Sangkaan Trading of Influence Idrus Marham Dalam Korupsi PLTU
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menahan mantan Menteri Sosial, Idrus Marham, pada Jumat (31/8). Ia ditahan setelah sepekan sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka dugaan suap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1. Idrus ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dengan sangkaan menggunakan pengaruhnya sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Golkar dalam proyek PLTU.
KPK menduga Idrus telah menerima janji uang USD 1,5 juta dari Johannes B. Kotjo jika perusahaan Samantaka Batubara, anak usaha Blackgold, meneken kontrak Purchase Power Agreement (PPA) dengan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Johannes B. Kotjo adalah tersangka lain yang sudah lebih dahulu ditahan KPK dan merupakan pemegang saham Blackgold Natural Resource Limited, salah satu perusahaan konsorsium proyek PLTU Riau-1. Bersama Johannes, mantan Wakil Ketua Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Eni Maulani Saragih juga ditahan KPK dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada 13 Juli 2018.
Proyek PLTU Riau-1 adalah proyek pembangkit mulut tambang berkapasitas 2x300 MW dengan nilai proyek USD 900 juta. Proyek ini adalah salah satu bagian dari program mega proyek ketenagalistrikan 35.000 MW besutan Presiden Jokowi. Meski disebutkan oleh Direktur Utama PLN, Sofyan Basir, kasus PLTU Riau-1 tidak mempengaruhi pelaksanaan mega proyek listrik, tetapi dugaan suap dalam PLTU Riau-1 tidak dapat dianggap remeh. Terutama karena modus memperdagangkan pengaruh atau trading of influence yang dilakukan oleh Idrus Marham.
Selain Idrus Marham, sudah ada beberapa kasus memperdagangkan pengaruh yang terjadi, seperti oleh Ahmad Fathanah, Luthfi Hasan, Choel Malarangeng, dan Irman Gusman. Fenomena ini menunjukkan bahwa modus korupsi memperdagangkan pengaruh semakin mendesak untuk dimasukkan dalam hukum positif Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Aparat penegak hukum selama ini mengalami kesulitan untuk memproses modus korupsi memperdagangkan pengaruh karena keterbatasan aturan hingga memasukkannya dalam pasal penyuapan atau pemerasan, yang sebenarnya memiliki beberapa perbedaan mendasar.
Konsep memperdagangkan pengaruh diatur United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) dalam pasal 18. Definisi memperdagangkan pengaruh adalah janji, permintaan, penawaran, atau pemberian kepada pejabat publik atau orang lain, untuk mendapatkan keuntungan yang tidak semestinya untuk dirinya sendiri atau orang lain, sehingga orang tersebut menyalahgunakan pengaruhnya untuk menghasut. Sedangkan suap adalah menerima sesuatu atau janji dengan tujuan supaya pejabat publik tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya yang bertentangan dengan kewenangannya. Konsep trading of influence menjadi prioritas untuk diratifikasi oleh Indonesia sebagai wujud komitmen serius memberantas tindak pidana korupsi.
Dalam kasus Idrus, KPK menjeratnya dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncta Pasal 55 ayat (1) kel KUHP atau Pasal 56 ke-2 KUHP Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP. Hal ini karena menurut KPK, Idrus memiliki beberapa peran dalam suap PLTU Riau-1 ini. Diantaranya, Idrus menerima janji atau hadiah dari Johannes B. Kotjo; Idrus diduga mengetahui uang yang diterima Eni dari Johannes B. Kotjo; Idrus diduga berperan dalam mendorong penandatanganan PPA PLTU Riau-1; dan Idrus diduga akan menerima jatah USD 1,5 juta dari Johannes B. Kotjo. (Dewi/Adnan).