Pimpin (Berantas) Korupsi
Janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk memimpin sendiri pemberantasan korupsi sampai saat ini masih sebatas janji.
Secara faktual belum ada realisasi konkret dari janji yang sempat melahirkan harapan besar yang kemudian ia mendapatkan dukungan besar dalam Pilpres 2009 dan menang hanya dalam satu putaran. Saat ini tindakan korupsi bahkan kian menjadijadi dan menjalar ke segala lini. Bisa dikatakan bahwa keinginan Presiden SBY untuk memberantas korupsi hanya kuat dalam iklan layanan masyarakat di layar kaca, tetapi lemah dalam tindakan di dunia nyata.
Janji untuk memimpin sendiri pemberantasan korupsi tak lebih dari sekadar retorika yang disampaikan dengan sangat apik untuk kampanye pemilu untuk memperebutkan kembali jabatan sebagai presiden RI periode kedua dengan memanfaatkan kekuatan hyper reality of media. Lebih ironis lagi,kemudian terbongkar praktik-praktik korupsi yang justru terjadi dalam lingkaran terdekat SBY. Skandal yang menyeret mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin— dan dalam perkembangan selanjutnya juga nama-nama lain dari partai penguasa itu—merupakan bukti yang paling nyata mengenai keterlibatan orangorang yang berada dalam lingkaran SBY.
Itu semakin menunjukkan bahwa janji pemberantasan korupsi sesungguhnya hanyalah retorika. Yang terjadi, praktik korupsi justru terjadi secara sangat sistematik karena ditopang oleh mereka yang memiliki— akses kepada—kekuasaan besar. Pemberantasan korupsi memang tak cukup hanya dengan menggunakan retorika. Seorang pemimpin pemerintahan yang ingin melakukan pemberantasan korupsi setidaknya harus melakukan dua hal. Pertama, keteladanan.Keteladanan ini sangat diperlukan terutama dalam masyarakat yang memiliki budaya feodal.
Sebagaimana ditulis oleh Mochtar Lubis, salah satu ciri manusia Indonesia adalah feodal (2001). Dalam masyarakat feodal, baik buruk masyarakat dapat sangat ditentukan oleh orang yang menjadi pemimpin. Dalam konteks ini,jika pemimpin menunjukkan keteladanan yang baik, mereka yang dipimpin akan meniru kebaikan yang ditunjukkan pemimpin tersebut. Demikian juga sebaliknya. Dalam hal untuk menekan tindakan korupsi yang penyebabnya— menurut Ibnu Khaldun— adalah sikap hidup bermewah- mewah, seorang pemimpin harus mampu menunjukkan sikap dan perilaku hidup yang tidak bermewahmewah.
Ia harus mem-praktikkan sikap hidup asketik dengan tidak menjadikan kekuasaan yang ada padanya untuk memperkaya diri. Kedua, ketegasan. Seorang pemimpin harus memiliki keberanian menegakkan aturan main dan tidak boleh lari dari tanggung jawab. Jika dalam kampanye menjelang Pemilu 2009 SBY mengatakan akan memimpin sendiri pemberantasan korupsi, tentu saja seharusnya dia telah memiliki imajinasi tentang bagaimana kekuasaan yang akan diraihnya kembali memiliki jangkauan untuk menundukkan para koruptor.
Dalam sistem pemerintahan Indonesia, Presiden tidak bisa mengatakan tidak akan melakukan intervensi karena Jaksa Agung dan Kapolri diangkat oleh Presiden sebagai kepala pemerintahan.Seharusnya, dalam konteks pemberantasan korupsi yang bisa ditangani kejaksaan dan kepolisian, Presiden memberikan target yang jelas dengan konsekuensi yang tegas. Presiden bisa saja melakukan kontrak kinerja dengan orang yang akan diangkat sebagai Kapolri dan Jaksa Agung untuk menyelesaikan target tertentu dan jika tidak mampu menyelesaikannya dalam jangka waktu tertentu, akan dibebaskan dari tugas yang tidak dapat diembannya tersebut.
Dari sinilah ketegasan seorang presiden dapat diukur. Seorang pemimpin yang tidak berani dan tegas dalam melakukan pemberantasan korupsi padahal dia sesungguhnya memiliki jangkauan untuk itu justru dapat melahirkan praduga bahwa sesungguhnya dia secara langsung maupun tidak langsung memiliki keterlibatan dengan praktik korupsi yang telah terjadi. Keterlibatan itulah yang membuatnya tersandera, sehingga menjadi tak berdaya di tengah gurita korupsi yang sedang terjadi.
Dugaan tersebut bahkan bisa menjadi lebih menguat karena para aktor korupsi ternyata terus-menerus mendapatkan remisi dan pada praktiknya tidak sedikit dari mereka yang bisa bebas di luar penjara dalam masa hukuman. Logikanya tentu kemudian menjadi sangat sederhana. Jika seorang pemimpin dengan kekuasaan besar yang ada di tangannya tidak berani memimpin tindakan pemberantasan korupsi, justru sesungguhnya dia sedang memimpin tindakan korupsi untuk mempertahankan kekuasaan dalam periode politik berikutnya atau setidaknya untuk memperkaya diri.
Kebenaran logis ini sangat mudah bisa dimengerti walaupun dalam kehidupan seharihari kebenaran materiilnya tidak pernah mendapatkan bukti––meskipun sekadar bukti awal.Dengan kekuasaan yang besar, bukti kebenaran materiil dapat dengan mudah direkayasa sehingga sulit untuk menemukannya. Kondisi ini akan membuat tindakan korupsi menjadi semakin sulit untuk diberantas. Para pelaku korupsi bukan saja tidak mendapatkan hukuman berat, melainkan juga mendapatkan pengurangan masa hukuman yang sudah tak setimpal itu.Ini menyebabkan para penjahat lain yang memiliki akses kekuasaan melakukan hal yang sama.
Mereka telah berkalkulasi bahwa jika mereka melakukan kejahatan yang sama, mereka tidak akan mendapatkan hukuman yang berat. Mereka masih akan kaya raya setelah menjalani hukuman penjara. Bahkan lebih kaya dibanding jika harus bekerja ekstrakeras dalam jangka waktu yang lama. Apalagi jika penghapusan remisi kepada para koruptor juga berhenti hanya wacana. Wallahu a’lam bi alshawab.
DR MOHAMMAD NASIH, Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ, Pengurus Dewan Pakar ICMI Pusat
Tulisan ini disalin dari Koran Sindo, 28 September 2011