Pilah-Pilih Pimpinan KPK
Proses fit and proper test calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan menjadi titik terpenting untuk menentukan masa depan dan wajah penegakan hukum, terutama agenda pemberantasan korupsi.
Meskipun bukan satusatunya lembaga yang memiliki wewenang menghadang laju para pencoleng uang rakyat (koruptor),dengan segala catatan dan keterbatasan yang ada, performa KPK masih lebih memberikan harapan bila dibandingkan dengan lembaga lain. Sekalipun delapan nama telah dihasilkan, makna strategisnya akan berlalu begitu saja apabila proses di Komisi III tidak memiliki ketersambungan dengan gagasan dan semangat Panitia Seleksi Pimpinan KPK.
Sekiranya hal itu terjadi, bukan tidak mungkin, masa depan KPK akan menjadi kehilangan makna sebagai lembaga extra-ordinary dalam desain besar pemberantasan tindak pidana korupsi. Kekhawatiran tersebut amat beralasan karena KPK dihadapkan pada beban sejumlah tumpukan kasus yang dapat dikategorikan sebagai megaskandal.
Pertanyaan mendasar yang harus diajukan: bagaimana sikap dan langkah Komisi III menindaklanjuti hasil panitia seleksi? Sama halnya ketika proses fit and proper test terhadap Bambang Widjojanto dan Busyro Muqoddas sebelumnya, pertanyaan tersebut amat penting karena hari demi hari sebagian kekuatan politik makin resisten terhadap KPK. Bagaimanapun hasil fit and proper test harus mampu menjadi modal besar untuk mempertahankan harapan publik dalam agenda pemberantasan korupsi.
Tidak Produktif
Sesuai dengan ketentuan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK (UU No 30/2002),Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menyerahkan delapan nama yang dihasilkan panitia seleksi kepada DPR.Bahkan,beberapa hari yang lalu, pimpinan DPR telah meneruskan nama-nama tersebut kepada Komisi III.
Dengan telah diteruskannya nama tersebut, sekarang bola berada di tangan komisi hukum DPR ini. Selanjutnya, dalam rentang waktu sekitar dua bulan, hasil fit and proper test harus disampaikan kepada Presiden untuk dilantik pada 19 Desember 2011. Sebetulnya, sejak delapan nama yang dihasilkan panitia seleksi disampaikan kepada PresidenYudhoyono,telah muncul beragam pendapat di kalangan DPR, termasuk mereka yang berasal dari Komisi III.
Sekalipun tidak semuanya keberatan dengan hasil pilihan panitia seleksi, suara-suara yang berseberangan terbaca lebih dominan mengisi ruang publik. Karena itu,kesan terbangunnya resistensi yang sistemik sebagian elite politik terhadap kehadiran dan keberlanjutan KPK sulit dihindarkan.
Sepanjang yang bisa dilacak, banyak pandangan elite DPR yang tidak produktif dengan langkah menuju tahapan fit and proper test. Salah satu perdebatan yang dapat dikatakan tidak produktif itu adalah perbedaan pandangan jumlah calon yang harus disampaikan Presiden ke DPR: antara delapan dengan 10 nama.
Padahal, soal jumlah tidak relevan lagi diributkan karena adanya konsekuensi putusan Mahkamah Konstitusi yang meneguhkan masa jabatan Busyro Muqoddas sampai 2014. Harusnya, dengan putusan MK yang bersifat final, perdebatan mengenai jumlah calon tidak perlu terjadi.
Bagaimanapun, memperdebatkan sesuatu yang sudah final secara hukum bukan saja tidak produktif, tetapi juga salah satu upaya pengabaian yang nyata atas prinsip negara hukum (the rule of law).
Pilah Baru Pilih
Seharusnya, sekiranya hendak memperkuat KPK,Komisi III membangun proses yang dapat menutup kemungkinan adanya celah seleksi yang dilakukan panitia seleksi. Dalam hal ini, Komisi III berupaya membangun desain baru untuk menutup segala macam kelemahan ketentuan pengisian pejabat publik dalam Peraturan Tata Tertib (Tatib) DPR.
Merujuk pada ketentuan itu,proses yang ada sulit mendalami lebih jauh kelemahan-kelemahan calon yang masih mungkin tersisa oleh panitia seleksi.Tidak hanya itu, dengan aturan yang ada, fraksi sangat mungkin melakukan pemaksaan dan mengedepankan kepentingan politik jangka pendek dalam memilih pimpinan KPK.
Dalam hal pengisian pejabat publik,Tatib DPR mengemukakan bahwa proses seleksi dan pemilihan calon meliputi: (a) penelitian syarat administrasi, (b) penyampaian visi dan misi, (c) uji kelayakan (fit and proper test),(d) penentuan urutan calon, (e) diumumkan kepada publik.
Dari rangkaian itu, fit and proper test hanya merupakan salah satu tahapan saja. Pengalaman membuktikan, Komisi III gagal menutup kemungkinan adanya kelemahan itu. Bahkan, acap kali calon yang dinilai bermasalah justru menjadi pilihan Komisi III yang sekaligus menjadi pilihan DPR.
Terkait dengan masalah ini, dalam tulisan “DPR, Memilih Bukan Menyembelih” (SINDO, 16/9/2010) dikemukakan,Tatib DPR tidak menentukan standar untuk memilih dan mengisi pejabat publik. Dengan tidak adanya standar tersebut, Komisi III DPR harusnya dapat membuat standar atau kriteria yang lebih terukur.
Tanpa itu, tidak mungkin menghindarkan subjektivitas dan kepentingan sesaat para elite politik dan fraksi-fraksi di DPR. Bagaimanapun, standar tersebut diperlukan untuk mengekang kepentingan politik sesaat yang berpotensi melumpuhkan kepentingan agendapemberantasan korupsi atau setidak-tidaknya potensial melumpuhkan KPK.
Apabila diletakkan pada konteks memilih pimpinan KPK,Komisi III harusnya mampu melakukan pemilahan sebelum pemilihan. Pemilahan dapat dilakukan dengan menggunakan kriteria pokok: pimpinan KPK adalah sosok yang jauh dari potensi untuk memberikan beban tambahan bagi KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.
Di antara beban tambahan tersebut, misalnya jejak rekam calon yang bermasalah. Selain itu, calon memiliki keberanian luar biasa untuk berada di barisan paling depan dalam memberantas korupsi. Bagaimanapun, sosok pimpinan yang bersih tetap menjadi modal dasar.Namun, sosok bersih harus memiliki keberanian luar biasa.
Berdasarkan hal itu,kriteria (1) tidak berpotensi memberikan beban bagi KPK, (2) memiliki keberanian, dan (3) sosok yang bersih seharusnya menjadi parameter utama dalam memilah pimpinan KPK. Banyak kalangan menilai, jika Komisi III gagal melakukan pemilahan secara benar, besar kemungkinan akan terjadi kesalahan mendasar dalam memilih pimpinan KPK. Karenanya, pemilahan akan amat menentukan wajah KPK ke depan.
Karenanya, Komisi III harus mampu memilah secara benar sebelum melakukan pemilihan. Tanpa cara demikian, pilihan berpotensi mengubur masa depan KPK.
SALDI ISRA Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
Tulisan ini disalin dari Koran Sindo, 15 September 2011