Parlemen Persoalkan asal Bonus Depkeu; Tunjangan Rp 4,3 T Berlaku Surut 1 Juli

Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang akan menggelontorkan dana Rp 4,3 triliun untuk reformasi birokrasi di Departemen Keuangan (Depkeu) direspons DPR. Dalam rapat kerja (raker) yang berlangsung sore ini, Panitia Anggaran DPR akan mengklarifikasi langsung kepada Menkeu tentang sumber dana triliunan rupiah tersebut.

Ketua Panitia Anggaran DPR Emir Moeis menyatakan telah menerima informasi rencana penggunaan dana dari pos 69, yakni pos lain-lain dalam APBN, untuk mencairkan tunjangan pegawai Depkeu tersebut. Kami akan mengecek langsung kepada Menkeu apakah memang benar (dana tunjangan pegawai Depkeu, Red) dialokasikan dari pos tersebut. Sebab, biasanya pos itu digunakan untuk kepentingan darurat seperti policy measures dan bencana alam, katanya kemarin.

Pertemuan DPR dengan Menkeu, jelas politikus FPDIP itu, akan berlangsung sore ini. Kami ada jadwal raker mengenai RPABN 2007. Karena beliau datang dan dana tunjangan itu sedang disorot media, sekalian kami tanyakan untuk klarifikasi, ungkapnya.

Sesuai mekanisme, penggunaan dana pos 69 harus lebih dulu dikonsultasikan dengan DPR. Kami akan proporsional. Kalau memang kepentingannya logis, tidak akan kami larang. Tapi, tentu ada mekanisme yang harus tetap dipenuhi, ujar anggota Panitia Anggaran DPR Ramson Siagian.

Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi PDIP Maruarar Sirait mengungkapkan, pemerintah harus lebih dulu menetapkan parameter yang akan menjadi ukuran berhasil tidaknya reformasi birokrasi. Reformasi jangan dilihat sebagai tujuan, tapi upaya-upaya yang dilakukan, sehingga terlihat output-nya, ujarnya.

Ukuran hasil yang diperoleh, menurut dia, bisa dinilai dengan laporan keuangan yang tidak mendapatkan penilaian disclaimer dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) serta kemampuan menertibkan rekening-rekening liar.

Jika DPR menyoroti prosedur pencairan dana, berbagai kalangan juga meragukan efektivitas pemberian tunjangan yang disebut TPKPN (tunjangan khusus dan pembinaan keuangan negara) di lingkungan Depkeu.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gappmi) Thomas Darmawan menyatakan, selain tidak optimal, pemberian tunjangan triliunan rupiah justru akan menimbulkan kecemburuan di departemen lain. Sebab, tingkat kesejahteraan dan fasilitas pegawai tidak sama.

Dia mencontohkan, dalam upaya memperbaiki pelayanan, petugas Bea dan Cukai berkaitan langsung dengan pegawai Departemen Perdagangan dan Departemen Pertanian seperti Dinas Karantina. Bagaimana memperbaiki tingkat layanan kalau sarana pendukung departemen yang menjadi mitra tidak memadai? Misalnya, sarana komputer, baik software maupun hardware, ungkapnya.

Masalah itu terlihat di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (BC) yang sudah menerapkan sistem komputerisasi secara online, sehingga pemeriksaan berkas bisa lebih cepat. Namun, jika harus berhubungan dengan karantina, prosesnya butuh waktu lama karena harus memeriksa secara manual.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Djimanto menilai, selama masih di bawah UU Kepegawaian, reformasi birokrasi yang dilakukan tidak akan efektif. Pemerintah idealnya meniru swasta, yakni ada keseimbangan antara punishment dan reward. Pegawai yang tidak produktif dipensiunkan secara dini saja, tegasnya.

Dia mengungkapkan, kini masih terdapat fenomena kepegawaian yang tidak sehat di lingkungan pemerintah. Asal masuk saja, gajinya juga ikut naik. Ada pula yang punya konsep tinggi dan bagus, tapi tidak bisa ngapa-ngapain. Itu harus diubah, katanya.

Pengamat Keuangan dan Administrasi Negara Priyono Tjiptoheriyanto mengemukakan, salah satu kebijakan mendasar untuk memperbaiki masalah kepegawaian adalah soal kesejahteraan. Tampaknya, Ibu Menkeu itu berpandangan bahwa pegawai Depkeu profesional, sehingga perlu diberi tunjangan lebih untuk kinerjanya, ungkapnya saat dihubungi Jawa Pos kemarin.

Pandangan Menkeu itu, kata dia, tidak masalah selama Depkeu benar-benar bisa menunjukkan profesionalitas. Kalau pegawai Depkeu belum profesional, pemberian tersebut hanya akan seperti menggarami lautan, ujarnya.

Ekonom Indef Iman Sugema justru menilai, langkah menteri keuangan soal perbaikan sistem remunerasi yang dimulai di lingkungan Departemen Keuangan tidak beralasan. Gaji pegawai di Departemen Keuangan itu sudah sangat banyak. Mengapa tidak dimulai di departemen yang minim anggaran seperti Departemen Agama, Departemen Pendidikan Nasional, atau Departemen Pertanian? tegasnya.

Pengambilan keputusan yang dilakukan sepihak dan tidak mengajak konsultasi berbagai pihak juga disayangkan. Hal tersebut menyangkut akuntabilitas kebijakan yang diambil. Katanya mau melakukan reformasi birokrasi, kok cara-caranya tidak reformis? ungkapnya.

Iman menyarankan agar Menkeu lebih berhati-hati dalam mengambil kebijakan, terutama menyangkut rencana penggunaan pos lain-lain (69) yang lazimnya untuk kepentingan darurat dan kontingensi.

Cair Secepatnya
Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan Mulia P. Nasution menuturkan, pencairan dana tunjangan Depkeu, menurut Keputusan Menteri Keuangan Nomor 30/KMK.01/2007 tentang Reformasi Birokrasi, akan dilakukan secepatnya.

Memang harus menunggu semua hal beres dulu. Tapi, kami tentu berharap dilakukan secepatnya, ujarnya kepada Jawa Pos setelah rapat kerja mengenai rencana kerja kementerian negara/lembaga (RKKL) dengan panitia anggaran di DPR kemarin.

Dia tidak memastikan apakah tunjangan itu bisa mulai dicairkan per 1 Agustus mendatang atau tidak. Kalau belum, tentu masih memakai gaji lama. Tapi, nanti dirapel. Yang jelas, efektif mulai 1 Juli, tegasnya.

Bagaimana sebetulnya perhitungan pencairan tunjangan triliunan rupiah itu untuk pegawai Depkeu? Sumber Jawa Pos di lingkungan Departemen Keuangan pesimistis pencairan dilakukan pada 1 Agustus. Salah satunya menyangkut sistem absensi yang belum beres. Sistem absensi kita kan sekarang menggunakan finger print. Itu sulit selesai dalam waktu dua minggu, ujarnya.

Selain itu, pencairan atau klaim TPKPN (tunjangan khusus dan pembinaan keuangan negara) baru bisa dilakukan bila assessment yang dilakukan pimpinan langsung selesai.

Pegawai yang saat ini bergolongan VIB itu menyatakan heran atas berbagai respons yang mengemuka. Menurut dia, perbaikan sistem remunerasi merupakan salah satu bagian penting dalam proses reformasi birokrasi. Masak mau PGPS (pinter goblok penghasilan sama, Red) terus, ungkapnya.

Lagi pula, peningkatan tunjangan yang dilakukan tidak berkali-kali lipat seperti yang banyak diberitakan. Dia mencontohkan perhitungan yang didapatkan untuk pegawai di levelnya dengan gaji Rp 10 juta, kenaikannya hanya 50 persen.

Itu terdiri atas komponen gaji pokok Rp 3 juta, TPKPN Rp 3 juta, serta honor Rp 4 juta. Dengan adanya KMK (keputusan Menkeu) baru, saya perkirakan nanti Rp 7 juta dihapus, yakni TKPKN lama dengan honor. Saya mendapatkan TKPKN baru Rp 12 juta. Artinya, dari pendapatan lama berubah ke baru, meningkat Rp 5 juta atau 50 persen saja, jelas pria yang sudah 32 tahun berkarir di Depkeu tersebut.

Dia juga mengemukakan bahwa Depkeu pernah menjadi pelopor dalam reformasi birokrasi pada 1970-an. Saat itu, gaji Depkeu meningkat hingga sembilan kali lipat. Kalau saat ini, yang gajinya naik berlipat-lipat adalah Dirjen serta mereka yang eselon satu dan dua, ujarnya. (iw)

Sumber: Jawa Pos, 10 Juli 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan