Rekonstruksi Jogja, Belajar dari Aceh

Gempa di Jogjakarta dan Jawa Tengah meninggalkan agenda besar untuk segera dilakukan: rekonstruksi dan rehabilitasi.

Terlepas dari segala kepanikan dan kelemahan distribusi bantuan pada pekan pertama, untuk ke depan, kita sebenarnya agak beruntung karena pernah mempunyai pengalaman membentuk BRR (Badan Rekonstruksi dan Rehabitasi) di Aceh dan Nias. Dari pengalaman tersebut, mestinya kita bisa memperbaiki setiap kelemahan masing-masing tahap yang pernah dijalankan di sana.

Dalam ilmu ekonomi pembangunan, dikenal argumen late comer gets advantages from the past experiences. Argumen ini -disebut juga advantages of backwardness- dikemukakan Alexander Gerschenkron (1962), ekonom Harvard keturunan Rusia, ketika membedah anatomi tahap-tahap pembangunan di bekas negara Uni Soviet. Kesimpulan Gerschenkron: negara-negara yang membangun belakangan memetik banyak manfaat dari pengalaman negara-negara yang membangun lebih dulu.

Tesis ini sekaligus menjadi kritik utama terhadap teori tahap-tahap pembangunan sebelumnya, oleh Walt W. Rostow (1960), yang mengabaikan kemungkinan bahwa late comer akan menjalani tahap pembangunan secara lebih cepat dibanding pendahulunya (past performers). Baik Rostow maupun Gerschenkron diklasifikasikan ke dalam kelompok ekonom mazhab historis.

Berangkat dari tesis ini, upaya rekonstruksi di Jogjakarta dan Jawa Tengah mestinya juga dapat belajar dari pengalaman di Aceh dan Nias. Namun, tentu saja sejumlah modifikasi harus dilakukan, karena adanya perbedaan karakteristik antara Aceh dan Jogja.

Pertama, kerusakan di Aceh terutama terkonsentrasi di radius lima kilometer dari garis pantai, di mana ombak tsunami masih sanggup menghancurkan infrastruktur. Sedangkan di Jogja, kerusakan menjorok ke radius yang lebih jauh, mengikuti jalur patahan. Daerah pantai justru tidak mengalami kerusakan paling parah. Karena itu, rekonstruksi fisik nanti lebih menyebar mengikuti jalur patahan tersebut, tidak terkonsentrasi di radius tertentu dari garis pantai. Jalur patahan ini menjorok dari Kabupaten Bantul sebagai pusat episentrum, hingga Prambanan (Kabupaten Sleman), serta beberapa kecamatan di Klaten (Gantiwarno, Wedi, Bayat, dan Cawas).

Kedua, di Aceh, korban terbanyak adalah meninggal (laporan resmi BRR 167 ribu orang tewas dan/atau hilang), sedangkan di Jogja korban terbanyak adalah luka-luka (46 ribu), sedangkan korban meninggal lebih dari 6 ribu. Implikasinya, dalam program rehabilitasi, di Jogja akan lebih banyak berkaitan dengan upaya menyembuhkan korban luka-luka daripada pemakaman masal seperti di Aceh.

Ketiga, di Aceh diperlukan pembangunan 80 ribu hingga 110 ribu unit rumah, untuk menampung 500 ribu orang yang kehilangan tempat tinggal. Sedangkan di Jogja, 76 ribu rumah rata dengan tanah/rusak berat dan 62 ribu rusak ringan. Lalu di Jawa Tengah terdapat 64 ribu rumah rata dengan tanah/rusak berat dan 32 ribu rusak ringan. Jadi secara total, musibah di Jogja dan Jateng menghancurkan 140 ribu rumah dan rusak ringan 94 ribu rumah.

Berdasarkan data tersebut, strategi yang dijalankan untuk rekonstruksi dan rehabilitasi pun berbeda. Di Aceh, karena jumlah penduduk yang meninggal sangat besar, sumber daya manusia yang bisa dimobilisasi untuk membangun kembali infrastruktur menjadi terbatas. Ditambah faktor tidak berfungsinya pemerintah daerah, keberadaan lembaga independen BRR untuk mengambil alih tugas rekonstruksi menjadi menemukan urgensinya.

Sedangkan di Jogja, dengan jumlah penduduk yang masih banyak dan pemerintah daerah yang masih berfungsi (provinsi dan kabupaten), yang diperlukan adalah pemda memobilisasi masyarakat untuk membangun kembali rumah masing-masing. Pemerintah hanya sebagai fasilitator dan motivator.

Fasilitator berarti memberi pasokan bahan-bahan bangunan, sebagaimana dijanjikan pemerintah pusat berupa Rp 30 juta bagi rumah yang rusak total dan Rp 10 juta bagi rumah yang rusak sebagian.

Motivator berarti membangkitkan semangat masyarakat yang terkena trauma. Sebagai gubernur dan sekaligus raja Jogja, tentu Sri Sultan Hamengku Buwono X harus aktif dan tidak berhenti turun ke bawah, bersama bupati dan perangkat pemerintah lain. Jangan lupa, dalam ilmu ekonomi, imbauan atau persuasi moral (moral suasion) merupakan instrumen kebijakan yang sering efektif.

Sebagaimana pengalaman musibah bencana alam di berbagai lokasi di seluruh dunia, akan selalu ada perhatian lebih dari berbagai pihak. Gempa bumi di Iran (2003) yang menewaskan 30 ribu orang dan menyebabkan 75 ribu orang kehilangan rumah, gempa bumi di India (2001) yang menewaskan 14 ribu orang, dan badai topan di Honduras (1998) yang membuat 440 ribu orang kehilangan tempat tinggal. Dengan kerja keras, pemerintah setempat yang didukung komunitas internasional berhasil membangun kembali 214 ribu rumah di India dalam dua tahun, dan 85 ribu rumah di Honduras dalam empat tahun.

Berbekal pengalaman domestik kita dan di negara-negara lain tersebut, kita harus berani menetapkan target. Di Aceh, sekarang ini 16.200 rumah sudah dibangun dan 13.200 dalam tahap pembangunan. Karena lokasi Aceh yang relatif terisolasi di ujung utara Sumatera, sedangkan Jogja secara geografis amat terbuka menerima bantuan dari berbagai penjuru, rekonstruksi Jogja mestinya jauh lebih cepat. Berdasarkan best practice pembangunan rumah di India (214 ribu dalam dua tahun) dan pengalaman Aceh (16-20 ribu setahun), di Jogja dan Jateng tampaknya bisa diperkirakan dibangun kembali 130 ribu rumah dalam dua tahun.

Tentu saja ini bisa dicapai melalui komitmen yang kuat, bukan hanya dari pemerintah dan masyarakat yang siap bergotong royong, tetapi juga dari komunitas internasional. Dalam sidang CGI (Consultative Group on Indonesia), Rabu 14 Juni 2006 pekan depan, pemerintah harus meyakinkan lembaga-lembaga donor untuk mengakselerasi program rekonstruksi dan rehabilitasi.

Pada hari-hari ini, Bank Dunia bahkan sudah meminta kantor kami (Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM), untuk melakukan penghitungan awal (preliminary assessment) mengenai skala kerusakan, yang akan dibawa ke sidang CGI. Hasil penghitungan ini akan diuji silang (cross check) dengan perhitungan yang dilakukan pemerintah Indonesia, untuk kemudian direkomendasikan pembiayaannya.

Isu yang juga menarik adalah, beberapa pihak (LSM, pengamat, dan politisi) menginginkan kita tidak menerima lagi utang (loan), tetapi hanya mau hibah (grant) dalam sidang CGI nanti. Sebuah usul yang menarik, namun tidak mudah diwujudkan. Sebagaimana praktik internasional yang selama ini terjadi, biasanya yang harus kita terima adalah kombinasi antara hibah dan utang. Tugas pemerintah adalah melobi para donor untuk memperbanyak porsi hibah daripada utang baru. Dan jangan lupa, memberi garansi bahwa dana rekonstruksi tidak akan nyasar dan dijarah koruptor.

A Tony Prasetiantono, peneliti Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik (PSEKP) UGM, Jogjakarta.

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 5 Juni 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan