Satu Bebas, Satu Divonis 3 Tahun; Pejabat BPN yang Terlibat Kasus HGB Hotel Hilton

Akhirnya, ada yang dianggap bertanggung jawab dalam kasus dugaan korupsi perpanjangan Hak Guna Bangunan (HGB) Hotel Hilton. Setelah Ali Mazi dan Pontjo Sutowo diputus bebas, kemarin majelis hakim PN Jakarta Pusat menvonis mantan Kakanwil BPN DKI Jakarta Robert J. Lumampouw dengan hukuman tiga tahun penjara.

Meski sama-sama dituntut enam tahun pidana dan denda Rp 300 juta subsider enam bulan kurungan, nasib berbeda diterima mantan Kepala Kantor Pertanahan DKI Jakarta Ronny Kusuma Yudhistiro. Ronny justru dibebaskan dari semua tuduhan oleh majelis hakim yang dipimpin Andriani Nurdin.

Robert yang saat itu memakai seragam BPN dianggap memenuhi unsur menyalahgunakan kewenangan dengan cara tetap memperpanjang HGB Hotel Hilton, meski ada perintah dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) --tempat sertifikat HGB Hilton dijaminkan-- agar BPN minta izin Badan Pengelola Gelora Senayan (BPGS) cq Menteri Sekretaris Negara sebagai pemegang Hak Pengelolaan Lahan (HPL).

Namun, permintaan BPPN justru dibalas dengan surat bertanggal 20 Februari 2003 yang mengatakan HGB Hilton termasuk beberapa tanah yang sudah dilepaskan BPGS, kata hakim anggota Heru Purnomo.

Sebagai Kakanwil, tambah Heru, seharusnya Robert berkoordinasi dengan BPGS. Seharusnya terdakwa harus pahami secara komprehensif sejarah dan latar belakang pemberian HGB Hilton, ujar Heru.

Sebaliknya, meski dianggap tak profesional karena mengirimkan dua surat yang bertentangan, Ronny tetap diputus bebas. Kepada Robert, Ronny mengirimkan dua surat. Yang pertama berisi penegasan bahwa perpanjangan HGB harus seizin pemegang HPL, sedangkan yang satunya berisi persetujuan perpanjangan HGB hotel yang dikelola PT Indobuildco itu. Tapi persetujuan terdakwa II tak signifikan memutuskan perpanjangan HGB Hotel Hilton, tambah Heru.

Tepuk tangan pendukung Ronny langsung terdengar ketika mendengar putusan bebas. Sebaliknya, para pendukung Robert menumpahkan kekecewaannya dengan tangis. Kami menolak putusan hakim dan akan mengajukan banding, ujar kuasa hukum Robert, Ruhut Sitompul.

Ditemui seusai persidangan, Ruhut berpendapat kliennya dikorbankan dalam kasus tersebut. Di negara ini, selalu ada yang dikorbankan, ujarnya.

Pada bagian lain, Kejaksaan Agung (Kejagung) menilai aneh putusan PN Jakarta Pusat yang membebaskan Ronny dalam kasus Hilton. Sebab, putusan tersebut bertolak belakang dengan putusan tiga tahun yang dijatuhkan kepada Robert, apalagi bila dibandingkan dengan putusan terhadap Ali Mazi dan Pontjo Sutowo.

Ini memang aneh. Semua suatu konspirasi, sehingga bentuk perbuatan yang dilakukan beberapa orang, ternyata putusannya berbeda, kata Kapuspenkum Kejagung Salman Maryadi di gedung Kejagung, kemarin. (ein/agm)

Sumber: Jawa Pos, 28 Juni 2007
-----------
Robert Divonis 3 Tahun
Dalam Kasus Hilton, Ronny Diputus Bebas

Jakarta, Kompas - Mantan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional DKI Jakarta Robert J Lumempauw, Rabu (27/6), divonis tiga tahun penjara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Ia dinyatakan bersalah menyalahgunakan kewenangannya ketika memutuskan memperpanjang hak guna bangunan Hotel Hilton.

Robert pun menitikkan air mata mendengar vonis itu. Dia menjadi satu-satunya terdakwa yang dipersalahkan dalam kasus dugaan korupsi perpanjangan hak guna bangunan (HGB) Nomor 26 dan 27 Gelora atas nama PT Indobuildco, yang dipakai untuk Hotel Hilton, Jakarta.

Majelis hakim yang dipimpin Andriani Nurdin itu membebaskan terdakwa lain, mantan Kepala Kantor Pertanahan Jakarta Pusat Ronny Kusuma Judistiro. Sebelumnya, 12 Juni lalu, majelis hakim membebaskan Presiden Direktur PT Indobuildco Pontjo Sutowo dan Gubernur Sulawesi Tenggara non-aktif Ali Mazi.

Majelis hakim menilai Robert tak cermat, tak hati-hati, dan tak mencermati sejarah tanah serta mempelajari suasana kebatinan Surat Keputusan (SK) Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 169 Tahun 1989, yang memberikan hak pengelolaan lahan (HPL) kepada Sekretariat Negara. Tindakan Robert yang berkoordinasi dengan Badan Pengelola Gelora Senayan sebelum memperpanjang HGB Hotel Hilton juga disayangkan.

Terdakwa I (Robert) tak mencermati SK, bahkan menafsirkan sendiri sehingga istilah power tends to corrupt menjadi sempurna dengan perbuatan terdakwa. Majelis berpendapat, perbuatan itu memenuhi unsur menyalahgunakan kewenangan, ungkap anggota majelis, Heru Pramono.

Mengenai Ronny, majelis hakim berpendapat, perannya dalam pengambilan putusan memperpanjang HGB Hotel Hilton tak signifikan. Unsur penyalahgunaan wewenang tidak terpenuhi.

Majelis hakim juga mempertimbangkan fakta adanya rapat di Kanwil BPN DKI Jakarta, yang dihadiri antara lain oleh Robert dan Ronny. Dalam rapat itu, Robert memutuskan memperpanjang HGB Hotel Hilton dengan alasan keberadaan HGB lebih dahulu daripada HPL.

Langsung banding

Seusai sidang, Robert tak bersedia memberikan komentar terkait putusan itu. Ia hanya berkata, Masih ada upaya hukum lain. Masih ada banding.

Penasihat hukum Robert, Ruhut Sitompul, langsung mengajukan banding. Ia menilai kliennya dijadikan korban dalam perkara tersebut.

Sementara jaksa penuntut umum, Ali Mukartono, menyatakan masih pikir-pikir. Kejaksaan akan langsung menahan Robert setelah ada putusan hakim.

Namun, ia membantah, penahanan itu sebagai bentuk eksekusi. Penahanan dilakukan berdasar surat penetapan penahanan dari majelis hakim. Setelah mendengar amar putusan ini, kami minta surat penetapan penahanan dari hakim, ujarnya.

Sementara itu, Sekretaris Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman mengatakan, bisa saja kejaksaan mengajukan kasasi atas putusan terhadap Ronny. Sementara terhadap putusan atas Robert juga dapat diajukan banding. Sebelumnya jaksa menuntut enam tahun penjara terhadap keduanya.

Menindaklanjuti putusan itu, seusai sidang, Robert dibawa menggunakan mobil tahanan Kejaksaan ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, Jakarta. Ia masuk LP sekitar pukul 17.00.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Salman Maryadi menegaskan, jaksa berkeyakinan perpanjangan HGB Hotel Hilton adalah tindak pidana. (ana/idr)

Sumber: Kompas, 28 Juni 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan