Pemberantasan Korupsi; Pembuktian Terbalik

Pembuktian terbalik hanya bisa dikenakan pada satu delik, yakni delik suap. Pembuktian terbalik tidak bisa dikenakan pada pasal korupsi yang lain. Hingga saat ini, delik suap merupakan kejahatan yang tidak kelihatan.

Hal ini mengemuka dalam diskusi publik bertema Beban Pembuktian Terbalik dalam Perkara Korupsi yang diselenggarakan Komisi Hukum Nasional di Jakarta, Senin (9/4). Pembicara yang hadir dalam diskusi itu adalah pakar hukum pidana Romli Atmasasmita, Direktur Perdata Kejaksaan Agung Yoseph Suardi Sabda, perwakilan dari KPK Rooseno, dan pakar hukum pidana Indriyanto Seno Adji.

Indriyanto mengatakan, setelah ia mempelajari dari sejarah hukum di Indonesia dan juga negara Anglo Saxon, pembuktian terbalik tidak dikenal, kecuali delik suap. Sebab, suap merupakan kejahatan yang tersembunyi dan sulit untuk dibuktikan. Di Indonesia, pasal suap merupakan pasal impoten. Beberapa pakar hukum berusaha menghidupkan pasal suap, tetapi tidak juga bisa. Beban pembuktian terbalik bukan dilakukan terhadap semua pasal korupsi. Beban pembuktian terbalik hanya ada dalam satu delik, yaitu yang tercantum dalam Pasal 12 B UU Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 37 a yang terkait dengan perampasan harta benda terhadap para terdakwa yang didakwa dengan pasal-pasal korupsi, kata Indriyanto.

Romli mengatakan, teori pembuktian yang selama ini diakui adalah pembuktian negatif atau Pasal 193 KUHAP yang menuntut pembuktian dan sejalan dengan prinsip praduga tak bersalah. Ini menyulitkan proses pembuktian kasus megakorupsi. (VIN)

Sumber: Kompas, 10 April 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan