta temannya, Ronald Goldman, tahun 1994. Namun, lagi-lagi Simpson dikabarkan jadi miskin karena kekayaannya habis untuk membayar advokat yang piawai.

Bagaimana di negeri ini? Walau susah untuk dibuktikan, terdapat dugaan keras kedudukan dan fungsi independensi advokat dimanfaatkan salah satu atau bersama-sama ketiga unsur catur wangsa lainnya sebagai broker atau pengatur skenario vonis dalam suatu perkara

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan