Rekomendasi Tumpul dan Kontroversi Pedoman Perilaku Hakim

Mahkamah Agung RI telah mengeluarkan Pedoman Perilaku Hakim atau semacam Kode Etik Hakim. Sementara itu, Komisi Yudisial rencananya akan mengeluarkan sebuah Pedoman Perilaku Hakim atau Kode Etik Hakim yang lain.

Tampaknya perseteruan antara Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) belum akan usai, bahkan memasuki babak baru.

Seyogianya sebuah Kode Etik dikeluarkan oleh suatu lembaga berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang sehingga baik KY maupun MA beranggapan, mereka mempunyai kewenangan untuk mengawasi perilaku hakim. Karena itu, mereka juga berhak membuat Pedoman Perilaku Hakim atau Kode Etik Hakim.

Implikasi yuridis
Keberadaan Pedoman Perilaku Hakim versi KY dan MA itu akan menimbulkan implikasi yuridis di dalam pelaksanaan tugas pengawasan perilaku hakim.

Pertama, ada dua pedoman perilaku yang harus diikuti para hakim, yang tentu saja akan menimbulkan kebingungan. Para hakim tentu akan mengikuti pedoman perilaku yang dikeluarkan MA, di mana mereka bernaung, sehingga apabila kemudian dalam pengawasan perilaku hakim, KY menggunakan Pedoman Perilaku Hakim yang lain, tentu akan mendapat perlawanan dari para hakim.

Kedua, rekomendasi KY dalam bentuk apa pun pasti akan ditolak MA karena mereka beranggapan KY menggunakan Pedoman Perilaku Hakim lain yang berbeda dengan MA. Kondisi semacam ini tidak menguntungkan semua pihak, bahkan merugikan upaya besar pemerintah untuk melakukan reformasi pengadilan.

Sebelum MA membuat Pedoman Perilaku Hakim atau Kode Etik Hakim, KY sendiri telah menuntaskan beberapa tugas pengawasan hakim, antara lain KY membuat rekomendasi pemberhentian majelis hakim kasus Neloe dan kawan-kawan, kemudian KY membuat rekomendasi pemberhentian sementara Ketua Majelis Hakim Tipikor dalam perkara suap di MA.

Namun, sejauh ini berbagai rekomendasi KY mendapat tanggapan dingin dari MA. KY sendiri mengakui, resistensi MA terhadap rekomendasi KY sejak awal amat kuat sehingga belum ada satu pun rekomendasi KY yang ditanggapi atau dipertimbangkan oleh MA.

Dalam kondisi seperti ini, nasib rekomendasi KY dan tugas pengawasan hakim pada umumnya akan semakin tidak jelas bila nantinya baik MA maupun KY membuat Pedoman Perilaku atau Kode Etik sendiri-sendiri.

Resistensi yang amat kuat dari MA terhadap rekomendasi KY dan keberadaan Pedoman Perilaku Hakim dikarenakan persoalan kewenangan yang belum dituntaskan oleh masing-masing pihak terkait dengan yurisdiksi tugas pengawasan hakim.

Pasal 14 Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2004 tentang KY menyebutkan, KY mempunyai wewenang untuk menjaga dan mengawasi perilaku hakim. Sedangkan MA, menurut UU No 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No 14 Tahun 1985 tentang MA antara lain menyatakan MA berwenang melakukan pengawasan terhadap kecakapan hakim dan perbuatan tercela dari hakim.

Dengan demikian, ada perbedaan yang amat tipis antara pengawasan terhadap perbuatan tercela hakim dari MA dengan pengawasan perilaku hakim dari KY.

Pengawasan hakim
Sejak awal sudah terjadi perdebatan di kalangan ahli hukum apa dan sejauh mana pengawasan hakim dapat dilakukan oleh KY maupun MA, khususnya menyangkut perilaku hakim.

Apakah pengawasan perilaku hakim KY hanya menyangkut hal-hal yang nonyustisial atau termasuk juga yang teknis-yustisial. Demikian juga pengawasan hakim oleh MA, apakah hanya menyangkut hal-hal yang teknis- yustisial atau termasuk yang nonyustisial.

Menurut hemat kami, meski di banyak negara KY mempunyai kewenangan luas, namun di Indonesia kewenangan KY amat dibatasi oleh norma-norma, hukum, dan peraturan perundang- undangan yang berlaku, termasuk dibatasi oleh kewenangan pengawasan hakim oleh MA.

KY jelas tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap teknis yudisial khususnya masalah penerapan hukum karena hal itu terkait dengan independensi kekuasaan kehakiman (independence of judiciary). Namun KY dapat saja memeriksa berkas perkara termasuk memeriksa teknis yudisial berkaitan dengan penilaian hakim terhadap fakta-fakta, karena dengan mengetahui penilaian hakim terhadap fakta-fakta dalam berkas perkara, KY baru dapat menelusuri apakah perilaku hakim bermasalah atau tidak.

Jadi jelas KY hanya dapat memeriksa hal-hal yang bersifat teknis yustisial, tetapi tidak boleh menilainya. Serunya, masalah konflik kewenangan belum usai, masing-masing lembaga baik MA maupun KY sudah berketetapan untuk membuat pedoman perilaku hakimnya sendiri-sendiri. Hal ini justru akan semakin memperlebar jurang perbedaan di antara kedua lembaga tersebut.

Satu pedoman
Untuk kepentingan semua pihak, mestinya hanya ada satu Pedoman Perilaku Hakim atau Kode Etik Hakim yang dapat digunakan oleh MA maupun KY dalam melakukan pengawasan perilaku hakim. KY dan MA harus dapat duduk bersama membicarakan hal itu. Sepanjang UU MA atau UU KY belum diubah, maka baik MA maupun KY masing-masing merasa memiliki kewenangan pengawasan terhadap perilaku hakim atau perbuatan tercela hakim. Karena itu, tidak ada jalan lain kecuali kedua lembaga yang berseteru itu secara bersama membentuk Pedoman Perilaku Hakim atau Kode Etik Hakim yang satu.

MA dan KY adalah lembaga pengawasan hakim sehingga masyarakat berharap kedua lembaga ini dapat menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran budi para hakim dalam mereformasi peradilan kita yang sudah luluh lantak.

Keberadaan pedoman perilaku yang dibuat MA dan KY akan memperparah keadaan dan kami yakin rekomendasi KY tidak akan ditanggapi oleh MA sebagai counterpart dalam menegakkan perilaku hakim.

Dalam menghadapi kondisi ini, semestinya KY dan MA tidak bersikap kaku. Kita berharap kedua lembaga ini berfungsi sebagai lembaga dengan konsep the what and the why yang bersifat grounded dan corroborated, tanpa mengedepankan sikap dengan konsep the do and the don

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan