Perburuan Koruptor di Luar Negeri

Singapura Ingin Koruptor Ditukar dengan Teroris

Indonesia membutuhkan kesepakatan ekstradisi dengan Singapura untuk melacak para koruptor atau tersangka korupsi yang kabur ke negeri itu, dan diduga dengan membawa harta yang dikorupsinya. Namun, menurut Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh kemarin, upaya yang telah dilakukan Indonesia sejak 1973 itu tidaklah mudah.

Saya tidak ingin mengkritik negara lain, tapi kami telah mencoba untuk memiliki perjanjian ekstradisi dengan Singapura, tapi itu tidak mudah, kata Jaksa Agung dalam pertemuan di Jakarta Foreign Correspondents Club kemarin. Jika kami tidak memiliki perjanjian ekstradisi, sulit untuk menangkap para koruptor yang banyak tinggal di Singapura, ujarnya.

Jaksa Agung memang tidak menyebutkan jumlah tersangka korupsi yang berada di Singapura. Sebenarnya sejak September lalu Indonesia dan Singapura telah duduk bersama untuk membahas soal itu, tapi, menurut Abdul Rahman, negosiasi itu pada Desember lalu macet. Hal ini karena Singapura ingin menyatupaketkan perjanjian ekstradisi para teroris ini dengan ekstradisi bidang keamanan (terorisme). Artinya, Indonesia bisa mencokok koruptor di Singapura, asalkan Singapura juga bisa mendapatkan teroris yang bersembunyi di Indonesia.

Menteri Luar Negeri Singapura George Yeo mengatakan, negosiasi menyangkut perjanjian ekstradisi dengan Indonesia sebenarnya masih berlangsung. Karena ini menyangkut isu yang sangat kompleks sehingga tidak dibahas secara terburu-buru, ujarnya kepada Tempo seusai pertemuan redaktur senior di kantornya, di Singapura, Rabu pekan lalu.

Ketika ditanyai kapan kira-kira pembahasan itu selesai, Yeo tak berani memastikan. Ia juga tidak berani menceritakan hal yang terlampau detail. Saya ingin secepatnya. Yang penting adalah kedua negara tak saling merasa dirugikan.

Menurut sumber Tempo di kalangan diplomat Singapura, problem utama dalam pembahasan itu adalah sistem hukum yang dianut kedua negara berbeda. Indonesia memakai sistem kontinental, sedangkan Singapura menganut Anglo Saxon.

Selain dengan Singapura, Indonesia melakukan perundingan mutual legal assistance dengan pemerintah Hong Kong. Namun, saat ini perundingan ini masih tertunda. Perundingan yang sedianya dilangsungkan pada 19 Januari itu kemudian diundurkan hingga 1 Februari. Penundaan itu karena para pejabat di Hong Kong masih cuti. Mutual legal assistance dibutuhkan agar pemerintah Indonesia bisa menarik aset para koruptor yang diparkir di sana.

Selain di Singapura dan Hong Kong, para koruptor, atau setidaknya harta mereka, disimpan di negara lain. Temuan terbaru Tim Pemburu Aset Koruptor telah menemukan harta milik seorang koruptor yang diparkir di Amerika Serikat. Ketua tim itu, Basrief Arif, dua hari lalu tidak mengatakan berapa jumlah uang dan siapa pemiliknya, tapi ia meyakinkan bahwa harta itu aman karena mereka telah mengupayakan pemblokiran.

Perburuan koruptor yang lumayan berhasil adalah saat memburu mantan Direktur Utama BHS Bank, mendiang Hendra Rahardja. Kala itu Hendra, koruptor dana bantuan likuiditas Bank Indonesia senilai Rp1,95 triliun, ditangkap Australia atas tuduhan praktek pencucian uang. Setelah mengetahui hal ini, Kepolisian RI melalui Interpol meminta Australia mengekstradisi Hendra ke Indonesia.

Sayangnya, Indonesia dan Australia tidak memiliki perjanjian ekstradisi sehingga Hendra tidak dapat diseret pulang. Namun, Indonesia dan Australia memiliki Treaty on Mutual Assistance in Criminal Matters yang disepakati sejak Oktober 1995. Sehingga, walaupun tidak dapat diekstradisi, kedua negara ini berjanji saling membantu dalam penanganan kasus Hendra.

Artinya, Hendra tetap diusut dalam kasus kriminal yang dilakukan di Indonesia, tapi ditangani oleh aparat hukum Australia. Yang dilakukan kemudian adalah membekukan aset Hendra di Australia yang diduga merupakan hasil korupsi. Australia juga memeriksa keberadaan harta Hendra di luar Australia dan Indonesia.

Upaya perburuan harta Hendra di luar kedua negara itu membentur tembok saat diketahui ada harta Hendra di Singapura. Maklum, baik Indonesia maupun Australia tidak memiliki Treaty on Mutual Assistance in Criminal Matters dengan Singapura.

Akhir dari kisah itu, Australia menyerahkan uang sebesar Aus$ 642,540 kepada Indonesia. Jumlahnya memang sangat kecil, jauh dari nilai yang dikorupsi Hendra, tapi ini adalah preseden yang baik. DIAN YULIASTUTI | WAHYU MURYADI | BLOOMBERG

Sumber: Koran Tempo, 12 Januari 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan