Pemberantasan Korupsi Sebatas Pernyataan

Memasuki masa dua tahun agenda pemberantasan korupsi, Indonesia dinobatkan Transparency International (TI) berada pada posisi 130 di antara 163 negara terkorup di dunia. Dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2006 itu, skor Indonesia hanya 2,4 atau naik 0,2 dari 2,2 pada tahun sebelumnya.

Posisi tersebut menegaskan bahwa Indonesia tidak lebih baik dari negara-negara Benua Afrika, seperti Togo, Burundi, Etiopia, Republik Afrika Tengah, Zimbabwe, dan negara tetangga, Papua Nugini, yang juga bersama-sama dengan Indonesia menempati urutan 130.

Belum beranjaknya peringkat korupsi Indonesia pada tingkat yang lebih memuaskan, menurut Ketua KPK Taufiequrachman Ruki, disebabkan pelayanan publik masih buruk, pencegahan korupsi masih jalan di tempat, dan Inpres No 5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi hanya jadi dokumen yang tersimpan rapi.

Sebelumnya, ketua KPK mengeluh bahwa semangat pemberantasan korupsi hanya ada pada KPK dan sejumlah kecil pemimpin. Sisanya, kalau pun tidak menikmati praktik korupsi, juga cenderung tutup mata. Keluhan KPK itu sesungguhnya adalah pekerjaan rumah penting bagi presiden.

Komitmen Presiden SBY memang tidak diragukan lagi, walaupun masih ada beberapa catatan di sana-sini. Tetapi selama dua tahun, SBY terkesan berupaya mencitrakan dirinya sebagai tokoh yang bekerja keras dan serius dalam pemberantasan korupsi.

Dalam hal itu, pencitraan yang dilakukan dinilai cukup meyakinkan masyarakat bahwa SBY memiliki kesungguhan dan keseriusan dalam memberantas korupsi. Paling tidak, hal tersebut bisa dilihat dari hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Oktober 2006. Sekitar 67 persen responden menganggap kinerja SBY-Kalla pada umumnya memuaskan.

Beberapa kebijakan pemberantasan korupsi yang digulirkan presiden, seperti menetapkan enam langkah pemberantasan korupsi, penerbitan inpres percepatan pemberantasan korupsi, dan rencana aksi nasional (RAN) pemberantasan korupsi, pada awal pemerintahannnya juga tidak terlaksana pada tahun kedua seperti yang diharapkan. Kebijakan yang dibuat terkesan sebatas upaya pencitraan diri dan meningkatkan popularitas SBY bahwa presiden serius dalam upaya pemberantasan korupsi.

Implementasinya praktis berjalan lamban dan tidak terkontrol. Bahkan, tiada sanksi apa pun bagi pejabat di bawah presiden yang tidak menjalankan kebijakan tersebut.

Kinerja yang ditunjukkan unit pemberantasan korupsi pada pemerintahan SBY, seperti kejaksaan, kepolisian, Timtastipikor, Tim Pemburu Korupsi, jauh dari memuaskan. Tidak sesuai target. Aparat pemberantas korupsi di bawah SBY lebih mementingkan kuantitas dan bukan kualitas penanganan perkara korupsi. Kesan tebang pilih atau diskriminatif tidak bisa dilepaskan dari kinerja pemberantasan korupsi yang dijalankan aparat penegak hukum selama dua tahun terakhir.

Dalam catatan ICW, perkara korupsi besar yang ditangani langsung kejaksaan di tingkat penyidikan dan telah dilimpahkan ke pengadilan selama dua tahun terakhir sangat minim. Perkara korupsi yang tergolong kakap dan ditangani kejaksaan pada tahap penyidikan selama 2006 hanya perkara korupsi pemberian kredit Bank Mandiri kepada PT Lativi dengan tersangka Abdul Latif, perkara korupsi penjualan aset BPPN dengan tersangka Syafrudin Tumenggung. Dua perkara korupsi pengadaan Heli MI-17 oleh Departemen Pertahanan dan TNI-AD serta korupsi tabungan wajib prajurit TNI-AD ditangani secara koneksitas. Sayang, penanganan perkara korupsi tersebut juga berjalan lambat.

Selain minimnya perkara besar yang ditangani kejaksaan, saat dibawa ke pengadilan pun, beberapa di antaranya ternyata divonis bebas atau vonis ringan. Di antara 809 perkara yang dilimpahkan kejaksaan, dalam catatan ICW, sedikitnya 160 perkara telah diputus pengadilan. Sebanyak 50 perkara korupsi atau hampir sepertiganya divonis bebas oleh pengadilan selama 2005 hingga Oktober 2006.

Kepolisian juga masih belum responsif dan serius dalam mengusung agenda pemberantasan korupsi pemerintahan SBY, khususnya menyelesaikan perkara-perkara korupsi. Di antara 191 perkara korupsi yang ditangani kepolisian selama 2005, kenyataannya masih banyak perkara yang mandek penyelesaiannya.

Kondisi itu diperburuk langkah Kepala Polri Jenderal (Pol) Sutanto yang memfasilitasi kedatangan tiga pengutang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) ke kantor presiden di Kompleks Istana pada 6 Februri 2006. Padahal, ketiga debitor tersebut sebelumnya dinilai tidak kooperatif menyelesaikan kewajiban membayar utang kepada negara.

Banyak kasus yang melibatkan kepala daerah macet di tingkat penyelidikan dan penyidikan kejaksaan serta kepolisian, meski presiden sudah memberikan izin pemeriksaan. Di antara 70 izin pemeriksaan terhadap kepaka daerah yang diberikan SBY, baru tujuh yang dilimpahkan kepengadilan. Selebihnya berjalan di tempat.

Timtastipikor yang sudah berjalan 1,5 tahun masih jauh dari yang diharapkan saat awal pembentukannya. Pada awal berdiri, Timtastipikor diamanatkan untuk menyelesaikan perkara korupsi di 16 badan usaha milik negara (BUMN), 4 departemen, 3 perusahaan swasta, dan 12 koruptor yang melarikan diri. Namun, hingga masa kerja anggotanya hampir berakhir Mei 2007 mendatang, di antara sekian perkara yang ditangani, hanya enam perkara korupsi yang masuk pengadilan.

Tim Pemburu Koruptor (PK) yang menetapkan 13 target utama perburuan hanya berhasil memulangkan satu koruptor. Koruptor yang ditangkap itu adalah David Nusa Wijaya, mantan direktur Bank Sertivia yang terjerat perkara korupsi dana BLBI senilai Rp 1,3 triliun.

Kerja Tim PK dalam pengembalian aset hasil korupsi juga belum memuaskan. Pada awal pembentukan, tim memperkirakan aset koruptor di luar negeri mencapai Rp 6 triliun-Rp7 triliun. Tapi, hampir dua tahun berjalan, uang yang ditargetkan belum juga bisa dibawa pulang.

Selama dua tahun kepemimpinan SBY, pemberantasan korupsi tampak seperti tanpa arah. Pemberantasan korupsi terkesan sebatas pernyataaan, asal tangkap dan tanpa ada strategi jangka panjang. Kini saatnya pemerintah memilih prioritas dan menyinergikan sumber daya dalam pemberantasan korupsi.

Presiden harus memantau, terutama untuk memastikan instruksinya dilakukan departemen-departemen dan pemerintah daerah. Jangan seperti Inpres No 5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi yang jatuh ke slogan belaka karena tidak ada follow up dari masing-masing departemen.

Presiden juga harus mampu memobilisasi dukungan bagi pemberantasan korupsi. Terutama, dari lembaga-lembaga lain, seperti Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Meski secara kelembagaan terpisah, faktanya presiden memiliki pengaruh yang bisa dipergunakan supaya pemberantasan korupsi dapat berjalan.

Emerson Yuntho, anggota Badan Pekerja ICW di Jakarta

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 30 November 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan