Pilih Calon Hakim Agung Karena Kualitas, Bukan Kuantitas

Press Release bersama

PILIH CALON KARENA KUALITAS BUKAN KUANTITAS

Salah satu faktor utama yang menentukan keberhasilan perubahan di institusi pengadilan - termasuk pembersihan praktek mafia peradilan khususnya di Mahkamah Agung - adalah dengan menempatkan hakim-hakim yang profesional, berkualitas dan berintegritas baik. Dan orang semacam itu hanya dapat lahir dari sebuah proses rekrutmen yang mengedepankan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, partisipasi serta penilaian secara obyektif serta diikuti oleh pembinaan yang berkelajutan, karena good judges are not born but made. Namun demikian kualitas dan integritas sebagian besar hakim Agung yang ada saat ini dan di masa-masa lalu, memperlihatkan bagaimana buruknya pelaksanaan sistem rekrutmen yang ada selama ini.

Dengan adanya penyatuan satu atap dan berlakunya UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial maka pengusulan calon Hakim Agung yang selama ini merupakan kewenanganan MA telah beralih kepada Komisi Yudisial. Pasal 13 UU No. 22 Tahun 2004 menegaskan bahwa Komisi Yudisial mempunyai wewenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR.

Untuk mengisi kekosongan 6 kursi hakim agung di Mahkamah Agung, Komisi Yudisial (KY) melakukan seleksi calon hakim agung seperti yang diamanatkan UUD 45. Sebenarnya KY telah melakukan seleksi pada pertengahan tahun 2006. Namun dari seleksi tersebut, KY hanya meloloskan 6 calon hakim agung dari total 105 pendaftar dan mengajukannya ke DPR RI.

Atas pengajuan 6 nama tersebut, DPR RI tidak menindaklanjuti dengan tahap selanjutnya yaitu fit and proper test karena jumlah nama yang diajukan dianggap kurang. DPR RI berpendapat, untuk mengisi kekosongan 6 kursi hakim agung, maka calon yang diajukan harus berjumlah 18 sesuai ketentuan UU.

Karena itulah, KY pada tahun 2007 kembali melakukan hajatan

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan