Perpu Penyelamatan KPK

Perpu Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), yang diundangkan pada tanggal 22 September 2009, merupakan suatu terobosan dan kebijakan hukum yang diambil Presiden guna menyelamatkan agenda pemberantasan korupsi. 

Terjadinya kekosongan sementara tiga anggota pimpinan KPK, pascaditetapkan sebagai tersangka oleh Polri, telah mengganggu kinerja serta berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum serta stagnasi dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.  

Pengisian kekosongan keanggotaan pimpinan KPK, sebagaimana diatur dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, setidak-tidaknya memerlukan waktu selama 6 bulan. Belum lagi proses pemilihan tersebut tentunya setelah adanya kepastian bahwa pimpinan KPK yang bersangkutan telah ditetapkan sebagai terdakwa, atau pimpinan tersebut telah diberhentikan tetap.

Sebagai contoh, proses penetapan Antasari Azhar sebagai tersangka pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen yaitu tanggal 4 Mei 2009, kemudian disusul dengan penerbitan Keppres pemberhentian sementara tanggal 7 Mei 2009, dan hingga saat ini telah melewati masa 5 bulan lebih, status Antasari masih sebagai tersangka. Hal demikian menurut UU KPK belum dapat dilakukan pemilihan pimpinan baru karena status Antasari masih diberhentikan sementara. Dengan demikian, pimpinan KPK tersebut kemungkinan tidak efektif setidaknya selama 11 bulan.

Demikian pula halnya dengan penetapan Candra Hamzah dan Bibit Samad Rianto sebagai tersangka oleh Polri, yang berpotensi menimbulkan kekosongan pimpinan dalam waktu yang mungkin sama, lebih kurang 11 bulan.

Potensi kekosongan pimpinan KPK sedemikian lama tentunya mengakibatkan kemungkinan stagnasi agenda pemberantasan korupsi. Karena, dua pimpinan KPK yang masih aktif, tentunya kesulitan untuk dapat mengambil keputusan-keputusan yang bersifat strategis. Dalam keadaan demikian, UU KPK tidak memberikan jalan keluar mengenai langkah yang harus diambil.

Untuk menghindari stagnasi pemberantasan korupsi, Perpu merupakan pilihan terobosan hukum yang tepat. Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 003/PUU/2005, menyatakan bahwa alasan dikeluarkannya sebuah Perpu oleh Presiden, yaitu karena "hal ihwal kegentingan yang memaksa" sebagaimana dimaksud UUD 1945, merupakan penilaian subyektif Presiden, sedangkan obyektivitasnya dinilai oleh DPR.  

Kekhawatiran sebagian pihak bahwa Perpu tersebut dapat digunakan sebagai alat intervensi Presiden dalam menentukan pimpinan sementara KPK, tidaklah beralasan. Terlebih, penetapan figur Tumpak Hatorangan Panggabean (Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan periode 2003-2007), Waluyo (Deputi Pencegahan KPK periode 2004-2008) dan Mas Achmad Santosa (Penasihat Pembaharuan Hukum untuk United Nations Development Program) sebagai pimpinan sementara KPK, yang masing-masing dari mereka sudah tidak diragukan lagi track record-nya dalam pemberantasan korupsi, tentunya merepresentasikan semangat pemberantasan korupsi yang tinggi dari Presiden.

Kelegowoan figur-figur tersebut yang telah dengan sukarela melepaskan jabatan yang sangat mapan sebagai Anggota Dewan Komisaris PT Pos Indonesia Persero, Direktur Umum dan Sumber Daya Manusia Pertamina dan Penasihat Pembaharuan Hukum untuk United Nations Development Program, setidaknya merupakan wujud dari kesungguhan dari para figur tersebut dalam upaya pemberantasan korupsi.  

Bahkan secara hukum, kekhawatiran bahwa Perpu adalah bentuk intervensi Presiden adalah tidak tepat. Karena anggota pimpinan sementara akan berakhir masa jabatannya pada saat anggota Pimpinan KPK yang digantikan, karena diberhentikan sementara, diaktifkan kembali. Yaitu ketika pemberhentian sementara tidak berlanjut menjadi pemberhentian tetap.

Dengan demikian, jika Candra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto di kemudian hari penyidikannya tidak dilanjutkan atau diterbitkan SP3, maka kedua pimpinan tersebut akan menduduki jabatannya kembali. Sedangkan, jika yang bersangkutan ditetapkan sebagai terdakwa, dan oleh karenanya diberhentikan tetap, maka anggota sementara pimpinan KPK akan berakhir masa jabatannya, pada saat Pimpinan KPK yang baru terpilih, telah mengucapkan sumpah/janji sebagai anggota KPK.  

Jadi, kekhawatiran bahwa Perpu sebagai alat intervensi Presiden dalam menentukan pimpinan KPK adalah tidak tepat dan berlebihan. Justru Presiden SBY, sekali lagi, dan lagi, menegaskan semangat pemberantasan korupsi. Justru Presiden SBY, sekali lagi, dan lagi, menyelamatkan gerakan antikorupsi. [by : Denny Indrayana]

Tulisan ini disalin dari Jurnal Nasional, 7 Oktober 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan