Presiden Tolak Perpu Komisi Yudisial

Alternatif revisi sedang disiapkan.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menilai tidak ada kegentingan yang memaksa untuk menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) tentang perubahan Undang-Undang Komisi Yudisial. Presiden kesulitan mencari alasan konstitusi hal ihwal kegentingan yang memaksa (untuk pembuatan perpu), ujar Menteri-Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra di Jakarta kemarin.

Menurut dia, pemerintah sulit untuk memenuhi permintaan tersebut. Mereka enak-enak (meminta), tapi kami yang mengeluarkan peraturan itu kelabakan mempertanggungjawabkannya, kata Yusril.

Komisi Yudisial pada 15 Februari lalu mengajukan draf rancangan peraturan pemerintah pengganti undang-undang terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Komisi Yudisial mengusulkan sejumlah perubahan pasal pada Undang-Undang Komisi Yudisial.

Usul itu di antaranya soal perpanjangan usia pensiun hakim agung. Menurut Komisi Yudisial, hakim agung yang akan memperpanjang usia pensiun menjadi 67 tahun perlu mengikuti seleksi yang dilakukan Komisi Yudisial. Komisi juga meminta perubahan pasal tentang seleksi calon hakim agung. Selain itu, komisi meminta perluasan kewenangan soal rekomendasi terhadap hakim yang dinilai bermasalah.

Yusril mengatakan pemerintah menilai materi yang diajukan Komisi Yudisial tidak relevan dengan perkembangan saat ini. Lagi pula, kata Yusril, pencalonan dan seleksi hakim agung yang sedang dilakukan Komisi Yudisial saat ini berjalan normal.

Kendati begitu, kata Yusril, pemerintah mempersilakan jika Komisi Yudisial ingin mengajukan revisi atas Undang-Undang Komisi Yudisial. Tapi tidak perlu melalui perpu, ujarnya.

Di tempat terpisah, Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqqodas mengatakan belum menerima pemberitahuan penolakan perpu. Menurut dia, seharusnya pemerintah melalui Sekretaris Negara mengirimkan surat resmi ke Komisi Yudisial karena menyangkut hubungan antarlembaga negara. Hingga kini belum ada pemberitahuan lisan ataupun tertulis, apakah ditolak atau diterima, kata Busyro di kantornya kemarin.

Busyro mengatakan Komisi Yudisial membutuhkan peraturan tersebut guna menindak perilaku hakim yang menyimpang. Busyro menyayangkan jika pemerintah menolak usul terbitnya peraturan itu. Judicial corruption itu real. Undebatable. Makanya perlu perpu itu, kata dia.

Sebagai langkah alternatif jika perpu tidak diterbitkan pemerintah, Komisi Yudisial mengajukan revisi terhadap Undang-Undang Komisi Yudisial. Rencananya, revisi itu baru akan digodok setelah seleksi calon hakim agung selesai dan hasilnya diserahkan ke DPR pada Oktober mendatang. Kami akan intensif ke arah itu, ujarnya. OKTAMANDJAYA WIGUNA | TITO SIANIPAR

Sumber: Koran Tempo, 13 Juli 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan