Pendidikan Mahal, Tanya Kenapa?

Hari-hari seperti saat ini, seperti yang terjadi tiap tahun, adalah musim mencari sekolah. Tak hanya anak, banyak orang tua mulai sport jantung menghadapinya. Apalagi kalau bukan persoalan biaya pendidikan yang semakin hari tak bisa dikatakan murah.

Biaya pendidikan kian membubung tinggi. Hal itu tentu tak masalah bagi orang tua yang memiliki kantong tebal dan berlatar belakang ekonomi mampu. Bagaimana yang lain? Para orang tua yang berasal dari ekonomi menengah ke bawah dapat dipastikan memutar otak keras demi memenuhi biaya sekolah si anak.

Sekolah dan institusi pendidikan telah mengalami kematian nurani dan terjebak arus komersialisasi. Sekolah kini tak ubahnya pasar. Hukum dagang berlaku. Jika ada uang, ada barang. Siswa dan orang tua berperan sebagai konsumen yang mesti menyediakan dana untuk mendapatkan akses pendidikan.

Fenomena semacam itu tak terkecuali juga terjadi di Jogjakarta, yang dianggap sebagai kota pendidikan. Seperti ramai diberitakan tahun lalu, banyak orang tua mengutarakan kesedihan dan kekecewaan luar biasa melihat besarnya biaya yang mesti dikeluarkan.

Bahkan, Radar Jogja (JPNN) mengangkat isu tersebut hampir sebulan penuh. Hal itu tentu saja menyiratkan bahwa persoalan biaya pendidikan yang terus melambung tak dapat dianggap remeh, sekadar ekses turunan dari ritus tahunan penerimaan siswa baru (PSB).

Biaya pendidikan di Jogja, seperti untuk tingkat SMA (negeri), rata-rata mencapai Rp 3 juta. Bandingkan dengan UMR Jogja yang tak lebih dari Rp 600 ribu per bulan. Angka tersebut tentu tak sebanding dengan upah buruh, yang notabene orang tua yang harus menyekolahkan anak mereka.

Sekolah Internasional
Belum lagi, kita berbicara mengenai sekolah unggulan yang menamakan diri sebagai sekolah internasional. Sekolah yang memakai bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar itu jelas mematok biaya sangat tinggi. Alhasil, yang mampu mengakses sekolah spesial tersebut hanyalah keluarga mampu yang ditunjang finansial kuat. Bagaimana keluarga ekonomi pas-pasan? Cukup mengenyam pendidikan di sekolah biasa.

Apakah mutu sekolah internasional itu benar-benar terjamin? Ternyata tidak. Bahkan, banyak petinggi pendidikan, khususnya di Jogja, yang menyesalkan kehadiran sekolah internasional yang kini mulai menjamur.

Sekolah semacam itu malah membentuk siswa yang seolah menjadi individu asing di lingkungannya. Sebab, sekolah internasional, seperti yang selama ini mengemuka, belum (atau tidak?) menyentuh kebudayaan lokal. Bahkan, masih menurut petinggi dewan pendidikan DIJ, interpretasi penamaan sekolah internasional sebatas penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Kualitas dan mutunya tak jarang masih bersifat lokal atau tidak jauh berbeda dengan sekolah umum lainnya.

Kembali pada mahalnya biaya pendidikan. Kecenderungan semacam itu bukan mustahil bisa menjadi bom sosial yang siap meledak sewaktu-waktu. Jurang kesenjangan sosial semakin menganga, memisahkan si kaya dan si miskin. Akses pendidikan yang berkualitas sulit didapat si miskin.

Pendidikan yang merupakan instrumen seseorang untuk melakukan mobilisasi sosial mengangkat harkat dan martabat tak dapat dijalankan sepenuhnya oleh si miskin. Apa yang terjadi kemudian? Si kaya melanggengkan kemakmuran dan si miskin terus berkutat dengan kemiskinan akibat kebodohannya. Tujuan dasar pendidikan untuk memanusiakan manusia pun semakin jauh dari harapan.

Anehnya, negara seperti lepas tangan melihat kenyataan pahit itu. Pemerintah malah melonggarkan sekolah untuk menggalang dana dari orang tua. Alasannya klise. Pengurangan subsidi pendidikan dari pemerintah menjadi dalih pembenar yang selalu ditebar sekolah.

Jika kenyataan seperti itu terus terjadi dan dibiarkan, siapa yang menjadi korban? Para siswa cerdas akademik, namun lemah ekonomi. Seperti yang diduga sebelumnya, siswa-siswa tersebut akan tereliminasi dari kompetisi mengenyam pendidikan di sekolah (favorit). Sebab, fenomena komersialisasi pendidikan malah banyak dilakukan sekolah yang justru berlabel favorit/unggulan.

Pemerintah harus segera turun tangan, memberikan jalan keluar atas keadaan semacam itu. Bukan malah keukeuh mempertahankan unas sebagai tolok ukur satu-satunya standar kelulusan, meski dikecam banyak pihak. Mengenai tingginya biaya pendidikan, pemerintah malah seolah tutup mata.

Pendidikan yang berkualitas memerlukan dana yang tidak sedikit memang benar. Namun, apakah pantas biaya tersebut dibebankan sepenuhnya kepada siswa/orang tua? Lantas, di mana posisi negara? Bukankah mencerdaskan kehidupan bangsa adalah salah satu tujuan republik ini?

Tidak usah muluk-muluk, untuk menaikkan anggaran pendidikan hingga 20 persen seperti yang diamanatkan konstitusi saja, pemerintah masih gamang. APBN yang berasal dari tetesan keringat yang dibayar melalui pajak malah habis digunakan untuk pos belanja yang tak jelas juntrungannya.

Bramma Aji P., mahasiswa Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 29 Mei 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan