Paradigma Pemberantasan Korupsi
”Pisau hukum menjadi tumpul untuk membedah kasus korupsi yang menelan uang rakyat miliaran rupiah”
DI tengah perdebatan tentang revisi UU tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Menkumham Amir Syamsuddin pada 26 Oktober lalu mengisyaratkan bahwa pemerintah akan mengajukan penambahan hukuman bagi koruptor. Usulan itu, menurut menteri, mendasarkan pada aspirasi masyarakat mengingat saat ini tuntutan hukuman tindak pidana korupsi (tipikor) sangatlah rendah sehingga korupsi makin merajalela. Kemerebakan korupsi dipicu oleh lemahnya ancaman hukuman terhadap koruptor yang mendasarkan pada UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Jika selama ini hukuman minimal 12 bulan, dalam rencana perubahan UU itu, hukuman ditambah menjadi 5 tahun. Selain itu, ada isu lain, sebagaimana wacana yang mengemuka di gedung DPR, terkait dengan rencana perubahan itu. Pertama; posisi whistle blower atau justice collaborator yang akan diberi apresiasi pengurangan, kedua; KPK hanya menangani korupsi yang nominalnya Rp 10 miliar atau lebih, dan ketiga; upaya penghapusan remisi bagi pelaku tindak pidana korupsi.
Rencana perubahan itu menggambarkan pandangan yang dinamis terhadap tipikor. Jika benar nantinya hukuman korupsi minimal 5 tahun, itu kemajuan instrumental karena perangkat perundangan-undangan mengalami progresivitas. Tetapi sesungguhnya perdebatan seputar penanganan tipikor juga menggambarkan pendangkalan hukum yang semata-mata dianggap persoalan perundang-undangan.
Mengapa demikian? Senyatanya meski disebut seram bahwa korupsi adalah extraordinary crime, praktik itu bukannya berkurang melainkan meluas (deeply rooted). Bahkan beberapa kasus terakhir, seperti kasus Wali Kota Bekasi nonaktif justru divonis bebas oleh pengadilan tipikor. Bukankah kita memiliki perundang-undangan yang sangat jelas mengenai hal itu? Jika demikian, apakah kemerebakan korupsi itu karena semata-mata persoalan perundang-undangan?
Saya ingin menegaskan bahwa sesungguhnya yang terjadi adalah krisis hukum, sebuah ketidakmampuan hukum bekerja secara efektif sehingga tak mampu menciptakan tujuan hukum, seperti ketertiban, kesejahteraan raakyat, dan keadilan. Kita sedang mengalami situasi bahwa korupsi telah menciptakan anomali-anomali yang mengantarkan konstruksi hukum masuk pada kondisi transisi secara paradigmatik.
Kita tahu tajamnya pisau hukum begitu berhadapan dengan kasus rakyat kecil, seperti pencuri ayam, atau pencuri semangka yang harganya puluhan ribu rupiah tetapi divonis sampai 6 bulan. Di sisi lain pisau hukum menjadi tumpul untuk membedah kasus korupsi yang menelan uang rakyat miliaran rupiah. Tak hanya menghukum dengan vonis ringan tapi kadang membebaskan para koruptor. Lantas di mana letak keadilan hukum itu?
Para teoretisi hukum, terutama penganut sistem liberal sebagaimana corak yang dipakai di Indonesia, menempatkan individu sebagai tujuan perlindungan hukum. Dalam konsep itu, ditanamkan prinsip tak adanya diskriminasi terhadap individu sehingga muaranya bertumpu pada perlindungan individu. Celah inilah yang dimanfaatkan oleh koruptor (pembelanya) untuk melakukan perlawanan hukum sehingga tak jarang koruptor menemukan jalan keluar kebebasan dari jerat hukum.
Selain itu, formula hukum liberal menempatkan prosedur setara dengan substansi hukum. Kelalaian ini menyebabkan rusaknya agenda penegakan hukum. Dengan demikian prosedur menjadi penting karena memiliki arti tersendiri dalam rangka perlindungan individu. Rumitnya prosedur ini dapat dibaca pada kasus M Nazaruddin yang begitu dibela pengacaranya terkait dengan bagaimana ia ditangkap, bagaimana pula pengamanan barang bukti dan seterusnya sehingga persoalan prosedur ini menggeser substansi dugaan korupsinya yang ratusan miliar rupiah.
Mengutip Syed Alatas (1968), tahapan terjadinya korupsi melalui tiga tingkatan. Mula-mula terbatas, lalu meluas, dan akhirnya jika berlanjut maka akan menghancurkan negara tanpa disadari oleh siapapun. Saat ini kita memasuki tahap II dari ramalan tersebut. Itu artinya, tekad pemberantasan korupsi ini harus makin kuat, tidak saja melalui penguatan sistem perundang-undangan tetapi juga penguatan sistem hukum melalui dua jalur; praksis dan paradigmatik.
Terapi Paradigmatik
Jalur praksis saja seperti perubahan perundang-undangan tidaklah cukup, harus dibarengi dengan terapi paradigmatik. Merujuk Thomas Kuhn tentang revolusi ilmiah, dapat kita tegaskan bahwa awalnya sistem hukum liberal yang kita terapkan terutama awal 1950-an cukuplah bagus. Formula hukum bisa diandalkan sebagai normal science yang dapat difungsikan menjadi bagian dari solusi persoalan.
Anomali mulai muncul era 1960-an tatkala kasus korupsi mulai terlihat. Waktu itu ada menteri tertuduh korupsi seperti Goendo Koesoemo yang kemudian diadili. Puncaknya, seperti kita lihat sekarang.
Karena itu, perlu dilakukan terapi paradigmatik terhadap formula hukum liberal itu yang memungkinkan terjadinya normal science tahap II. Tahap ini, lanjut Kuhn, merupakan upaya membangun kembali paradigma hukum yang melampaui persoalan-persoalan hukum yang dihadapi bangsa ini. Dalam konteks terapi paradigmatik ada beberapa yang perlu dilakukan.
Pertama; menggeser mindset hukum liberal yang bertumpu pada individualisme menjadi pertimbangan komunalisme. Kejahatan korupsi harus dipandang sebagai persoalan bersama sehingga aksentuasinya bukan lagi pada persoalan keadilan individu pelaku korupsi melainkan lebih berorientasi pada perlindungan komunal, yakni rakyat sebagai pemilik kekayaan negara. Sepanjang korupsi bisa dibuktikan secara hukum maka selayaknya pelakunya menerima hukuman yang pantas demi melindungi kepentingan rakyat banyak.
Kedua; perlunya kesadaran kolektivitas semua elemen penegak hukum, baik polisi, jaksa, hakim, maupun KPK, bahkan advokat, dalam penegakan hukum terhadap koruptor, bukan vis a vis seperti dalam formula hukum liberal. Kolektivitas ini merupakan kesadaran baru yang tertanam dalam pikiran penegak hukum sehingga mereka tak lagi terbuai pada prosedur dan perlindungan individualisme tetapi menggeser dirinya ke altar kepentingan umum yang jauh lebih penting untuk dibela.
Jika terapi paradigmatik ini bisa dilakukan sebagai tindak lanjut dari perubahan praksis di tingkat perundang-undangan maka hukum dapat bekerja efektif sebagai entitas vital untuk menjadi bagian dari solusi persoalan korupsi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. (10)
Dr Gunarto SH MHum, Wakil Rektor Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, dosen Magister Ilmu Hukum
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 1 November 2011