Pajak Hilang Rp 263 Triliun; Tambah Penyidik, Depkeu Kejar Underground Economy

Aktivitas ekonomi bawah tanah atau underground economy telah menghilangkan pendapatan negara dari sektor pajak sekitar Rp 263 triliun per tahun. Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan akan membentuk direktorat khusus untuk memburu aktivitas ilegal, seperti penyelundupan, pembalakan liar, penangkapan ikan ilegal, dan penambangan liar itu.

Underground economy itu potensinya sangat besar. Nanti coba kami cover dan jajaki, ujar Direktur Penyuluhan Perpajakan Ditjen Pajak Depkeu Erwin Silitonga dalam Workshop Perpajakan di Bogor akhir pekan lalu.

Pemerintah sendiri belum resmi menghitung potensi tersebut. Namun, menurut Erwin, jika underground economy Indonesia sama dengan Thailand, jumlahnya bisa 65 persen dari PDB (produk domestik bruto). Kegiatan underground economy mencapai Rp 1.750 triliun. Dengan tarif pajak minimum 15 persen, potensi pajak yang hilang mencapai Rp 263 triliun per tahun, ujarnya.

Untuk mendukung upaya tersebut, Ditjen Pajak akan membentuk direktorat penyidikan khusus. Direktorat ini bisa memonitor underground economy karena dapat melakukan penyidikan, kata Erwin. Direktorat baru tersebut tinggal meminta persetujuan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara.

Penyidik pajak berbeda dengan pemeriksa (auditor). Pemeriksa pajak hanya memeriksa, lalu menyampaikan surat ketetapan pajak (SKP). Sedangkan penyidik membawanya ke pengadilan dengan tuduhan pidana perpajakan UU KUP (ketentuan umum perpajakan).

Bidang penyidikan khusus tersebut saat ini memang belum berbentuk direktorat sehingga belum bisa berbuat banyak. Direktorat baru itu memang dibentuk agar lebih menggigit, katanya.

Saat ini Ditjen Pajak telah memiliki 500 penyidik. Sedangkan pemeriksa pajak mencapai 300 ribu orang. Ditjen Pajak juga akan menambah jumlah pemeriksa dan penyidik. Wajib pajak yang diperiksa saat ini hanya dua per tiga, ujarnya.

Ditjen Pajak juga akan bekerja sama dengan aparat penegak hukum dalam mengejar potensi underground economy. Kerja sama dengan aparat kepolisian, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung akan kami tingkatkan. Ini tidak bisa kami kerjakan sendiri, ujarnya.

Direktur INDEF (Institute for Development of Economic and Finance) Fadhil Hasan berpendapat, penghitungan potensi underground economy sangat sulit dilakukan. Meski begitu, dari berbagai diskusi diperkirakan nilainya 10-15 persen dari PDB. Dengan begitu, nilai riil PDB Indonesia diperkirakan jauh lebih besar dibanding yang disajikan sekarang ini, tegasnya.

Sulitnya menghitung potensi underground economy disebabkan data statistiknya tidak terhitung oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Hasil hutan atau laut, misalnya, yang hilang dari pantauan bisa 50 persen dari yang terdata, tuturnya.

Menurut Fadhil, potensi underground economy berdasarkan wilayah banyak terdapat di daerah. Itu karena aktivitas-aktivitas ilegal sering terjadi di wilayah yang jauh dari pantauan pusat kota. Sementara di kota-kota besar, potensi underground economy lebih banyak di sektor ritel.

Sulitnya mendeteksi aktivitas underground economy karena pemerintah kesulitan menjaringnya secara fisik. Untuk bisa menjaring secara utuh, menurut Fadhil, pemerintah perlu memformalisasi beberapa sektor usaha tersebut. Sementara illegal logging dan illegal fishing harus ditangani melalui pendekatan law enforcement.

Formalisasi sektor-sektor kecil itu bisa memberikan potensi pendapatan negara. Sementara law enforcement meningkatkan pendapatan dari sisi pajak, ujarnya.

Anggota Komisi XI (keuangan dan perbankan) DPR Dradjad Wibowo mengakui potensi underground economy sangat besar. Dari illegal logging saja diperkirakan potensinya Rp 40 triliun. Belum lagi kegiatan-kegiatan ilegal lain, kata Dradjad.

Namun, menurut dia, masih sulit mendapatkan pendekatan ekonomi yang bisa menghitung besarnya underground economy. Benar-benar berupa estimasi terpotong-potong, jelasnya.

Untuk mengatasi hal itu, dia menyarankan pemerintah membawa potensi underground economy menjadi lebih formal dan menggiatkan penegakan hukum.

Meski demikian, formalisasi bukanlah hal mudah jika cost yang dikeluarkan untuk menjadi suatu kegiatan normal masih tinggi. Misalnya, dari sisi pajak perizinan serta banyaknya suap di birokrasi. Jika hal itu masih terjadi, orang lebih memilih melakukan kegiatan ekonomi tertutup daripada harus menjadi formal. Hilangkan dulu birokrasi suap sehingga orang lebih memilih berjalan di usaha formal, jelasnya.

Di bagian lain, pembahasan DIM (daftar inventarisasi masalah) RUU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) baru masuk materi nomor 18 (dari 896 butir) tentang istilah wajib pajak. Fraksi Partai Golkar (FPG) dan FPAN mengusulkan perubahan istilah wajib pajak menjadi pembayar pajak. Kedua fraksi tersebut beralasan istilah pembayar pajak lebih menunjukkan kesetaraan dan terjaminnya hak-hak wajib pajak.

Usul ini ditentang pemerintah. Alasannya, perlu biaya mengubah dokumen dan harus mengubah istilah lain seperti pemungut dan pemotong pajak. Fraksi-fraksi lain juga masih mempertahankan istilah wajib pajak, kata Dradjad.

Menurut Dradjad, alasan tersebut terlalu mengada-ada. Menurut dia, istilah pembayar pajak (tax payers) sudah berlaku internasional. Amerika Serikat, Inggris, Malaysia, dan Singapura sudah memakai istilah tersebut.

Itu juga mendorong pembayar pajak agar bukan melihat pajak sebagai monster. Pemerintah juga lebih mudah mempromosikan pajak kepada masyarakat. Sehingga, basis pajak meningkat melalui pendekatan persuasif, katanya. (sof/wir)

Sumber: Jawa Pos, 4 Desemebr 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan