Penanganan Korupsi di Banten Masih Setengah Hati?
Kasus korupsi di Banten mulai menjadi perhatian publik pada medio tahun 2003. Penanganan sejumlah kasus korupsi menumbuhkan harapan supremasi hukum yang nyaris mati di Banten dapat kembali ditegakkan.
Namun, harapan penegakan hukum tinggallah harapan saat pengusutan sejumlah kasus korupsi terhenti. Apalagi sebagian pejabat yang sudah ditetapkan sebagai tersangka, terdakwa, dan terpidana bebas beraktivitas di luar tahanan. Sebut saja Gubernur Banten non-aktif Djoko Munandar, salah seorang terpidana kasus korupsi dana tak tersangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2003 sebesar Rp 14 miliar.
Tanggal 21 Desember lalu Pengadilan Negeri Serang menyatakan Djoko bersalah dan menjatuhi hukuman dua tahun penjara. Ironisnya, majelis hakim yang diketuai Husni Rizal tidak memberikan surat perintah penahanan.
Terdakwa (Djoko Red) belum menyatakan akan menerima putusan atau mengajukan banding. Penahanan baru akan dilakukan jika terdakwa menyatakan menerima. Jika memutuskan untuk banding, soal penahanan menjadi tanggung jawab Pengadilan Tinggi Banten, ujar Husni berdalih.
Sejak ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi APBD senilai Rp 14 miliar, tanggal 17 Desember 2004, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten tidak melakukan penahanan. Aktivitas Djoko sebagai gubernur dijadikan salah satu alasan. Demikian juga persoalan izin penahanan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Bukan hanya Djoko, saat ini tiga terdakwa kasus serupa berada di luar tahanan. Mereka adalah mantan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) periode 2001-2004, Dharmono K Lawi, Muslim Djamaludin, dan Mufrodi Muchsin. Pengadilan Negeri (PN) Serang menyatakan mereka bersalah dan menjatuhi hukuman masing-masing 4,5 tahun, 4 tahun, dan 4,5 tahun.
Ketiganya sempat ditahan oleh Kejati dan PN Serang. Namun, saat mengajukan banding, Pengadilan Tinggi (PT) Banten menurunkan status mereka menjadi tahanan kota. Mereka sempat dinyatakan bebas demi hukum saat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
Terdakwa lain, mantan Sekretaris Panitia Anggaran DPRD Tuti Sutiah Indra, juga berada di luar tahanan. Apalagi PT Banten menurunkan masa hukuman Tuti dari 1,5 tahun menjadi 10 bulan penjara. Padahal, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang disempurnakan menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur, koruptor harus dijatuhi hukuman minimal satu tahun penjara.
Kenyataan itu membuat masyarakat kembali meragukan keseriusan aparat penegak hukum untuk memberantas korupsi. Berbagai unjuk rasa marak digelar sejak bulan Juli lalu. Mahasiswa dan pemuda yang berunjuk rasa setiap sidang korupsi Gubernur Djoko memperkirakan adanya permainan antara para aparat penegak hukum dan tersangka atau terdakwa kasus korupsi.
Keraguan itu diperkuat dengan alasan bebasnya 71 mantan anggota DPRD periode 2001-2004 dari jerat hukum. Padahal, mereka turut menikmati uang hasil korupsi dana tak tersangka APBD sebesar Rp 14 miliar. Itu artinya, aparat penegak hukum belum serius mengusut korupsi di Banten, ujar Syuhada, salah seorang aktivis LAMP.
Penanganan terhenti
Masyarakat juga menilai penanganan kasus korupsi terkesan lambat. Salah satunya, proses pemeriksaan kasus dugaan korupsi Karangsari. Sekarang ini proses hukumnya menjadi bias dan semakin tidak jelas, kata Syuhada.
Saat ini kasus Karangsari masih ditangani Kejati. Ketua tim jaksa Basuni Masyarif mengatakan, pihaknya masih menunggu hasil audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang menetapkan ada tidaknya kerugian negara. Selain itu, Kejati juga masih menunggu izin pemeriksaan Bupati Pandeglang A Dimyati Natakusumah sebagai saksi dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Dugaan korupsi Dinas Sosial dan Tenaga Kerja (Dinsosnaker) dalam proyek bantuan masyarakat miskin sebesar Rp 7,1 miliar juga terhambat. Selama hampir enam bulan penyelidikan, Tim Khusus Tindak Pidana Korupsi (Timsus Tipikor) Polda belum juga menetapkan tersangka kasus itu. Ketua Timsus Tipikor Polda Komisaris Siboro berdalih dirinya masih menunggu hasil audit dari BPKP.
Selain korupsi Karangsari dan Dinsosnaker, ditemukan pula beberapa kasus korupsi yang penanganannya terhenti tanpa alasan yang jelas.
Data dari Banten Corruption Watch (BCW) menyebutkan, terdapat lima kasus korupsi yang tidak jelas penanganannya. Kasus-kasus tersebut pernah mencuat, lalu tiba-tiba hilang begitu saja. Tidak ada kelanjutan proses hukumnya, ungkap Adit, Divisi Investigasi dan Data BCW.
Di antaranya, kasus korupsi dana APBD Cilegon 2003 untuk proyek pembangunan jalan lingkar selatan dan pengadaan kapal tunda (tug boat). Korupsi dana APBD Banten 2004 pada proyek pengadaan 1.000 sapi untuk peternak Kabupaten Lebak. Ditambah lagi, korupsi dana APBD Serang untuk dana stimulan bidang keagamaan dan penyimpangan dana kas daerah Serang untuk dipinjamkan pada pengusaha.
Komitmen aparat
Sementara itu, Kepala Polda Banten Komisaris Besar Timur Pradopo membantah jika pihaknya bekerja lambat dalam memberantas korupsi. Sebenarnya tidak macet. Kami tetap memproses kasus-kasus itu. Kendalanya, hasil audit BPKP belum keluar, katanya.
Setidaknya terdapat empat kasus korupsi yang belum selesai diaudit BPKP. Antara lain, kata dia, korupsi Dinsosnaker, pengadaan buku oleh Kanwil Depag Banten, jalan akses Pasar Induk Rau, dan kasus korupsi pembangunan DUKS (dermaga untuk kalangan sendiri).
Dia berjanji akan segera menyelesaikan penyelidikan terhadap kasus-kasus korupsi itu. Bahkan, Polda menargetkan dapat memproses seluruh temuan korupsi, terutama dana APBD dan APBN yang merugikan negara.
Komitmen senada diungkapkan Kepala Kejati Banten Kemal Sofyan Nasution. Meski belum genap satu bulan bekerja di Banten, ia berjanji akan menyelesaikan seluruh kasus korupsi yang terganjal di Kejati maupun Kejari.
Kami akan mempelajari kasus-kasus yang belum terselesaikan. Saya juga sudah mengimbau pada beberapa kejari agar mereka melimpahkan penanganan kasus korupsi yang dianggap berat pada Kejati, katanya.
Bahkan, ia menyatakan siap untuk mengusut kembali kasus korupsi dana tak tersangka APBD Rp 14 miliar. Tentu saja dengan melibatkan 71 mantan anggota DPRD yang sempat menerima uang dalam bentuk tunjangan perumahan dan tunjangan kegiatan.
Sementara itu, Ketua PN Serang Husni Rizal menegaskan, pihaknya akan memutus perkara korupsi sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.Siapa pun yang demo, dan apa pun tuntutannya, saya tidak akan terpengaruh. Tidak ada intimidasi dan semacamnya, ujarnya menegaskan.
Para penegak hukum di Banten memang telah berkomitmen untuk serius memberantas korupsi di provinsi yang baru lima tahun berdiri itu. Namun, apakah komitmen tersebut tidak akan memudar saat mereka dihadapkan pada kepentingan materi, politik, atau semacamnya? (Anita Yossihara)
Sumber: Kompas, 27 Desember 2005