Perpu Seleksi Hakim Agung Atur Usia Pensiun

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Seleksi Hakim Agung yang dibuat Komisi Yudisial akan mengatur usia pensiun hakim agung.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Seleksi Hakim Agung yang dibuat Komisi Yudisial akan mengatur usia pensiun hakim agung.

Intinya bukan hal yang menghambat kerja Mahkamah Agung. Berbagai hal yang masih kurang akan diperbaiki, kata anggota Komisi Yudisial, Chatamarrasjid, kepada Tempo kemarin. Salah satunya tentang usia pensiun dan siapa yang berhak memperpanjang, ujarnya.

Rancangan perpu itu, kata Rasjid, sudah rampung dan siap diserahkan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia pekan ini. Dia menjelaskan, perpu tersebut tidak melanggar konstitusi, tidak berlaku surut, dan tidak mengubah tatanan aturan kenegaraan. Juga diharapkan tidak menghambat kerja Komisi Yudisial, yang menjadi lembaga pengawas eksternal, kata Rasjid.

Dalam rancangan tersebut, usia pensiun hakim agung diusulkan sama dengan yang berlaku saat ini, 65 tahun, tapi bisa diperpanjang dua tahun menjadi 67 tahun. Perpanjangan ini ada aturan dan persyaratannya, kata Rasjid.

Menurut dia, perpanjangan usia pensiun tidak bisa sembarangan. Ia bisa diperpanjang karena berprestasi, sehat jasmani, dan terjaga integrasinya. Sedangkan soal siapa yang berhak memperpanjang, kata Rasjid, seharusnya ditangani presiden. Sehingga tidak memperpanjang diri sendiri seperti sekarang ini. Kan, bisa repot, katanya.

Sebelumnya, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi Hukum DPR pada Selasa lalu, Rasjid juga menyebut mekanisme penggantian hakim agung yang kosong tanpa menunggu permintaan Mahkamah Agung. Mekanisme penggantian hakim agung yang pensiun, kata dia, juga diatur dalam perpu tersebut.

Sikap anggota DPR terhadap perpu ini terbelah. Sebagian berkeras menolak rencana pengajuan perpu dari Komisi Yudisial, sedangkan sebagian justru mendukung. Beny K. Harman (Fraksi Partai Demokrat), Arbab Paproeka (Fraksi Partai Amanat Nasional), dan Mahfud Md. (Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa) termasuk yang mendukung. Mereka yang menolak umumnya meminta Komisi Yudisial memprioritaskan pengisian posisi 11 hakim agung yang kosong. Kami setuju pembenahan peradilan, tapi hendaknya dilakukan secara gradual, kata Wakil Ketua Komisi Hukum DPR Akil Mochtar. DIAN YULIASTUTI | WAHYU DHYATMIKA

Sumber: Koran Tempo, 9 Februari 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan