Regulasi Perbukuan; Pelajaran dari Bisnis Buku Pelajaran

Penerimaan siswa baru atau PSB yang menjadi hajatan tahunan sekolah telah usai. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, penyelenggaraan PSB masih diwarnai sejumlah masalah, terutama mahalnya biaya yang mesti dikeluarkan orangtua murid untuk memperoleh kursi sekolah. Tak terkecuali pada tingkat SD dan SMP.

Kini, kursi kosong telah terisi, penyelenggaraan sekolah mulai berjalan, namun masalah yang dihadapi orangtua belum usai. Karena banyak sekolah yang membuat keputusan mengenai biaya pada bulan pertama kegiatan belajar-mengajar (KBM). Persoalan lain adalah kewajiban membeli buku pelajaran yang berfungsi membantu guru dan murid dalam proses KBM.

Penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2005 pada SD di Jakarta, Garut, Semarang, dan Kupang memperlihatkan, dari delapan biaya langsung yang dianggap memberatkan oleh orangtua murid, buku pelajaran menempati urutan ketiga. Jumlah rata-rata biaya yang dikeluarkan di empat daerah tersebut mencapai Rp 205.600 per tahun.

Setidaknya ada tiga faktor yang membuat buku pelajaran jadi masalah. Pertama, buku dijadikan bahan sekali pakai. Pergantian dilakukan tidak hanya setahun sekali, tapi sudah tiap semester. Tak ada lagi cerita mengenai buku warisan untuk saudara atau adik kelas.

Kedua, buku yang mesti dibeli berjumlah banyak. Satu mata pelajaran umumnya menggunakan dua atau tiga jenis buku. Selain buku pokok, juga ada buku penunjang atau pendamping, serta lembar kerja siswa (LKS).

Ketiga, harga buku pelajaran mahal, baik yang dijual sekolah maupun di toko.

Tergambar jelas dalam pengadaan buku di sekolah kepentingan bisnis mengalahkan kepentingan pedagogis murid. Pergantian buku yang cepat memungkinkan keuntungan yang diperoleh lebih cepat pula. Selain itu, semakin banyak buku yang dibeli, semakin besar pula keuntungan yang akan didapat.

Tidak ada hal baru dari bisnis buku di sekolah, tapi sayangnya juga tidak ada terobosan baru dari pemerintah untuk mengantisipasi. Peraturan Mendiknas No 11/2005 mengenai Buku Teks Pelajaran yang diharapkan bisa membawa perbaikan ternyata tidak memiliki pengaruh besar. Sebab, dalam peraturan itu diasumsikan buku pelajaran hanyalah kepentingan bisnis pengelola sekolah seperti guru.

Tidak mengherankan apabila langkah yang diambil pemerintah hanya sebatas memindahkan tempat jual beli buku dari sekolah ke pasar. Seperti disebutkan dalam Pasal 9 bahwa guru, tenaga kependidikan, satuan pendidikan, atau komite sekolah tidak dibenarkan melakukan penjualan buku kepada peserta didik. Padahal, bila dicermati selama ini birokrasi di atas sekolah yang justru menikmati keuntungan besar dari praktik bisnis buku pelajaran. Mereka yang memproduksi banyak katebelece yang akan digunakan penerbit untuk menekan pihak sekolah agar menerima dan menjual buku yang diterbitkannya.

Walau orangtua murid diberi keleluasaan untuk memilih toko buku, mereka tidak memiliki kewenangan dalam menentukan jenis buku yang akan digunakan sekolah. Padahal, murid tak akan mau menggunakan buku yang berbeda dengan guru. Karena itu, mau tidak mau yang akan dijadikan rujukan dalam pembelian buku adalah sekolah.

Di sisi lain, birokrasi pendidikan, seperti dinas pendidikan, masih bebas melakukan kontrol atas sekolah. Mereka dengan mudah bisa mengarahkan sekolah untuk membeli buku dari penerbit tertentu.

Tidak ada jalan lain, dalam persoalan buku pelajaran pemerintah wajib intervensi. Bukan ikut menentukan buku yang akan digunakan sekolah, tetapi menyediakan dana untuk pengadaan buku pelajaran pokok. Buku penunjang diserahkan pada mekanisme pasar, dengan memberi rambu-rambu pada sekolah agar tidak memaksa murid membeli atau memilikinya. Mekanisme dalam penentuan dan pengadaan buku

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan