Pemerintah Akui RUU Pidana Korupsi Masih Lemah

Lembaga lain diminta memberi masukan.

Ketua Tim Pengkaji Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dari pemerintah, Romly Atma Sasmita, mengakui draf undang-undang versi pemerintah masih banyak kekurangan. Seperti administrasi peradilan dan sistem penyimpanan file, ujar dia kemarin. Saat ini, kata Romly, sistem administrasi dan penyimpanan berkas peradilan masih kacau-balau.

Pembenahan, katanya, juga perlu dilakukan terhadap hukum acara korupsi. Selama hukum acara korupsi menggunakan KUHAP. Kalau ingin berdiri sendiri tentu harus ada pengembangan, ujarnya.

Menurut Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalata, dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, pemerintah menempatkan peradilan korupsi di bawah peradilan umum. Agar penuntutnya bisa berasal dari jaksa dan komisi pemberantas korupsi, ujar dia.

Rancangan ini, kata Andi, dibuat berdasarkan amanat dari keputusan Mahkamah Konstitusi. Dalam sidangnya beberapa waktu lalu, kata dia, Mahkamah Konstitusi meminta agar undang-undang peradilan umum dan peradilan korupsi diintegrasikan. Mahkamah telah menyatakan tidak boleh ada dua pengadilan sejenis untuk perkara sejenis. Mahkamah juga mengamanatkan undang-undang peradilan tindak pidana korupsi ini harus sudah selesai pada 2009.

Agar Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi itu ideal, Andi mempersilakan lembaga lain juga membuat draf undang-undang. Lembaganya sendiri, kata Andi, saat ini sedang mempersiapkan rancangan undang-undang itu. Perkara nanti usul dari lembaga lain mau kami ambil itu nanti urusan lain, kata dia.

Sementara itu, Ketua Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) Arif Firmansyah optimistis pemerintah akan mengadopsi draf yang telah dibuatnya. Pak Romly sudah menyatakan, pemerintah akan bekerja setelah draf dari kami (KRHN) masuk, ujar Arif. KRHN rencananya akan menyerahkan draf itu kepada pemerintah pada akhir Juli mendatang.

Dalam draf KRHN yang terdiri atas 11 bab dan 73 pasal itu terdapat beberapa pokok pikiran baru, di antaranya tentang sertifikasi hakim. Tujuannya untuk melihat integritas dari para hakim tersebut, kata Arif. Draf yang diajukan KRHN juga mengatur hingga tingkat peninjauan kembali. Sedangkan saat ini peradilan tindak pidana korupsi hanya sampai pada tingkat kasasi. yudha setiawan

Sumber: Koran Tempo, 3 Juli 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan