Pemantauan Rekrutmen Calon Pegawai

Lemahnya daya saing sektor industri juga berawal dari rumitnya birokrasi yang menghambat perizinan sektor usaha. Lesunya investasi asing muaranya juga pada lemahnya penegakan hukum, yang lagi-lagi disebabkan oleh ketidakbecusan pegawai negara.

Buruknya kinerja birokrasi di Indonesia sudah jamak diketahui orang. Persoalan ini dituduhkan oleh banyak pihak sebagai biang keladi keterpurukan bangsa yang kaya sumber daya alam ini. Prestasi sebagai negara terkorup di dunia konon akarnya dari bobroknya birokrasi dengan segala perangkat pamong prajanya. Lemahnya daya saing sektor industri juga berawal dari rumitnya birokrasi yang menghambat perizinan sektor usaha. Lesunya investasi asing muaranya juga pada lemahnya penegakan hukum, yang lagi-lagi disebabkan oleh ketidakbecusan pegawai negara.

Bukan hanya di masa kini birokrasi menjadi benalu di negeri yang konon juga religius ini. Sejak zaman Soekarno menjadi presiden, keluhan terhadap birokrasi telah mengemuka dan menjadi perhatian serius. Oleh Presiden Megawati, 40 tahun kemudian, bahkan birokrasi disebutnya sebagai keranjang sampah. Sebutan ini sungguh luar biasa karena dikeluhkan oleh seorang presiden, yang seharusnya dibantu oleh birokrasi dalam menjalankan tugas mengatur negara.

Lantas apakah tidak ada pihak yang berusaha memperbaiki kondisi ini? Jawabannya tentu saja tidak. Di zaman pemerintahan Soekarno pernah dibentuk Panitia Retooling Aparatur Negara untuk membersihkan aparat pemerintah. Selain itu, sudah sejak 1969 pemerintah memiliki Menteri Negara Urusan Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara, cikal bakal Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara yang bertugas membina dan mengatur keberadaan pegawai negeri sipil.

Ada pula Badan Kepegawaian Negara yang bertugas melaksanakan manajemen kepegawaian negara. Untuk melakukan diklat dan penyempurnaan administrasi kepegawaian, sudah dibentuk pula Lembaga Administrasi Negara. Bappenas pun telah membentuk Tim Pengembangan Kebijakan Nasional Tata Pemerintahan yang Baik sejak 1997 yang berfungsi melakukan pengkajian dan upaya-upaya untuk reformasi birokrasi.

Berbagai upaya di atas menunjukkan betapa persoalan birokrasi telah sedemikian berat dan harus ditangani dengan serius. Meskipun demikian, hasilnya juga belum terlihat menggembirakan. Korupsi yang dilakukan oleh pejabat hingga pegawai rendahan masih merajalela. Pungutan liar dan diskriminasi dalam layanan publik (pembuatan kartu tanda penduduk, surat izin mengemudi, paspor, dan lain-lain) masih menjadi pemandangan sehari-hari.

Selama ini upaya perbaikan dan penataan ulang (baca: reformasi) yang dilakukan dalam sistem kepegawainegaraan ini masih dari birokrasi untuk birokrasi. Publik sebagai beneficiaries dari pelaksanaan tata pemerintahan sama sekali tidak memiliki akses untuk berpartisipasi secara aktif dan diakui keberadaannya. Dari sekian banyak lembaga yang telah dibentuk dan peraturan yang telah diterbitkan, tidak ada satu pun yang melegalkan adanya partisipasi publik dalam tata laksana kepegawaian. Di negara lain, seperti Jepang dan Korea, telah ada semacam komisi kepegawaian yang anggotanya dari unsur masyarakat yang fungsinya memberikan arah perbaikan terhadap pengelolaan birokrasi. Mereka berhasil dengan baik.

Mengambil pelajaran dari upaya perbaikan birokrasi yang telah dilakukan pemerintah kita selama ini, boleh jadi akar persoalannya adalah minimnya partisipasi publik di dalamnya. Dengan berkutatnya mereka pada perbaikan internal, sepertinya tidak ada dorongan kuat dari luar untuk berubah. Jika upaya yang dilakukan hanya dari mereka untuk mereka, sangat dimungkinkan ada permainan di dalam. Banyak persoalan birokrasi yang memerlukan sentuhan partisipasi publik agar hasilnya lebih baik, di antaranya pemantauan dalam rekrutmen, keterlibatan dalam penyusunan kebijakan kepegawaian, dan keterbukaan akses dalam penilaian kinerja aparat.

Dalam persoalan rekrutmen calon pegawai negeri sipil, dengan becermin pada proses pemantauan pemilu legislatif, keberadaan tim pemantau independen menjadi sangat penting. Hakikat dari pemilu dan rekrutmen calon pegawai negeri sipil sama, memilih orang-orang yang akan diberi mandat untuk mengurus negara, sehingga publik sangat berkepentingan untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Salah satu caranya adalah dengan melakukan pemantauan pelaksanaan rekrutmen dari awal hingga akhir.

Beberapa tahapan rekrutmen yang perlu mendapatkan perhatian publik antara lain sebagai berikut ini. Pertama, tahap penentuan formasi jabatan. Tahap ini merupakan awal dari seluruh proses rekrutmen. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara bersama seluruh jajarannya akan menentukan formasi jabatan yang harus segera diisi oleh pegawai baru. Di sinilah kira-kira akan terjadi tarik-ulur tentang apa saja jabatan yang perlu diisi kembali, jumlahnya berapa, dan kualifikasi orang yang diperlukan seperti apa. Pada tahap ini sangat strategis karena jika mereka salah mendeteksi kebutuhan birokrasi, formasi jabatan yang dikeluarkan akan bisa tidak efektif dan efisien. Akibatnya tentu penghamburan uang negara untuk gaji jabatan-jabatan yang tidak diperlukan.

Kedua, tahap pengumuman seleksi dan proses pendaftaran. Setelah formasi jabatan ditentukan, biasanya dilanjutkan dengan mengumumkan bahwa pemerintah pada instansi/daerah tertentu membuka lowongan pegawai. Tidak jarang pengumuman ini terkesan tertutup dan hanya orang pada lingkaran tertentu yang mengetahuinya. Jikapun informasinya sampai kepada masyarakat, sering kali sepotong-sepotong sehingga cenderung membingungkan masyarakat. Informasi yang tidak lengkap tentang kejelasan tempat, kejelasan persyaratan, prosedur yang harus dilalui, deadline, dan sebagainya bisa terjadi di sini.

Pada tahap ini partisipasi yang bisa dilakukan masyarakat adalah mengawasi dan memastikan bahwa pengumuman yang dilakukan sudah memadai, baik dari segi kejelasan substansi maupun dari tingkat jangkauan audiensi. Keberagaman jenis media pengumuman penting dipastikan agar masyarakat yang menerima informasi bisa seluas mungkin. Penggunaan media massa dan media komunitas menjadi salah satu tolok ukur keluasan jangkauan informasi.

Ketiga, tahap pelaksanaan ujian seleksi. Modus kecurangan yang sering ditemukan adalah adanya bocoran soal dan penjokian. Dengan adanya potensi berbagai modus kecurangan ini, semestinya panitia rekrutmen menyediakan tempat pengaduan yang memadai. Wadah ini idealnya mudah diakses oleh pelapor, baik masyarakat umum maupun peserta seleksi, ada jaminan kerahasiaan pelapor, dan dilakukan proses tindak lanjut yang cepat dan tuntas. Dengan adanya wadah pengaduan kecurangan ini, masyarakat bisa dengan proaktif mengawasi jalannya seleksi dan melaporkan jika didapati berbagai kecurangan.

Keempat, tahap penilaian hasil ujian dan penentuan kelulusan. Tahap ini juga menjadi titik yang sangat kritis dan rawan manipulasi. Penilaian ujian dan seleksi administratif ini pelaksanaannya sepenuhnya berada di bawah kekuasaan panitia seleksi. Jika panitia tidak bermoral, dengan mudah akan ada jual-beli hasil ujian dan mereka yang membayar mahal akan diloloskan, meskipun hasilnya jelek, demikian sebaliknya. Jika demikian kejadiannya, yang akan menjadi korban adalah masyarakat yang tidak mampu membayar uang sogokan.

Untuk menghindari kecurangan pada tahap ini perlu adanya jaminan transparansi terhadap seluruh proses penilaian dan penentuan hasil seleksi. Semestinya pula terdapat akses bagi masyarakat untuk dapat mengamati langsung bahkan mengaudit hasil kerja panitia ini dari awal hingga akhir. Pengumuman hasilnya juga semestinya bisa dipertanggungjawabkan, misalnya jika ada peserta seleksi yang tidak puas atau merasa dirugikan.

Terlihat bahwa dari empat tahapan seleksi calon pegawai negeri sipil tersebut, peran publik sangat diperlukan. Sekali lagi dengan melihat pengalaman dalam pemilu legislatif lalu yang telah membuka partisipasi publik untuk mengawasi, pemilihan jabatan birokrasi ini juga mesti transparan dan terbuka untuk publik. Tantangannya tentu pada dua pihak, yaitu aturan main yang membuka peluang tersebut dan kesiapan publik untuk pengawasannya.

Pada rentang Januari-Maret 2006 ini akan dilaksanakan prosesi rekrutmen calon pegawai negeri sipil secara nasional. Penting kiranya sebanyak mungkin mata publik untuk ikut mengawasi, dengan kadar masing-masing, karena peraturannya belum melegalkan pengawasan secara mendalam. Paling tidak hal ini akan memberikan peringatan bahwa masyarakat peduli dan mengharapkan hasil aparat birokrasi yang bersih dan mumpuni. Dengan perekrutan pegawai yang kredibel, bersih, dan bermoral, diharapkan birokrasi yang kuat dan bersih terbangun pula. Dampak lanjutannya adalah recovery seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Semoga!

As'ad Nugroho, Direktur Program Lembaga Konsumen Jakarta

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 19 Januari 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan