Problem Legitimasi dan Eksistensi Komisi Yudisial

Belum ada satu pun rekomendasi yang dihasilkan Komisi Yudisial selama 11 bulan usianya diikuti Mahkamah Agung. Bahkan, rekomendasi yang seharusnya bersifat mengikat pun, yaitu teguran tertulis, tetap tidak dihiraukan.

Mengapa itu semua terjadi? Benarkah ini semata-mata kesalahan MA yang resisten karena stabilitasnya terganggu? Tidakkah Komisi Yudisial turut menyumbang kesalahan sehingga resistensi di pucuk pimpinan MA menguat?

Sebagian kalangan menilai, Komisi Yudisial berperan besar menciptakan resistensi itu. Ada dua persoalan besar yang ditengarai beberapa pihak, yaitu salah dalam melakukan pendekatan dan rekomendasi yang kebablasan. Keduanya bermuara pada tidak adanya yurisdiksi dalam lingkup pengawasan di antara kedua lembaga.

Kritik terhadap pendekatan yang dilakukan Komisi Yudisial diungkapkan Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Trimedya Panjaitan (Fraksi PDI-P, Sumatera Utara II). Di awal keberadaannya, kata Trimedya, Komisi Yudisial seharusnya menjalin komunikasi yang bagus dengan MA. Namun ini tidak dilakukan, Komisi Yudisial justru buru-buru mengeluarkan gagasan yang mendapat perlawanan MA, yaitu kocok ulang hakim agung.

Ide itu dikemukakan Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas saat menghadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Rabu, 4 Januari 2006. Gagasan itu dipicu tertangkapnya lima pegawai MA dalam kasus suap Probosutedjo. Dalam pandangan Komisi Yudisial, kasus tersebut menunjukkan betapa lemahnya kepemimpinan dan manajemen di MA. Demi pembaruan peradilan, seleksi ulang terhadap 49 hakim agung yang ada saat itu perlu dilakukan (Kompas, 5/1/2006).

Beberapa kalangan bahkan lebih ekstrem, menyebut Komisi Yudisial lebih mirip dengan lembaga swadaya masyarakat. Pendekatan yang digunakan Komisi Yudisial cenderung mirip dengan pendekatan LSM, bukan pendekatan sebuah lembaga negara. Sebagaimana dilakukan LSM, penggalangan pendapat umum melalui media massa menjadi sebuah model perjuangan.

Praktisi hukum di Yogyakarta Kamal Firdaus dalam sebuah kesempatan mengemukakan, diabaikannya rekomendasi Komisi Yudisial bisa membuat komisi baru yang lahir dari rahim Perubahan UUD 1945 ini hanya punya legalitas, tapi tak punya legitimasi (Kompas, 14/6).

Keluaran lebih penting
Menanggapi kritik yang masuk, anggota Komisi Yudisial Soekotjo Soeparto tetap tenang. Banyak jalan menuju ke Roma, demikian kilah anggota Komisi Yudisial Soekotjo Soeparto. Bagi dia, pendekatan hanya bagian dari proses secara keseluruhan. Yang terpenting dari semua proses tersebut adalah keluaran yang dihasilkan.

Resistensi MA tidak ada kaitannya dengan pendekatan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial. Itu soal lain, kata Soekotjo.

Direktur Indonesia Court Monitoring (ICM) Denny Indrayana sependapat jika selama ini model pendekatan yang digunakan Komisi Yudisial lebih mirip LSM. Namun, di satu sisi, meniru kerja LSM tidak sepenuhnya buruk. Dalam beberapa hal, kata Denny, Komisi Yudisial dapat mengadopsi model kerja LSM seperti gaya kerja yang investigatif, tidak formal prosedural, tak birokratis, dan sebagainya.

Dalam konteks mafia peradilan yang gila-gilaan, Komisi Yudisial justru tidak boleh terlalu taat atau terlalu birokratis. Kita membutuhkan Komisi Yudisial yang agak nakal. Tentunya, ini dilakukan di titik-titik yang tidak substantif, ujar Denny.

Benteng independensi
Tidak dimungkiri, harapan publik terhadap Komisi Yudisial teramat besar. Ini terasa setelah Komisi menggebrak dengan mengusulkan sanksi untuk Ketua PT Jabar, Nana Juwana. Harapan itu mewujud dalam bentuk membanjirnya pengaduan ke kantor Komisi Yudisial. Hingga pekan lalu, sebanyak 729 pengaduan diterima. Dukungan publik pun menguat setelah tingkat kepercayaan masyarakat terhadap badan pengadilan menurun akibat skandal suap di lingkungan Mahkamah Agung.

Komisi Yudisial memanfaatkan momentum itu dengan gencar memeriksa hakim termasuk hakim agung. Rekomendasi kian banyak ditelurkan, meski kadang mendapat protes dari para hakim karena dianggap mencampuri wilayah mereka. Mereka merasa independensinya selaku pelaksana kekuasaan kehakiman terganggu. Hakim dikabarkan menjadi takut memutus perkara.

Konflik MA-Komisi Yudisial menjadi terbuka ketika pers membocorkan nama-nama hakim agung yang dilaporkan masyarakat sebagai hakim bermasalah. Kasus itu dibawa ke polisi dan berbuntut pada permintaan uji materi UU Komisi Yudisial oleh 31 hakim agung. Intinya permintaan uji materi tersebut adalah keengganan hakim agung diawasi Komisi Yudisial. Mereka gerah karena merasa diintervensi.

Dalam beberapa kasus, Denny Indrayana sepakat dengan pendapat tersebut. Dua rekomendasi Komisi Yudisial, yaitu kasus pengadilan tindak pidana korupsi dan korupsi Bank Mandiri, memang agak kebablasan. Dalam kasus tipikor, Komisi Yudisial telah masuk ke dalam proses beracara yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Untuk kasus Bank Mandiri, Komisi Yudisial dinilai telah mengambil alih fungsi pengadilan dengan melakukan interpretasi hukum.

Menurut Denny, yang harus dibuktikan Komisi Yudisial adalah penyimpangan perilaku hakim. Itu hanya dapat dilakukan dengan mengacu pada code of conduct. Putusan seharusnya cuma menjadi indikasi, Komisi Yudisial kemudian harus masuk ke code of conduct. Itu dasarnya, bukan KUHAP, ujarnya.

Hanya saja, Komisi Yudisial belum memiliki code of conduct. Dalam beberapa bulan ke depan, Denny menyarankan agar Komisi Yudisial lebih menata diri ke dalam. Komisi Yudisial harus memfokuskan diri untuk membangun institusional building, menyiapkan code of conduct dan mekanisme pemeriksaan hakim, serta membangun rambu-rambu pengawasan.

Di pihak lain, Denny meminta para hakim untuk tidak berlindung di balik independensi kekuasaan kehakiman. Independensi harus diiringi dengan akuntabilitas.

Kalau korupsi di badan peradilan turun, independensinya ditambah. Tetapi kalau tingkat korupsinya tinggi, jangan pula mencoba menambah independensi. Karena independensi hanya akan menjadi benteng bagi mafia peradilan, ujar Denny Indrayana.

Oleh karena itu, ia tidak sepakat dengan permintaan 31 hakim agung agar kewenangan pengawasan Komisi Yudisial saat ini dikurangi (minus hakim agung). Itu tidak tepat, karena tingkat mafia peradilan kita sangat tinggi, nomor satu. Yang harus dilakukan saat ini adalah meningkatkan pengawasan, kata Denny. Komisi Yudisial seharusnya justru perlu memperoleh tambahan kewenangan seperti penjatuhan sanksi.

Namun, dalam situasi konflik semacam ini penambahan kewenangan sulit direalisasikan. Dalam situasi konflik seperti ini, duduk bersama dinilai sebagai cara ideal menyelesaikan perseteruan. Duduk bersama tentunya harus didasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi yang segera akan diputuskan.

Kedua lembaga harus sama-sama diingatkan. Komisi Yudisial perlu diingatkan bahwa ada sebuah wilayah bernama kemandirian kekuasaan kehakiman. Sementara MA juga harus menyadari pentingnya fungsi pengawas eksternal. Toh, dalam beberapa kesempatan MA mengakui pengawasan internal yang dilakukan tidak berjalan.

Jika ini gagal, MA- Komisi Yudisial dapat menyelesaikan persoalan itu melalui legislative review. Meski berbagai kemungkinan bisa terjadi, setidaknya ada kejelasan terhadap hasil kerja Komisi. Jangan sampai Komisi Yudisial jadi lembaga gagal gara-gara rekomendasi tak bergigi. Ini soal eksistensi.(Susana Rita)

Sumber: Kompas, 22 Juni 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan