Refleksi Penegakan Supremasi Hukum
Sudah tiga tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-Kalla) berjalan. Survei Litbang Kompas dan lembaga survei lain pada umumnya menyebutkan kepuasan masyarakat terhadap pemerintahan Jokowi-Kalla masih cukup tinggi, khususnya di bidang hukum.
Dibalik kepuasan masyarakat terhadap hukum yang tinggi, pada kenyataannya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap hukum sebenarnya tidak sebaik hasil survei yang ada karena penghargaan masyarakat terhadap hukum hanya karena kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), selebihnya masyarakat tidak percaya terhadap hukum karena hukum masih tidak berdaya terhadap kekuasaan dan uang.
Masih banyak putusan-putusan pengadilan yang tidak memberikan rasa keadilan kepada masyarakat, masih banyak perilaku pejabat pemerintahan dan aparatur hukum yang tajam ke bawah tumpul ke atas. Masih banyak sengketa tanah melawan pemodal besar, masyarakat selalu dikalahkan.
Kepatuhan negara terhadap putusan pengadilan yang memenangkan rakyat juga masih sangat buruk. Dalam berbagai kasus, tidak jarang pemerintahan negara justru sering menabrak hukum yang ada. Semua itu sebenarnya menurut kami terjadi karena tidak tegaknya hukum di negeri ini.
Belum sentuh peradilan dan birokrasi negara
Dilihat dari sisi ini, menurut kami, meminjam istilah Profesor Mochtar Kusumaatmadja, dunia hukum kita sebenarnya dalam kondisi ”desperate but not hopeless” lebih halus ketimbang dibilang dalam kondisi ”gawat darurat”.
Menegakkan supremasi hukum adalah kalimat yang sering kita dengar ketika para ahli hukum atau pengamat hukum berbicara tentang hukum. Ahli ilmu hukum Satjipto Rahardjo menyebut hukum mandul ketika supremasi hukum tidak bisa ditegakkan. Profesor Mahfud MD menyebut penegakan supremasi hukum merupakan separuh dari persoalan bangsa. Ini artinya jika hukum tidak tegak, bangsa ini agak terpuruk.
Penulis sepakat dengan Profesor Mahfud bahwa tidak tegaknya supremasi hukum sebagian besar ada di dunia peradilan dan birokrasi pemerintahan negara. Rusaknya negara kita bisa jadi karena ulah mereka yang ada di dunia peradilan dan birokrasi pemerintahan negara dari pusat sampai ke daerah.
Presiden Jokowi telah menjalankan dua paket kebijakan reformasi hukum dalam rangka revitalisasi hukum.
Paket pertama digulirkan Oktober 2016, dimaksudkan untuk memberantas pungutan liar dan suap dengan membentuk Satgas Sapu Bersih Pungutan Liar dan Suap (Satgas Saber Pungli), pemberantasan penyelundupan; percepatan pelayanan surat izin mengemudi (SIM), surat tanda nomor kendaraan (STNK), buku pemilik kendaraan bermotor (BPKB), dan surat keterangan catatan kepolisian (SKCK); pelayanan izin tinggal terbatas dan hak atas kekayaan intelektual (HAKI) berbasis teknologi yang transparan; dan relokasi lembaga pemasyarakatan.
Paket kedua digulirkan Januari 2017, dimaksudkan untuk menata berbagai regulasi yang masih tumpang tindih, perluasan jangkauan bantuan hukum kepada masyarakat kecil, dan membangun rasa aman di lingkungan masyarakat lewat pengembangan pemolisian masyarakat (polmas). Tujuannya untuk membangun dan memulihkan kepercayaan publik terhadap hukum.
Sayang sekali dua paket kebijakan reformasi Jokowi-JK sama sekali tidak menyentuh dunia peradilan dan birokrasi negara yang buruk. Kelembagaan peradilan dan birokrasi yang kuat tidak akan berjalan baik jika diisi dengan aparaturnya yang tidak berintegritas.
Perilaku aparatur yang buruk sangat memengaruhi kinerja buruk kelembagaan peradilan dan birokrasi pemerintahan dari pusat sampai ke daerah. Maksud dan tujuan baik pemerintah dalam reformasi hukum paket pertama terasa hambar karena realisasinya yang buruk.
Reformasi hukum yang dicanangkan, misalnya berantas pungli dan suap, hanya bergairah di awal tetapi kendur di akhir. Apalagi upaya tersebut hanya menyentuh bidang sektoral tidak menyentuh subsektor atau hanya terkesan kuat di pusat tidak sampai ke daerah.
Demikian juga dalam reformasi hukum paket kedua, misalnya perluasan jangkauan bantuan hukum kepada masyarakat kecil atau membangun rasa aman di lingkungan masyarakat, masih terasa jauh karena dalam kenyataannya sengketa agraria masih terjadi di mana-mana dan tidak dapat diselesaikan, khususnya tuntutan masyarakat akan hak atas tanah di sejumlah daerah terabaikan karena hukum lebih memihak kepada para pengusaha/pemodal besar.
Pemberian sertifikat hak atas tanah kepada masyarakat di beberapa daerah belum dapat menjawab kebutuhan masyarakat yang lebih besar akan keamanan dan kenyamanan hidup di lingkungannya.
Reformasi hukum
Menilik kondisi dunia hukum kita saat ini, pertanyaannya apakah cita-cita reformasi di bidang hukum saat ini sudah seperti yang diharapkan? Reformasi hukum telah dilakukan sejak era BJ Habibie sampai Susilo Bambang Yudhoyono dan berhasil mengubah rezim otoritarian menjadi rezim demokratis.
Selain itu, berhasil mengubah dari sistem pemerintahan sentralisasi berubah menjadi desentralisasi dan otonomi; berhasil pula membentuk lembaga peradilan dan birokrat yang kuat, ada berbagai undang-undang pencegahan dan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang disahkan dalam rangka mencegah dan memberantas KKN. Namun, kenapa reformasi di bidang hukum ini terkesan tidak berhasil.
Hal ini disebabkan pemerintah belum mampu mempertautkan jarak antara law in books dan law in action. Kita berhasil membuat aturan yang kuat, tetapi tidak kuat dalam menegakkan aturan-aturan hukum tersebut.
Membangun hukum pada dasarnya diarahkan pada membangun tiga subsistem hukum, yaitu aturan hukum (legal substance), aparat penegak hukum (legal structure), dan budaya hukum (legal culture). Seandainya kita berhasil membuat dan mengharmonisasikan berbagai regulasi aturan yang ada tetapi jika kita gagal membentuk aparatur penegak hukum (legal structure) dan budaya hukum (legal culture) yang baik, kita tentu akan gagal menegakkan supremasi hukum.
Jikalau cita-cita reformasi 1988 di bidang hukum untuk menjadikan hukum sebagai jembatan untuk menegakkan keadilan (justice), persamaan (equality), hak asasi manusia (human rights), kepatuhan (fairness) serta melindungi dan melayani publik (protection and serve public), hal itu masih jauh dari harapan karena reformasi di bidang hukum saat ini justru terkesan kehilangan arah.
Yang ada, masyarakat mulai mempersoalkan tentang konsep keadilan, kebinekaan, kesetaraan (egalitarian), persatuan dan kesatuan, bahkan mempertanyakan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai wacana hukum ketatanegaraan yang dianggap masih belum tuntas. Hal ini dikarenakan hukum kita gagal memberi keadilan dan gagal melindungi keberagaman, kesetaraan, dan persatuan kita.
Amir Syamsudin, Mantan Menteri Hukum dan HAM RI
Tulisan ini disalin dari Kompas, 26 Oktober 2017