Pasar Terbuka Bernama MA

Setelah masalah Pilkada Depok yang kontroversial belum juga usai, Mahkamah Agung (MA) kembali diguncang masalah setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Jumat (30/9/05) membongkar Skandal Suap yang melibatkan Harini Wijoso, pengacara Probosutedjo dan lima orang pegawai MA. Terungkap bahwa suap sebanyak Rp 5 miliar tersebut rencananya akan digunakan untuk membuat putusan palsu yang menguntungkan Probosutedjo, terdakwa kasus korupsi dana reboisasi di Kalimantan Selatan senilai Rp 100,9 miliar.

Terbongkarnya praktik mafia peradilan yang terjadi di MA, sesungguhnya bukan yang pertama kali. Sebelumnya kasus serupa pernah terjadi ketika Endin Wahyudin melaporkan dua hakim agung dan mantan hakim agung karena telah menerima suap. Jauh sebelumnya kita juga sempat terungkap adanya ''surat sakti'' dari Wakil Ketua MA dalam kasus Kedungumbo, dan dikeluarkannya vonis palsu seorang terpidana penyelundupan di Makassar.

Kasus terakhir yang menimpa Harini, pengacara Probosutedjo dan lima pegawai MA menjadi besar karena --berdasarkan penuturan para pelaku-- uang suap tersebut akan diberikan kepada Ketua MA Bagir Manan dan para pelakunya tertangkap tangan oleh KPK. Praktik korupsi di MA pada dasarnya adalah suap menyuap. Suap ini dapat terjadi karena inisiatif pencari keadilan atau karena diperas oleh pihak ketiga sebagai perantara seperti yang terjadi dalam kasus Probosutedjo. Praktik mafia peradilan di MA ibarat pasar terbuka, dimana ada penawar, perantara, dan pembeli.

Umumnya pencari keadilan menghubungi pihak perantara yang nantinya akan menghubungi hakim yang bersangkutan. Namun dalam beberapa kasus pencari keadilan seringkali menghubungi langsung majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkaranya.Sedangkan pelakunya mulai dari pengacara, pihak yang berperkara, panitera, asisten hakim agung, hakim agung, pegawai MA, hingga calo perkara.

Pola
Praktik mafia peradilan yang baru saja terbongkar sesungguhnya hanya satu dari beberapa pola korupsi yang biasa terjadi di MA. Hasil penelitian yang dilakukan oleh ICW tahun 2001, sedikitnya menemukan enam pola korupsi dalam proses penyelesaian perkara di MA.

Pertama, pengaturan majelis yang menguntungkan (favourable). Untuk menang dalam suatu perkara komposisi majelis hakim sangat menentukan. Kalau perkara jatuh ke tangan hakim yang sudah dikenal baik dan pernah bekerja sama, proses memenangkan perkara akan lancar. Sebaliknya, kalau jatuh ke tangan hakim agung baru atau celakanya, kalau jatuh ke tangan hakim yang jujur, sulit untuk mengatur vonis.

Salah satu cara yang agak unik untuk mengatur majelis hakim adalah dengan tidak melengkapi berkas perkara. Karena tidak lengkap, berkas perkara akan tertahan di direktorat. Pemeriksaan perkara dilakukan atas dasar nomor urut dan setiap deretan urut tertentu telah ditetapkan majelis hakimnya. Tetapi, melalui kerja sama dengan bagian direktorat MA, berkas perkara diatur agar jatuh ke tangan hakim yang favourable.

Kedua, penggunaan Jasa Pengacara atau calo tertentu. Sama seperti lembaga peradilan di bawahnya, MA juga tidak steril dari percaloan perkara. Calo yang biasa beroperasi di MA adalah kerabat dekat hakim agung dan petinggi MA. Umumnya calo perkara di MA juga berstatus pengacara. Dalam percaloan perkara seperti ini, hakim bersama-sama dengan calo atau pengacara tersebut, memeras pihak yang berperkara.

Pada awalnya, pihak yang berperkara akan ditawari untuk memakai jasa pengacara atau calo tertentu yang mempunyai hubungan istimewa dengan hakim Agung. Biasanya mereka mempunyai hubungan saudara atau anak seorang hakim agung. Mereka akan berusaha melobi hakim yang menangani perkara tersebut. Akibatnya, Hakim Agung yang menangani perkara akan merasa sungkan dan menimbulkan perasaan tidak enak apabila membuat putusan yang mengalahkan anak koleganya itu.

Ketiga, pengaburan perkara. Modus pertama pengaburan perkara dilakukan oleh asisten hakim agung pembuat resume yang mempunyai kesepakatan khusus dengan pihak yang berperkara. Oleh asisten Hakim Agung, resume tersebut akan dibuat untuk menguntungkan salah satu pihak sehingga ketika vonis kasasi diketok, pihak tersebut akan menang. Modus kedua, pengaburan perkara dilakukan dengan penghilangan data oleh panitera dari berkas perkara. Biasanya tindakan itu dilakukan oleh panitera senior. Supaya permainan ini lancar maka panitera tersebut bekerja sama dengan hakim yang akan memeriksa perkara yang didaftar.

Keempat, ''Surat sakti'' MA. Surat sakti biasanya dikeluarkan untuk menunda atau menghentikan eksekusi suatu perkara. Surat tersebut dikeluarkan setelah ada negosiasi antara hakim dengan lawan dari pihak yang berperkara. Dikeluarkannya surat sakti oleh Ketua Mahkamah Agung pernah terjadi pada beberapa kasus antara lain pembatalan terhadap putusan terhadap PT PLN dan pembatalan putusan untuk Henoch Hebe Ohee.

Kelima, pemalsuan vonis. Pada 1991, MA sempat tercoreng mukanya akibat kasus vonis kasasi penyelundup rotan Tony Guritman. Sebelumnya, Pengadilan Negeri Surabaya memvonis bebas terdakwa. Maka, Tony pun dikeluarkan dari tahanan, sementara jaksa mengajukan kasasi. Ternyata, majelis hakim kasasi yang diketuai Adi Andojo Soetjipto menerima kasasi jaksa. Terdakwa dihukum tiga tahun penjara dan denda Rp 10 juta. Tapi, kenyataannya, Tony tetap menghirup udara bebas berdasarkan vonis kasasi pula dengan amar yang berbeda. Usut punya usut, ketahuanlah bila vonis Adi itu dipalsu tiga pegawai MA. Bunyi putusan kasasi yang membatalkan pembebasan terdakwa penyelundupan rotan, Tony Guritman, disulap menjadi sebaliknya.

Keenam, Vonis yang tidak bisa dieksekusi. Pola korupsi ini tidak hanya melibatkan hakim agung di MA tetapi juga hakim di tingkat PN. Apabila sebuah perkara menang di tingkat kasasi, eksekusi akan dilakukan oleh Pengadilan Negeri. Tetapi, kalau lobi di tingkat PN dan MA kalah dari pihak lawan, eksekusi bisa terganjal oleh tuntutan dalam perkara serupa. Pola seperti ini juga terjadi dalam kasus Endin. Vonis kasasi yang memenangkan Endin tidak bisa dieksekusi karena lawannya, Soenanto Soemali mengajukan gugatan kembali dalam perkara yang sama dan dengan objek yang sama pula.

Anehnya, meskipun pola korupsi yang terjadi di MA berulang kali terbongkar, belum ada satupun hakim agung yang dipecat dari MA walaupun jelas-jelas terlibat dalam praktik mafia peradilan. Biasanya yang selalu dikorbankan adalah para pegawai MA yang hanya berperan sebagai perantara antara pihak yang berperkara dengan Hakim Agung.Saat ini kita masih menunggu langkah yang dilakukan oleh KPK dan juga Komisi Yudisial untuk membersihkan praktik mafia peradilan yang sudah demikian akutnya.

Emerson Yuntho
Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch

Tulisan ini disalin dari Republika, 18 Oktober 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan