Politik Mutung Banggar
SETELAH empat pimpinan Badan Anggaran (Banggar) DPR diperiksa terkait dengan isu suap di beberapa proyek pemerintah, anggota lembaga itu memutuskan untuk menghentikan sementara semua proses pembahasan anggaran yang tercantum dalam RAPBN 2012 (SM, 23/09/11). Menurut Wakil Ketua DPR Pramono Anung, langkah itu menindaklanjuti penjelasan pimpinan DPR tentang mekanisme kerja Banggar kepada tiga instansi penegak hukum, yakni KPK, Polri, dan Kejakgung.
Para wakil rakyat yang duduk dalam Banggar merasa gerah atas tuduhan dari berbagai pihak terkait dengan sengkarut mafia anggaran dan merebaknya suap di lembaga legislatif. Karenanya, di tengah syakwasangka publik, mereka memilih bersikap mutung, menghentikan pembahasan RAPBN 2012 yang seharusnya rampung maksimal 30 Oktober 2011.
Penghentian secara mendadak pembahasan rancangan anggaran tersebut makin menegaskan kebenaran sinyalemen banyak pihak terkait dengan ’’politik mutung’’ anggota DPR.
Sekadar menyegarkan memori pembaca, tatkala 19 anggota DPR santer diberitakan terlibat kasus suap cek perjalanan terkait dengan pemilihan Deputi Senior Gubernur BI Miranda S Goeltom, pada saat yang bersamaan pemerintah mengusulkan revisi UU Tipikor. Waktu itu wakil rakyat juga mutung, menghentikan sepihak pembahasan revisi UU Tipikor.
Pun kasus mandeknya pengusutan kasus bailout Bank Century, wakil rakyat kembali mutung dengan menahan dan berpolemik hingga berbulan-bulan, terkait dengan pemilihan ketua KPK, pengganti Antasari Azhar. Jika dihitung sejak 2004, sudah 17 kali wakil rakyat mutung terkait dengan aneka masalah dengan pihak di luar legislatif.
Apa yang ada di benak wakil rakyat dalam memaknai memandang (R)APBN? Sejak keran ’’demokrasi liberal’’ muncul di Indonesia, setelah era reformasi, (R)APBN seolah-olah sudah berpindah tangan, menjadi milik wakil rakyat di berbagai level, tak hanya di pusat (DPR) tetapi juga di provinsi dan kabupaten/ kota (DPRD). Setali tiga uang dengan tabiat wakil rakyat di pusat, saat ini juga terjadi ’’penyanderaan’’ APBD perubahan (APBD-P) di banyak daerah. Di Jateng, dari 35 kabupaten/kota, 6 daerah sedang sibuk memohon kepada wakil rakyat agar berbaik hati dan serius menyelesaikan tugasnya membahas APBD-P.
Meskipun para pembahas anggaran publik itu adalah pribadi-pribadi wakil rakyat, sejatinya mereka sedang menjalankan peran dan tanggung jawab rakyat secara keseluruhan. Catatan Fitra Jakarta menyebutkan jika pembahasan RAPBN gagal dan penetapannya molor, ada 8.732 proyek pembangunan, pemerintahan, dan layanan publik yang mandek karena tak ada anggaran (Koran Tempo, 21/09/11). Ini bisa menjadi pintu masuk bencana anggaran yang mematikan masa depan rakyat.
Fungsi Pengawasan
Ironisnya, sikap, perilaku, dan tabiat wakil rakyat justru dilegalisasi negara. Kita bisa melihat UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (biasa disebut UU MD3) dan UU Nomor 17 Tahun 2004 tentang Keuangan Negara. Pasal 18 UU Nomor 27 Tahun 2009 misalnya tegas menyatakan bahwa pemerintah wajib membahas bersama DPR soal budgeting negara. Sayangnya, dalam regulasi tak hadir semangat kemitraan sehingga yang biasa terjadi adalah pembahasan jadi ladang empuk ’’bagi-bagi kue’’ anggaran proyek.
Gejala politik mutung wakil rakyat, semestinya bisa dicegah secara kelembagaan dengan berbagai cara. Pertama; merevisi regulasi terkait pembahasan RAPBN yang difokuskan kepada penyelamatan masa depan agenda pembangunan, pemerintahan, dan layanan publik ketimbang sekadar sibuk dengan teknis dan mekanisme internal pribadi-pribadi wakil rakyat.
Kedua; mereformasi peran, tugas, dan kewenangan Banggar atas peran pembahasan RAPBN sehingga dapat mencegah praktik mafia anggaran. Ketiga; melibatkan pihak eksternal untuk mengevaluasi dan mengawasi kerja Banggar mengingat selama ini semua pembahasan RAPBN/D berkesan dirahasiakan.
Karena itu, inisiatif pimpinan DPR memberikan penjelasan di hadapan instansi penegak hukum (KPK, Polri, dan Kejakgung) hendaknya bukan sekadar menjelaskan kasus per kasus hukum yang melilit wakil rakyat melainkan perlu melanjutkan dengan terobosan regulasi yang legal formal untuk membahas RAPBN/D kelak. Inilah langkah cerdas visioner wakil rakyat yang semestinya dikedepankan dalam merespons dan menanggapi tuduhan publik ketimbang bermanuver lewat politik mutung. (10)
Tasroh SS MPA MSc, pegiat Banyumas Policy Watch dari Purwokerto, alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University Jepang
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 27 September 2011