Pemberantasan Korupsi; Tim yang (Lagi-lagi) Tidak Tuntas

Pemberantasan korupsi di Indonesia selalu menjadi salah satu ikon program yang diusung pemerintah. Selalu ada tim baru bentukan penguasa saat itu meskipun pelaksanaan pemberantasan korupsi di lapangan tidak segagah gembar-gembor pembentukannya.

Tokoh kartun Oom Pasikom dalam kritiknya yang dimuat di Kompas terbitan 8 Mei 1968 juga pernah menyinggung keberadaan tim pemberantasan korupsi yang sulit membuktikan tindakan korupsi meskipun banyak pejabat aji mumpung memperkaya diri melalui kewenangannya.

Tercatat beberapa kali tim pemberantasan korupsi dibentuk. Tahun 1967, Presiden Soeharto membentuk Tim Pemberantasan Korupsi yang diketuai Jaksa Agung Sugiharto. Tahun 1970, dibentuk Komisi Empat yang terdiri dari Wilopo, IJ Kasimo, Anwar Tjokroaminoto, dan Sutopo Juwono. Pada 1970 juga, Komisi Antikorupsi yang didirikan aktivis mahasiswa, antara lain Akbar Tandjung dan Asmara Nababan, terbentuk.

September 1977 dibentuk Operasi Tertib. Lalu, tahun 1982 dibentuk Tim Pemberantas Korupsi yang beranggotakan JB Sumarlin, Sudomo, Muljono, Ali Said, Ismail Saleh, dan Awaludin Djamin. Selanjutnya, berdasarkan Surat Keputusan Jaksa Agung tertanggal 23 Mei 2000, dibentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Tim yang beranggotakan 25 orang dari unsur kepolisian, kejaksaan, dan masyarakat itu diketuai mantan Ketua Muda Mahkamah Agung (MA) Adi Andojo Soetjipto.

Namun, semua tim itu tidak pernah tuntas memberantas korupsi. Entah karena kewenangannya dibatasi, usianya tak panjang, atau seperti TGPTPK, dibubarkan melalui proses uji materi (judicial review) di MA karena kebetulan yang diincar pertama adalah dugaan korupsi yang melibatkan hakim agung.

Kesan serius pemberantasan korupsi juga diciptakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tak mau kalah dari pemerintahan sebelumnya, sekitar 6,5 bulan setelah dilantik, dia mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2005 tertanggal 2 Mei 2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tim Tastipikor).

Tim Tastipikor yang diketuai Hendarman Supandji (saat itu Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus) beranggotakan unsur polisi, jaksa, serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Dengan dibentuknya tim itu, semestinya lengkap sudah upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Jika semula ada kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kini ditambah Tim Tastipikor yang bertugas selama dua tahun. Logikanya, pemberantasan korupsi akan sukses, tuntas hingga ke akar-akarnya. Top, lah!

Awalnya, Tim Tastipikor menerima perkara yang diserahkan Presiden, baik menyangkut badan usaha milik negara (BUMN), instansi pemerintah, maupun lingkungan Istana. Dalam program kerja Tim Tastipikor 2006-2007, perkara yang diprogramkan diselesaikan di antaranya indikasi korupsi di Sekretariat Negara (Setneg) yang meliputi perkara Konferensi Asia Afrika (KAA) 2005, perkara tanah Bencongan, dan perkara Sekretariat Kepresidenan (Setpres), yang menurut program kerja disidik sepanjang Februari-Juni 2006, dan tahap penuntutan pada kurun waktu Juli-Desember 2006. Ada juga perkara dugaan korupsi Gelora Senayan yang mencakup perkara perpanjangan hak guna bangunan Hotel Hilton, KSO Kajima, dan Sinar Kemala Intermetro Golf.

Mengutip penegasan Presiden Yudhoyono, Presiden ingin halaman rumah-nya dibersihkan dulu. Tim Tastipikor menindaklanjuti laporan yang disampaikan Presiden mengenai dugaan korupsi di Setneg. Dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi pelaksanaan KAA 2005 dan perkara dugaan korupsi di Setpres, jaksa meningkatkan ke penyidikan.

Pernah diberitakan (Kompas, 4/4/2006), dugaan korupsi di Setpres diperkirakan merugikan keuangan negara Rp 10 miliar. Puluhan saksi diperiksa, namun tak ada hasil akhirnya. Hal serupa juga terjadi pada dugaan korupsi peringatan KAA tahun 2005, meski puluhan saksi juga sudah diperiksa, di antaranya penanggung jawab pengadaan suvenir dan sewa kendaraan.

Hendarman pernah menjelaskan, dalam pelaksanaan peringatan KAA 2005 terdapat puluhan item pekerjaan. Meski pada beberapa pekerjaan terindikasi kerugian keuangan negara, pada beberapa pekerjaan lain justru biaya dapat dihemat, bahkan menimbulkan keuntungan negara.

Emerson Yuntho dari Indonesia Corruption Watch (ICW) berpendapat, tugas membersihkan halaman istana yang dibebankan kepada Tim Tastipikor hanya bagian dari upaya pencitraan. Pemerintah diharapkan memperoleh citra baik dalam pemberantasan korupsi.

Ia mengingatkan, selama belum ada kejelasan perkara dugaan korupsi di Setneg dan Setpres, penanganannya harus dilanjutkan kejaksaan. Harus ada yang bertanggung jawab memenuhi pernyataan Presiden Yudhoyono untuk membersihkan lingkungan Istana, katanya.

Tak hanya mengkritisi, Emerson juga mencatat sejumlah keberhasilan Tim Tastipikor dalam menangani korupsi, di antaranya korupsi Dana Abadi Umat dengan terdakwa mantan Menteri Agama Said Agil Husin Al Munawar dan mantan pejabat Departemen Agama Taufik Kamil.

Dalam rapat kerja Komisi III DPR dengan Kejaksaan Agung, Kamis (28/6), Hendarman yang kini menjabat Jaksa Agung memaparkan, keuangan negara yang berhasil diselamatkan Tim Tastipikor sebesar Rp 3,95 triliun. Jumlah itu terdiri dari keuangan negara yang diselamatkan dalam perkara yang ditangani Tim Tastipikor sebesar Rp 3,946 triliun dan dalam perkara yang ditangani daerah dengan supervisi Tim Tastipikor sebanyak Rp 4,1 miliar.

Rinciannya, uang negara yang diselamatkan dalam perkara yang ditangani Tim Tastipikor sebesar Rp 13,259 miliar disetorkan ke kas negara, Rp 653,779 miliar dikembalikan ke departemen, Rp 906,847 miliar dikembalikan ke BUMN, Rp 1,921 triliun disita, dan Rp 451 miliar diamankan atau diblokir.

Meski jumlah uang negara yang diselamatkan tak semuanya masuk ke kas negara, anggota Komisi III DPR Topane Gayus Lumbuun (Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Jawa Timur V) berpendapat, Tim Tastipikor cukup berhasil. Kendati demikian, ia menegaskan, tim serupa tak diperlukan lagi.

Mengenai belum tuntasnya kasus dugaan korupsi di Setneg dan Setpres, Gayus punya alasan yang lebih rasional. Mungkin kasus itu terlalu rumit, ujarnya.

Terlepas dari persoalan rumit dan tak rumit, semestinya niat awal membersihkan halaman Istana melalui Tim Tastipikor harus konsekuen dipenuhi. Jangan sampai masyarakat merasa, anggapan mereka bahwa penanganan korupsi selalu diwarnai intervensi pejabat pemerintah benar adanya, ujar Emerson.

Tim Tastipikor sudah resmi dibubarkan Presiden berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2007 tanggal 23 Mei 2007. Sejumlah kasus yang belum selesai ditangani akan dilanjutkan kejaksaan atau kepolisian. Ini termasuk kasus yang divonis bebas, seperti dugaan korupsi penyalahgunaan fasilitas direksi PT Pupuk Kaltim dengan terdakwa mantan Direktur Utama PT Pupuk Kaltim Omay K Wiraatmadja serta dugaan korupsi perpanjangan hak guna bangunan Hotel Hilton dengan terdakwa Ali Mazi, Pontjo Sutowo, dan Ronny Kusuma Judistiro.

Meski dibentuk di era yang mengaku memiliki semangat memberantas korupsi, toh nasib Tim Tastipikor ternyata tak berbeda dengan tim pemberantasan korupsi yang dibentuk pada era pemerintahan sebelumnya, yakni tak pernah tuntas menangani perkara korupsi yang dibebankan kepadanya! (Dewi Indriastuti)

Sumber: Kompas, 5 Juli 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan