Revitalisasi Pemberantasan Korupsi
Revitalisasi memiliki konotasi evaluasi dan termasuk juga rekomendasi mengenai arah pemberantasan korupsi di masa yang akan datang,baik mengenai sisi perundang-undangan maupun sisi kelembagaannya.
Evaluasi terhadap undangundang antikorupsi seyoganya dilakukan sekali dalam lima tahun,khusus terhadap UU RI No 31/1999, terakhir diubah tahun 2001, telah melampaui batas waktu uji kelayakan tersebut. Evaluasi terhadap undangundang tersebut merupakan keniscayaan.
Selain soal batas waktu, juga berkaitan dengan pandangan masyarakat Indonesia dan internasional dalam upaya hukum pemberantasan korupsi.Terutama sehubungan dengan Konvensi PBB Antikorupsi 2003 yang telah diratifikasi UU RI No 7/2006. Evaluasi awal ditujukan terhadap dua hal yang sangat prinsipiil, yaitu: Pertama, apakah karakteristik objek undang-undang ini masih tetap sebagai, extraordinary crimes atau sesungguhnya merupakan, ordinary crimes.
Kedua, sebagaikonsekuensijawabanpertama, adalah bagaimanakah keberadaan lembaga penegak hukum dalam pemberantasan korupsi saat ini termasuk KPK dan lembaga-lembaga kontrol eksternal seperti Kompolnas, Komjak,dan Komisi Yudisial. Keluarbiasaan dari objek undang-undang antikorupsi Indonesia dan di mana letak keluarbiasaannya adalah pertanyaan yang sering dilontarkan dalam masyarakat hukum.
Namun, tampaknya masih belum terdapat jawaban yang komprehensif sehingga posisi objek undang-undang ini masih diperdebatkan di antara pendapat konservatif dan pendapat progresif. Pendapat konservatif bertolak pada paham positivisme hukum yang menganut pandangan bahwa hukum sebagai sistem norma (systems of norms) dan menolak karakter korupsi sebagai extraordinary crimes.
Pandangan ini hanya mengakui dua titik pandang dalam melihat suatu tindak pidana, yaitu semata-mata diletakkan pada moralitas individual dalam bentuk unsur kesengajaan (dolus) dan kelalaian (culpa). Sedangkan pandangan progresif memandang hukum sebagai sistem perilaku (systems of behavior) dan bagian dari moralitas sosial.
Pandangan progresif justru memberikan justifikasi bahwa keluarbiasaan (extraordinary) dari suatu kejahatan harus juga dilihat dari situasi dan kondisi sistem kemasyarakatan termasuk sistem politik dan ekonomi. Kondisi itu diposisikan sebagai causa nexus sekaligus prima facie evidence keruntuhan secara sosial, ekonomi, dan politik suatu negara.
Pandangan progresif tercermin dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU RI No 31/1999 diubah dengan UU RI No 20/2001, dan Pasal 12 B dengan pembuktian terbalik. Ketentuan lainnya merupakan cermin pandangan konservatif-klasik.
Belum Maksimal
Bagaimana kondisi pemberantasan korupsi sebelum dan sesudah ratifikasi Konvensi PBB Antikorupsi 2003? Pengamatan penulis menunjukkan bahwa hampir 99% perkara tindak pidana korupsi dituntut dan diputus berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tahun 1999/2001.
Dengan begitu, seolah-olah hanya terdapat pada kedua pasal tersebut. Dan terkesan prosedur pembuktiannya lebih mudah dibandingkan dengan pasal lainnya. Bahkan ketentuan pembuktian terbalik yang memudahkan prosedur pembuktian tidak pernah diterapkan dengan alasan belum ada hukum acaranya.
Praktik tersebut mencerminkan bahwa pemberantasan korupsi tidak lagi mempertimbangkan dua asas penting dalam suatu negara hukum (fundamental normen des Rechtsstaat) yaitu asas proporsionalitas dan asas subsidiaritas (Remmelink, 2003). Asas pertama secara analogis sering dikatakan, “tidak perlu membakar lumbung hanya untuk menangkap tikus”.
Dan asas kedua meminta penegak hukum dalam penerapan ketentuan pidana wajib mempertimbangkan alternatif solusi hukum yang paling sedikit menimbulkan risiko sehingga tujuan kepastian dan keadilan tercapai secara seimbang. Permintaan ini tidak mudah dalam praktik karena penegak hukum di Indonesia sampai saat ini “penganut berat” pandangan positivisme hukum.
Sebagai contoh bagaimana penegak hukum menyikapi dugaan korupsi di kalangan BUMN yang notabene adalah aset nasional untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi nasional. Tujuan penghukuman lebih utama daripada tujuan “memelihara dan menjaga“ kesinambungan BUMN tersebut.
Dari sisi tingkat keberhasilan penerapan kedua pasal tersebut, juga belum optimal mengembalikan kerugian keuangan negara. Penelitian disertasi menemukan jumlah uang negara yang berhasil diselamatkan oleh kepolisian, kejaksaan,dan KPK pada 2003- 2008 senilai kurang lebih Rp5 triliun.
Sedangkan data BPK RI triwulan I/2003-2008,kerugian negara telah mencapai Rp30 triliun. (Manurung, 2009; Rachmad,2009). Fakta belum berhasilnya pemberantasan korupsi ditunjukkan oleh hasil survei lembaga- lembaga internasional seperti TI dan PERC.Serta berdasarkan indeks penegakan hukum 2011 (Rule of Law Index) yang dirilis World Justice Project (WJP).
Revitalisasi KPK
Diperlukan revitalisasi pemberantasan korupsi di Indonesia. Termasuk mengevaluasi status dan fungsi KPK sebagai lembaga independen yang bersifat ad hoc yang diharapkan dapat menjalankan fungsi trigger mechanism terhadap kinerja kepolisian dan kejaksaan.
KPK gagal melaksanakan fungsi tersebut bahkan beralih fungsi menjadi competitor mechanism terhadap kedua institusi penegak hukum tersebut karena hambatan psikologis dan teknis hukum yang sulit dihindari KPK.
Revitalisasi pemberantasan korupsi yang diusulkan adalah tugas pokok dan fungsi KPK ke depan harus fokus pada penyelidikan, penyidikan,dan penuntutan terhadap kasus suap dan korupsi di dalam penegakan hukum yang dilakukan polisi, jaksa, hakim, serta fokus ke suap/korupsi yang dilakukan kalangan politisi.
Sedangkan tugas pokok dan fungsi kepolisian dan kejaksaan harus fokus pada suap dan korupsi di dalam birokrasi dan sektor swasta. Penghapusan fungsi koordinasi dan supervisi KPK diganti dengan pengawasan eksternal khusus melakukan audit kinerja terhadap ketiga lembaga penegak hukum tersebut.
Untuk mendukung usulan tersebut, perlu beberapa hal: Pertama,penghapusan jabatan deputi dalam organisasi KPK sehingga “span of control” dari pimpinan terhadap penyelidik, penyidik, dan penuntut hanya melalui jabatan direktur.
Kedua, penyidik asal Polri aktif (kecuali mantan Polri) ditiadakan dan dilakukan rekrutmen penyidik independen, dan personel penuntut didampingi penuntut ad hocjika jaksa terlibat perkara korupsi.
Ketiga, divisi pencegahan ditiadakan dari struktur organisasi KPK dan dibentuk lembaga baru pencegahan yaitu Komisi Pemeriksa Harta Kekayaan Penyelenggara Negara untuk memperkuat fungsi penindakan KPK.
ROMLI ATMASASMITA Guru Besar Hukum Pidana Internasional Unpad
Tulisan ini disalin dari Koran Sindo, 5 Agustus 2011