Pamor Hukum Kandas

Harapan publik terhadap munculnya tunas-tunas keadilan di lembaga benteng keadilan di Indonesia kembali pupus. Pemangkasan kewenangan pengawasan Komisi Yudisial terhadap hakim, khususnya hakim Mahkamah Agung, memperdalam skeptisisme publik terhadap upaya perbaikan di lembaga pengadilan.

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) menghilangkan kekuatan strategis Komisi Yudisial mengawasi perilaku hakim tak ayal membangkitkan tanda tanya besar bagi publik.

Arah reformasi hukum yang dijanjikan akan menjadi panglima tampak semakin jauh dari harapan. Alih-alih semangat pemberantasan korupsi dan pembersihan aparat bobrok di pengadilan didukung, justru saat ini yang terjadi seperti gelagat berbalik arah dalam penegakan hukum. Format legalistik formal ala rezim lampau yang kaku dan mengabaikan suara keadilan masyarakat kini di atas angin.

Keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/ PUU-IV/2006 yang mengabulkan hampir semua permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (KY) menegaskan hal tersebut. Kewenangan KY untuk mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap hakim yang perilakunya tidak menunjang tegaknya kehormatan dan keluhuran martabat hakim kini dihilangkan.

Selain itu, KY tidak dapat lagi memaksa pengadilan atau hakim menyediakan data untuk penyidikan yang diperlukan. Puncaknya, kewenangan mengusulkan sanksi atau pemberhentian bagi hakim bermasalah dipangkas pula. Praktis, secara hakiki habis sudah gigi kelembagaan KY.

Terhadap fenomena yang terbilang luar biasa dalam upaya reformasi hukum ini terlihat beberapa gambaran penyikapan responden.

Sikap pertama adalah ketidaksetujuan publik terhadap pencabutan wewenang pengawasan yang dimiliki KY. Sebanyak 54,5 persen responden tidak setuju dengan langkah itu dan hanya 33,7 persen yang setuju. Terlepas dari perdebatan substansi hukumnya, publik menganggap pencabutan kewenangan pengawasan akan semakin memperlemah upaya reformasi di tubuh aparat kehakiman, selain kian menyuburkan maraknya mafia peradilan.

Seperti juga tercermin dari jajak sebelumnya, responden tampaknya lebih menganut asas materiil dari kemanfaatan hukum dalam melihat masalah putusan MK kali ini.

Upaya pembersihan sistem peradilan, khususnya di tubuh MA, diyakini publik tak akan dapat dilaksanakan dengan mengandalkan sistem pengawasan internal yang ada di dalam MA sendiri. Meski proporsi responden cukup besar dalam mengapresiasi upaya MA yang menyatakan akan mengaktifkan sistem pengawasan internal selepas keputusan MK, itu tak cukup meyakinkan publik akan hasilnya. Hampir seluruh responden (88,7 persen) menyatakan tetap perlu ada lembaga khusus yang secara independen mengawasi perilaku hakim-hakim di MA.

Lebih jauh lagi, bahkan 92,4 persen responden menilai tak sekadar hakim-hakim MA, hakim MK juga dinilai seharusnya masuk dalam pengawasan oleh lembaga tertentu.

Anehnya, dalam beberapa kesempatan pun, Ketua MA Bagir Manan maupun sebagian hakim MK pernah menyatakan menyambut positif fungsi pengawasan KY. Untuk memperkuat pendapat itu, Ketua MK Jimly Asshiddiqie bahkan mengakui kelemahan pengawasan internal kehakiman sehingga pengawasan oleh lembaga independen diperlukan. Setali tiga uang, Bagir Manan menjanjikan pemanfaatan semaksimal mungkin hasil temuan KY tentang perbuatan tidak terpuji para hakim dan pejabat pengadilan. (Kompas, 28/8).

Resistensi publik terhadap setiap langkah yang menyurutkan upaya pembersihan MA sebetulnya sudah tecermin sebelumnya. Pandangan bahwa MA sebagai lembaga tertinggi peradilan yang sekaligus justru menjadi lembaga yang tidak terbebas dari korupsi kerap disuarakan responden dalam beberapa jajak pendapat sebelumnya. Lebih dari 78 persen responden pada jajak pendapat bulan Januari 2006 menilai perilaku suap dan korupsi di Mahkamah Agung sudah parah. Demikian juga citranya, kerap dinilai paling buruk dibandingkan aparat penegak hukum lainnya (kepolisian, kejaksaan, pengadilan). Saat ini, jika dibandingkan dengan citra pada bulan Januari, citra MA turun sekitar 3 persen dari sebelumnya yang 29,2 persen. Sedangkan KY yang baru seumur jagung justru lebih diapresiasi responden, mencapai 37 persen.

Sikap lain dari publik yang tecermin dari jajak pendapat ini adalah merebaknya kekhawatiran terhadap semakin merajalelanya mafia peradilan dalam berbagai bentuk. Lebih tiga perempat responden (86,4 persen) menyatakan kekhawatiran itu. Kekhawatiran itu didasari pada pandangan bahwa saat ini praktik suap, sogok, dan korupsi sudah berlangsung umum di berbagai tingkat dan tahapan peradilan. Sejak perkara dimasukkan/didaftarkan, diperiksa di depan hakim hingga tahap penjatuhan vonis ditengarai responden tidak pernah jauh dari uang. Hampir tiga perempat responden memercayai parahnya sepak terjang mafia peradilan dalam berbagai bentuk.

Dengan tingkat korupsi yang dinilai sudah sangat parah, sulit menemukan pembenaran dibukanya celah bagi aparat kehakiman menerima hadiah uang. Bagian terbesar responden bahkan memandang persoalan suap-menyuap berasal dari persoalan mentalitas, bukan soal remunerasi atau gaji hakim. Maka tak mengherankan responden menyatakan tidak ada cara lain memperbaiki sistem, selain memperkuat upaya pada unsur pengawasan dan sanksi. Sekadar perbaikan remunerasi hakim dan aparat pengadilan pun bahkan dinilai sebagian besar responden (65,1 persen) tidak akan dapat lagi memberantas suap, sogok, dan korupsi di tubuh lembaga pengadilan.

Secara tidak langsung, hasil jajak pendapat juga memperlihatkan kepuasan responden yang paling kecil terhadap kinerja hakim jika menangani perkara-perkara KKN. Bahkan dibandingkan dengan penanganan perkara yang melibatkan soal politik, kasus pelanggaran HAM maupun kasus yang melibatkan pejabat negara, kualitas putusan hakim terhadap perkara KKN dinilai masih lebih buruk. Hasil jajak bulan Januari 2006 menyatakan, 75,8 persen menyatakan hukuman terhadap kasus korupsi masih terlalu ringan dan hanya 18,5 persen yang menilai sudah cukup adil.

Besarnya jumlah uang yang ditilap koruptor kerap dipandang tidak seimbang dengan masa hukuman yang dijatuhkan. (Litbang Kompas- Toto Suryaningtyas)

Sumber: Kompas, 4 September 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan