Paradoksikalitas Pemberantasan Korupsi

Ada dua peristiwa paradoks terkait dengan pemberantasan korupsi di negeri ini. Pertama, di Senayan, para pemimpin Dewan Perwakilan Rakyat sepakat mengendapkan masalah dana Departemen Kelautan dan Perikanan yang mengalir ke Senayan. Mereka menilai aliran dana tersebut tidak mengindikasikan adanya pelanggaran kode etik (Koran Tempo, 25 April 2007). Kedua, pemerintah menandatangani kesepakatan ekstradisi dengan Singapura (27 April 2007). Perjanjian yang ditandatangani di Bali ini berlaku surut sampai 15 tahun.

Peristiwa pertama menunjukkan pengaburan atas aliran dana nonbujeter yang menempatkan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri sebagai tersangka. Sedangkan peristiwa kedua menunjukkan semangat pantang mundur pemerintah untuk menjerat koruptor. Kedua fenomena paradoksikal tersebut menyebabkan pemberantasan korupsi berjalan tidak maksimal. Ironis, memang, pemberantasan terkendala oleh ketidakseriusan lembaga negara yang seharusnya ikut mendorong munculnya clean government.

Basis yang rapuh
Kebijakan pemberantasan korupsi bukanlah hal yang baru. Sejak Orde Lama, secara de jure upaya tersebut sudah dimulai. Namun, semuanya terkendala dalam proses implementasinya. Bahkan saat ini upaya pemberantasan korupsi mendapat perlawanan melalui berbagai cara, mulai yang legal sampai yang ilegal.

Fakta perlawanan para koruptor menunjukkan adanya basis yang rapuh dalam pemberantasan korupsi. Ia belum menjadi kehendak kolektif untuk menjadikan negeri ini bebas korupsi. Lemahnya basis ini merupakan cermin lemahnya kolektivitas kerakyatan kita. Akibatnya, kemiskinan dan kebodohan tak juga lekang dari rakyat. Dana yang seharusnya mengalir bagi pemberdayaan masyarakat diselewengkan untuk kepentingan segelintir orang. Pendidikan, yang sejatinya menjadi ajang pencerdasan warga bangsa, menjadi terhambat karena dana yang dialokasikan raib ditelan koruptor. Apalagi di saat pemerintah belum mampu menyediakan dana pendidikan sesuai dengan standar konstitusi sebesar 20 persen. Lengkaplah sudah penderitaan rakyat untuk menikmati hak-haknya, khususnya dalam hal pendidikan sesuai dengan konstitusi.

Sementara itu, secara struktural, birokrasi kita digerakkan oleh napas paternalisme yang berbasis pada kawula-gusti. Konsekuensinya, masyarakat dianggap sebagai hamba yang harus menyerahkan upeti agar roda birokrasi bisa bergerak. Realitas ini pada akhirnya mengungkung kesadaran para birokrat dan masyarakat dalam turbulensi birokrasi yang bias. Birokrasi bergerak dari satu upeti ke upeti lainnya. Dan kenyataan inilah yang dihadapi Presiden Yudhoyono dalam mewujudkan komitmennya membebaskan negara dari korupsi.

Menangkap angin
Perang melawan korupsi di tengah atmosfer yang begitu kental dengan penyimpangan hampir sama dengan menangkap angin. Embusan (dampak) korupsi bisa dirasakan, tapi tak kuasa ditangkap secara maksimal. Layaknya angin, ia hanya bisa dikungkung melalui perangkap yang begitu rapat dan komprehensif. Dan kondisi inilah yang belum tercipta di negeri ini. Wajar apabila pemberantasan korupsi tetap menyisakan ceceran agenda yang tak kunjung reda.

Perangkap hukum dan lembaga untuk mempersempit ruang korupsi tak berjalan maksimal karena korupsi masih menjadi bagian di dalamnya. DPR/DPRD, yang seharusnya secara maksimal memainkan kontrol untuk mencegah korupsi, justru menjadi bagian dari korupsi. Kalaupun pada kenyataannya ada sebagian koruptor yang dapat dijebloskan ke penjara, itu bukan sepenuhnya karena keberhasilan aparatur penindak korupsi, melainkan lebih karena kesialan para pelakunya. Terbukti koruptor-koruptor lainnya seakan tak tersentuh.

Ketaktersentuhan ini tak sepenuhnya salah pemerintah, tapi juga berkat kelihaian para koruptor mencari perlindungan dan menggunakan berbagai cara agar selamat dari jeratan korupsi. Kalau mau jujur, mencari pejabat masa lalu yang bersih sangatlah langka. Karena itu, pemberantasan korupsi di tengah korupsi yang begitu akut dan tak terpisahkan dari negara sama dengan membenturkan diri pada dinding yang begitu kukuh bernama negara.

Dalam kondisi demikian, sebagian masyarakat tak sabar melihat gebrakan pemberantasan korupsi yang terus digelorakan Yudhoyono. Sehingga muncul tuduhan tebang pilih, bahkan dianggap involusi. Kritik ini bisa menjadi mesiu yang menyemangati pemberantasan korupsi, tapi bisa juga menjadi genderang apatisme yang menyurutkan bara antikorupsi. Yang pasti, aneka ragam suara atas pemberantasan korupsi menjadi kegaduhan yang sedikit-banyak menyebabkan laju pemberantasan korupsi tak semulus yang diharapkan. Dan sebagian orang (koruptor) mengambil keuntungan dari kegaduhan tersebut.

Duri dalam daging
Gerak bersama menutup celah korupsi belum terlihat. Pemberantasan korupsi masih menjadi agenda parsial, yaitu agenda lembaga-lembaga yang terkait dengan penyidikan, penyelidikan, dan komisi pemberantasan korupsi. Padahal semua ini hanya alat yang efektivitasnya bergantung pada komitmen dan kehendak bersama memberantas korupsi. Alat ini tidak akan bekerja maksimal apabila ia dibiarkan berjalan sendiri atau hanya dijadikan etalase pencitraan atas sebuah pemerintahan. Term pemerintahan di sini tidak hanya terkait dengan lembaga eksekutif, tapi juga legislatif dan yudikatif.

Kasus pengendapan aliran dana Departemen Kelautan dan Perikanan di kalangan anggota DPR menjadi sinyal buruk atas keseriusan pemerintah memberantas korupsi. Inilah ironi pemberantasan korupsi di tengah penyimpangan yang menjadi napas yang menggerakkan nilai dan sistem di republik ini. Bahkan memorandum of understanding ekstradisi, yang jelas-jelas dibuat untuk mengepung para koruptor yang lari ke luar negeri, masih disikapi secara sinis. Beberapa anggota DPR meragukan target pemerintah yang hendak dicapai dari perjanjian ekstradisi tersebut. Sebuah apatisme di tengah korupsi yang menggejala di lembaganya sendiri.

Sementara pada level atas saja terjadi simpang jalan dalam menyikapi pemberantasan korupsi, sulit dibayangkan bisa berlanjut pada level di bawahnya. Sejatinya anggota DPR sebagai wakil rakyat yang tahu persis dampak eksesif dari korupsi menyadari pentingnya komitmen pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Kalau para wakil rakyat memperlihatkan sikap paradoksikalitasnya atas pemberantasan korupsi, jangan berharap pemerintah sukses melakukannya. Inilah duri pemberantasan korupsi dalam daging pemerintah Yudhoyono.

A. Bakir Ihsan, dosen ilmu politik Universitas Islam Negeri Jakarta

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 9 Mei 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan