Saksi Ahli dalam Kasus Korupsi Harus Figur Independen
Saksi ahli dalam kasus korupsi bukan meringankan atau memberatkan. Dia harus figur yang independen. Karena itu, tidak kondusif jika saksi ahli dalam pengadilan kasus korupsi adalah figur tertentu yang kerap menjadi pembela atau pembela yang menjadi saksi ahli.
Demikian pendapat Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Teten Masduki saat diskusi terbatas dalam rangka menyikapi keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas judicial review Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, kemarin.
Hadir dalam diskusi tersebut, antara lain Ketua KPK Taufiequrahman Ruqi, Wakil KPK Ery Riyana Hardjapamekas, staf pengajar Fakultas Hukum UI Rudi Satria, HS Dillon, Bambang Wijojanto, dan beberapa praktisi hukum lainnya.
Menurut Teten, seharusnya ada semacam pemetaan siapa-siapa saja yang pernah menjadi saksi ahli dalam suatu kasus korupsi. Kemudian siapa-siapa saja yang pernah menjadi pembela dalam suatu kasus korupsi.
Saya pernah coba-coba melakukan inventarisasi mengenai hal itu. Dan hasilnya, ternyata di Indonesia polanya cukup mengkhawatirkan. Sebab, tidak sedikit ditemukan, misalnya si A menjadi saksi ahli kasus C, si B menjadi pembelannya. Kemudian si A menjadi pembela kasus D, sebaliknya si B menjadi saksi ahlinya. Jadi ada semacam pola yang menguntungkan tersangka, tegas Teten.
Fenomena tersebut, jelas Teten, menimbulkan kerancuan terhadap saksi ahli. Sebab, saksi ahli itu tidak jarang adalah saksi yang meringankan. Akibatnya, diragukan sikap independen dari saksi ahli tersebut, demikian pula keputusan dari hakim.
Jadi sangat wajar timbul pertanyaan, apakah keterangan saksi ahli dalam putusan MK No 069/PUU-II/2004 itu tidak dipenggal-penggal. Jadi, apa tidak diambil yang menguntungkan pihak tertentu saja, kata Teten.
Putusan MK tersebut bagi KPK sendiri, menurut Ketua KPK Taufiequrrahman Ruki, menimbulkan banyak tanda tanya.
Diakui dia, banyak yang tidak senang dengan gerakan antikorupsi. Serangan balik melawan gerakan antikorupsi sangat terasa, 'bungkusnya' beraneka macam.
Misalnya, usai keputusan MK para pembela Puteh langsung menyatakan KPK tidak berwenang dan tidak pantas meneruskan kasus tersebut. Bagi saya asas retroaktif itu tetap ada di KPK, karena setiap perkara korupsi sebelum 2002, maka yang berlaku adalah KUHAP, kilah Ruki.
Upaya yang paling mungkin dilakukan KPK, ungkap Ruki, adalah dengan eksaminasi atas putusan MK tersebut. Meskipun upaya tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak memengaruhi putusan.
Ya, setidaknya atas keputusan tersebut masih ada yang menilai ada sesuatu di balik putusan tersebut, kata Ruki.
Pernyataan tersebut didukung Bambang Wijojanto. Menurutnya, eksaminasi dibutuhkan selain untuk membentengi MK dari intervensi, yang tercermin dalam putusan, juga mengecek akuntabilitas para hakim.
Jika dari eksaminasi itu terungkap adanya ketidakberesan maka hakim bersangkutan tidak layak menjadi hakim MK. (Faw/P-5)
Sumber: Media Indonesia, 23 Februari 2005