seleksi hakim agung; Integritas Calon Masih Saja Jadi Persoalan...

Abunawas menjadi gila. Lebih tepatnya, ia pura-pura gila. Tingkah menggila itu ditunjukkan sejak ayahnya yang memangku jabatan penghulu atau kadi, semacam hakim agung, yang bernama Syeikh Maulana, meninggal dunia.

Raja Baghdad saat itu, Sultan Harun Al-Rasyid, ingin menunjuk Abunawas menggantikan ayahnya. Rupanya, Abunawas tidak bersedia memangku jabatan itu sehingga memilih dianggap gila oleh orang di sekitarnya.

Trik itu, seperti dikisahkan dalam buku Humor Sufi yang ditulis MB Rahimsyah AR, berhasil. Sultan Harun Al-Rasyid menunjuk orang lain sebagai kadi kerajaan.

Abunawas enggan menjadi hakim agung karena takut mengulang pengalaman ayahnya. Semasa menjadi kadi, Syekh Maulana mengaku sempat bertindak tidak bijaksana. Abunawas khawatir selama menjadi kadi ia tak bisa berlaku bijaksana. Ia khawatir tak mampu menjaga integritasnya.

Lain di Baghdad, lain pula di Jakarta. Di sini, hampir setiap hakim, juga yang bukan hakim, ingin menjadi hakim agung. Motivasinya beragam. Ada yang ingin mencapai puncak karier, ada yang sekadar diperintah atasan, ada pula yang benar-benar ingin mengabdikan diri. Ada yang baru pertama kali mengikuti seleksi, ada pula yang empat kali mengikuti seleksi.

Kondisi itu terungkap dalam uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) yang diadakan Komisi III DPR, Senin hingga Kamis (2-5/7). Uji kelayakan diikuti 18 calon.

Beragam pula persiapan yang dilakukan calon. M Zaharuddin Utama, Ketua Pengadilan Tinggi (PT) Manado, menyempatkan diri menyaksikan uji kelayakan dan kepatutan para calon lain selama dua hari berturut-turut. Ia tekun mencatat dan menyimak pertanyaan anggota DPR. Mohammad Saleh, Wakil Ketua PT Tanjung Karang, pun melakukan hal yang sama meski tidak setiap hari.

Saat keduanya menjalani uji kelayakan dan kepatutan, mereka lebih siap dibandingkan calon lain. Apalagi, beberapa anggota Komisi III DPR mengajukan pertanyaan yang serupa dan relatif sama.

Kemampuan teknis hukum calon memang memadai. Yang dipersoalkan justru integritas sebagian calon. Sepanjang uji kelayakan dan kepatutan di DPR, terungkap, sebagian calon mengaku menerima pemberian berupa uang terima kasih, gaji dari pemerintah daerah, atau pemberian dalam bentuk lain, seperti tanah dan fasilitas.

Abdul Wahid Oscar, hakim tinggi pengawas di Mahkamah Agung (MA), misalnya, mengaku menerima uang terima kasih. Mahdi Soroinda Nasution, hakim tinggi PT Bandung, menerima pemberian berupa tas dengan merek tertentu dari seorang notaris dan uang dollar Amerika Serikat (AS) yang nilainya dapat digunakan untuk mengongkosinya naik haji.

Lain lagi I Ketut Suradnya, Ketua PT Tata Usaha Negara Makassar. Dia menerima gaji dari pemerintah daerah setempat senilai Rp 6 juta per bulan. Zaharuddin pun menerima Rp 15 juta per bulan dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara.

Menurut keduanya, honor itu diberikan dalam kapasitasnya sebagai anggota musyawarah pimpinan daerah (muspida). Ketut mengaku sering dimintai pertimbangan atas kebijakan yang dikeluarkan pemerintah daerah.

Menurut Ketut, praktik semacam ini biasa. Hanya bentuknya yang berbeda. Di salah satu provinsi di Sumatera, honor diberikan tidak setiap bulan, tetapi tahunan senilai Rp 150 juta.

Sedangkan Khalilurrahman, Ketua Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Semarang, demi menjaga citra peradilan, menarik iuran dari hakim pengadilan agama di wilayahnya untuk membeli mobil dinasnya, yakni Toyota Camry. Baginya, mobil dapat menaikkan citra peradilan yang oleh banyak pihak kini dikatakan tengah terpuruk.

Kebetulan, mereka adalah calon hakim agung dari jalur karier. Mereka pun bersikukuh, pemberian-pemberian itu tidak mengurangi independensinya dalam menangani perkara. Ketut tetap mempersalahkan pemerintah daerah yang memberinya honor jika kebijakannya salah.

Menjadi permisif
Namun, pernyataannya itu diragukan Ketua Komisi Yudisial (KY) Busyro Muqoddas. Busyro menuturkan, uang terima kasih hanya awal. Orang yang terbiasa menerima uang terima kasih lama-kelamaan akan mengharapkan pemberian uang itu. Ketika bekerja menjadi tidak tulus lagi, katanya.

Lalu, apakah penerimaan uang terima kasih atau semacamnya itu umum di kalangan hakim?

Dalam Kode Etik Hakim yang disahkan MA akhir 2006, pimpinan peradilan tertinggi masih menoleransi pemberian asalkan tidak lebih dari Rp 500.000. Jika ditinjau dari segala keadaan, pemberian sebesar itu tidak untuk memengaruhi hakim dalam menjalankan tugasnya.

Soal honor dari pemerintah daerah, Kode Etik Hakim tidak menyebutkan spesifik. Namun, dalam rancangan kode etik dinyatakan, idealnya hakim tidak menerima sesuatu keuntungan dari pihak mana pun, termasuk pemerintah daerah. Sayang, rancangan itu tak diwujudkan. Sebagai jalan tengah, MA membolehkan penerimaan semacam itu asalkan pemberian itu berasal dari APBD. Pemberian yang bukan dari APBD wajib ditolak.

Dari kondisi ini, tidak mengherankan jika akhirnya hakim bersikap permisif. Tidak ada garis kebijakan yang tegas dari pimpinan lembaga peradilan.

Namun, benarkah semua hakim permisif? Menurut Mukhtar Zamzami, Ketua PTA Pekanbaru, ia tak menerima pemberian semacam itu, termasuk uang terima kasih. Saya tak berani mengatakan itu hadiah murni. Pemberian itu ada sangkut pautnya dengan kewenangan yang dijalankan hakim meski diberikan setelah perkara selesai diputus dan yang bersangkutan mengaku ikhlas, ujarnya.

KY dikritisi
Praktisi hukum Todung Mulya Lubis memprihatinkan kondisi permisif di kalangan hakim itu. Karena itu, ia tegas meminta mereka dicoret dari daftar calon hakim agung. Komisi III DPR tak perlu memaksakan diri memilih calon sesuai kuota.

Jika memang ada indikasi integritas calon tidak memadai, ya Komisi III mesti menolaknya. Jangan mengejar target mendapatkan sesuai jumlah yang dibutuhkan MA, ujar dia.

KY sebagai penyeleksi awal calon hakim agung juga dikritisi. Direktur Indonesia Court Monitoring (ICM) Denny Indrayana melihat kesalahan terletak pada metode dan pola yang dikembangkan KY dalam mewawancarai calon hakim agung yang tidak mampu mengungkap sisi integritas calon.

Saya khawatir, lolosnya calon hakim agung yang menikmati uang terima kasih itu karena tidak dianggap bermasalah oleh beberapa komisioner KY. Artinya, integritas KY juga harus diperbaiki, ujar Denny.

Ketua Harian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Hasril Hertanto juga menilai, hasil investigasi KY belum optimal. Investigasi yang dilakukan hanya menghasilkan informasi yang prematur dan saat dikonfirmasi tidak berbunyi apa-apa.

Mulya Lubis menengarai, minimnya partisipasi publik menjadi salah satu penyebab KY dan Komisi III DPR dinilai gagal menjaring informasi yang lebih banyak terkait calon.

Ia juga mengkritisi Komisi III DPR yang tidak maksimal mengupayakan partisipasi publik. Seharusnya, anggota DPR tidak hanya mendengarkan uraian calon, tetapi juga mengecek uraian itu melalui verifikasi dengan masyarakat.

Ini diperparah dengan tidak adanya database hakim, baik yang seharusnya dimiliki KY maupun lembaga pemantau peradilan. Tanpa itu, jadinya kita kecolongan, ujar Mulya Lubis.

Namun, apa pun alasannya, berbagai pihak sepakat, sistem seleksi harus diperbaiki. Apalagi, tahun 2008, sekitar 10 hakim agung, termasuk Ketua MA Bagir Manan, memasuki masa pensiun. Dibutuhkan calon yang lebih baik. (Susana Rita)

Sumber: Kompas, 6 Juli 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan