Salah Urus Pembiayaan Pendidikan
Global Monitoring Report (2011) UNESCO telah merilis indeks pembangunan pendidikan untuk semua (education for all) dengan menempatkan Indonesia pada urutan ke-69 dari 127 negara di dunia. Peringkat Indonesia menurut GMR menurun dari tahun sebelumnya, yang menyentuh urutan 65, meskipun tetap lebih baik daripada Filipina (85), Kamboja (102), India (107), dan Laos (109). Indeks pembangunan pendidikan untuk semua itu sendiri didasarkan pada beberapa kategori penilaian, yakni angka partisipasi pendidikan dasar, angka melek huruf pada usia 15 tahun ke atas, angka partisipasi menurut kesetaraan gender, dan angka bertahan siswa hingga kelas V sekolah dasar.
Tentu saja menurunnya tingkat kualitas pembangunan pendidikan di Indonesia patut mendapat pertanyaan kritis mengingat kebijakan anggaran nasional telah mengalokasikan 20 persen dari total APBN untuk pembiayaan pendidikan. Tiadanya hubungan yang signifikan antara penambahan alokasi anggaran sektor pendidikan dan pembangunan mutunya adalah gejala adanya ketidakberesan, baik pada politik anggarannya maupun pada pengelolaannya.
Dari studi ICW dan IBC (2008) atas kebijakan 20 persen anggaran pendidikan nasional, ditemukan sejumlah cara untuk mengakali pemenuhan amanah UU Sistem Pendidikan Nasional, yakni dimasukkannya komponen gaji pendidik (guru) beserta kegiatan pelatihan yang tidak relevan dengan isu pendidikan itu sendiri. Sementara itu, kekhawatiran bahwa akutnya korupsi pada birokrasi pendidikan akan membuat penambahan alokasi anggaran pendidikan tidak banyak memberikan dampak positif--dapat ditemukan dalam berbagai macam kasus yang muncul ke permukaan, dari korupsi pengadaan buku sekolah, infrastruktur, penggelapan dana pendidikan, hingga korupsi Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Khusus untuk korupsi pada anggaran BOS, ICW telah melakukan studi mengenai celah-celah korupsi pada mekanisme penyaluran dana ini dari 2006-2008. Beberapa masalah krusial yang muncul dalam penyaluran dana BOS adalah masih terdapatnya pungutan liar bagi orang tua murid yang kecenderungannya meningkat. Pungutan itu sendiri tak bisa dielakkan mengingat alokasi dana BOS per siswa tidak memadai jika dibandingkan dengan kebutuhan nyatanya. Sebagai contoh, pada 2010, pemerintah mengalokasikan dana BOS untuk setiap murid SD Rp 400 ribu per tahun, sementara kebutuhan faktual per siswa adalah Rp 1,8 juta per tahun.
Demikian pula, korupsi dana BOS bisa ditemui mulai dari tingkat sekolah hingga tingkatan dinas pendidikan dengan berbagai modus, dari penggelapan, pertanggungjawaban fiktif, laporan keuangan ganda, pemerasan, setoran, suap, pengenaan “biaya administrasi”, hingga pemaksaan atas penggunaan produk-produk bahan ajar yang dibiayai dari alokasi BOS (Ade Irawan, 2010).
Dampak korupsi
Korupsi di sektor pendidikan dalam berbagai bentuknya secara langsung telah memberi dampak yang buruk bagi jaminan akses pendidikan, khususnya bagi kelompok miskin dan mutu pendidikan itu sendiri. Penulis masih sangat ingat ketika pada 2006 datang rombongan pengurus sekolah dan kepala desa dari salah satu daerah di Kabupaten Flores Timur, NTT, ke ICW untuk mengadukan dugaan korupsi dana operasional sekolah yang dilakukan oleh pejabat di dinas pendidikan setempat.
Digambarkan oleh pelapor, akibat tidak ada kucuran dana operasional bagi sekolah selama kurun waktu satu tahun, sekolah tidak memiliki peralatan yang memadai untuk pelaksanaan proses belajar-mengajar, walaupun hanya untuk membeli kapur papan tulis. Karena tidak ada sumber pendanaan yang bisa digunakan--mengingat memungut uang dari orang tua murid juga tidak masuk akal karena mayoritas adalah kelompok miskin--siswa kelas IV hingga kelas VI SD akhirnya harus bekerja untuk sekolah setelah jam belajar usai, dari menggali pasir, memanen kelapa, hingga berbagai aktivitas lain yang bisa menghasilkan uang bagi kegiatan operasional sekolah.
Studi yang dilakukan oleh Gupta, Davoodi and Tiongson (2000) juga dapat menggambarkan kaitan langsung korupsi di sektor pendidikan dengan tingkat angka putus sekolah dan rendahnya tingkat pendaftaran ke sekolah. Dari 53 negara yang disurvei, data statistik menunjukkan bahwa korupsi di sekolah yang rendah hanya berakibat terhadap angka putus sekolah sebesar 9,1 persen. Sedangkan kategori korupsi yang tinggi di tingkat sekolah telah mendorong angka putus sekolah hingga 31,5 persen. Adapun bentuk korupsi di sekolah yang ditemukan adalah pembayaran ilegal dari orang tua murid untuk kebutuhan pendaftaran murid baru dan suap lainnya selama proses belajar-mengajar. Jika dikaitkan dengan kategori yang digunakan dalam pemeringkatan indeks pembangunan pendidikan untuk semua oleh UNESCO, maka tingkat korupsi pada sektor pendidikan sangat mempengaruhi tinggi-rendahnya indeks tersebut.
Demokratisasi sekolah
Karena itu, tidak ada jalan lain kecuali perang terhadap korupsi di sektor pendidikan harus terus diupayakan. Tetapi pemerintah, baik pusat maupun daerah, sepertinya tak banyak menaruh perhatian serius terhadap isu di atas. Eksperimen akan prosedur penyaluran dana BOS melalui APBD, yang baru saja diterapkan Kementerian Pendidikan Nasional, justru menimbulkan masalah besar. Hingga hari ini, hampir di semua daerah, dana BOS tak kunjung cair karena birokrasi penganggaran daerah yang rumit dan lamban. Akibatnya, sekolah kesulitan mengefektifkan kegiatan belajar-mengajar. Padahal banyak sekolah yang mengandalkan dana BOS untuk menopang kegiatan operasional pendidikan.
Pemerintah pusat tampaknya memiliki agenda untuk secara perlahan-lahan melepaskan tanggung jawab pembiayaan pendidikan ke daerah. Hal ini mengingat sebagian anggaran yang digunakan untuk implementasi kebijakan BOS diperoleh dari bantuan utang luar negeri. Jika utang luar negeri telah berhenti, secara otomatis sebagian beban pembiayaan pendidikan (BOS) akan diserahkan kepada pemerintah daerah. Karena itu, skema transfer dana BOS diubah dari yang sebelumnya langsung dikirim ke sekolah menjadi masuk dalam alur APBD sekarang ini.
Mekanisme baru yang dirancang Kementerian Pendidikan Nasional justru cenderung meningkatkan peluang penyelewengan dana BOS. Sulit untuk memastikan bahwa jumlah dana BOS dari pusat yang ditransfer ke daerah akan sampai ke sekolah-sekolah dalam jumlah yang sama. Potensi dana BOS disunat oleh kepala daerah dan kepala dinas di masing-masing daerah justru semakin terbuka. Pasalnya, APBD masih merupakan sumber utama bagi penguasa lokal yang korup. Dana BOS akan bernasib sama seperti dana Bantuan Sosial, yang penggunaannya sulit dikonfirmasi kebenarannya.
Jika pemerintah pusat beralasan bahwa tata kelola keuangan pemerintah daerah semakin baik berdasarkan audit reguler yang dilakukan BPK, hal itu juga tidak menjamin korupsi tidak terjadi. Ini mengingat general audit yang dilakukan BPK RI sebagai dasar untuk memberikan opini terhadap laporan keuangan pemerintah, baik pusat maupun daerah, hanya untuk mengukur tingkat compliance (kepatuhan) terhadap peraturan yang berlaku, bukan dimaksudkan untuk mengetahui ada-tidaknya korupsi yang dilakukan birokrasi.
Semestinya, jika pemerintah pusat melalui Kementerian Pendidikan Nasional menaruh perhatian serius pada keberlanjutan pembiayaan pendidikan yang efektif dan efisien, kebijakan yang diambil bukanlah dengan mengutak-atik mekanisme penyaluran dana BOS, melainkan bagaimana mendesain sebuah sistem yang lebih transparan dan akuntabel, serta membuka ruang yang lebih luas bagi stakeholders pendidikan untuk melakukan pengawasan terhadap penggunaan setiap rupiah anggaran pendidikan.
Karena pemberantasan korupsi merupakan bagian dari upaya demokratisasi, maka institusi demokrasi yang sudah terbangun di sekolah sebagai unit terkecil sistem pendidikan nasional, yakni Komite Sekolah, harus diberdayakan. Komite Sekolah secara ideal merupakan alat kontrol bagi kebijakan pendidikan pada tingkat sekolah, baik dalam lingkup mutu, perencanaan, maupun pertanggungjawaban anggaran sekolah. Jika Komite Sekolah hanya dijadikan aksesori belaka, tentu sulit untuk mendorong sistem penyelenggaraan sekolah yang bertanggung jawab. Pada akhirnya, sistem apa pun yang dirancang pemerintah pusat untuk mengurangi tingkat penyelewengan dana BOS hampir mustahil berjalan efektif jika tidak seiring dengan upaya mendemokratisasi sekolah sebagai unit terpenting pendidikan kita.
Adnan Topan Husodo, WAKIL KOORDINATOR INDONESIA CORRUPTION WATCH (ICW)
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 24 Maret 2011