Setahun KY, Revitalisasi Kewenangan

Hari jadi Komisi Yudisial Rabu (2/8) mendatang menjadi momentum untuk merevitalisasi kewenangan lembaga tersebut. Kewenangan yang tertuang dalam UU No 22 Tahun 2004 dianggap belum cukup. Apalagi, setelah muncul resistensi Mahkamah Agung.

Spirit pembentukan KY adalah untuk mengatasi mafia peradilan yang telanjur mengakar dalam lembaga peradilan di Indonesia. Seharusnya, kewenangan KY dikembalikan pada spirit tersebut, kata Ketua KY Busyro Muqodas kemarin.

Mantan dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia tersebut menganggap bahwa kewenangan KY merupakan masalah terpenting yang dihadapi sekarang. Apalagi, 31 hakim agung menuntut uji materiil terhadap wewenang KY dalam pengawasan hakim.

Dia menyayangkan karena pemerintah dan DPR tidak merespons. Pada awal pembentukan, presiden memang terkesan mendukung. Tapi akhir-akhir ini, masyarakat bisa melihat sendiri, presiden terkesan setengah-setengah untuk memberantas mafia peradilan, tambahnya.

Masyarakat masih mempertanyakan kinerja KY dalam mengawasi hakim. Apalagi, kenyataannya beberapa rekomendasi KY kepada Mahkamah Agung tidak direspons secara baik. Satu-satunya rekomendasi KY yang diterima adalah soal seleksi hakim agung. MA masih menerapkan kultur lama, yakni the untouchable iudiciary. Karena itu, mereka resisten terhadap rekomendasi yang mengancam eksistensi mereka, jelasnya.

Untuk memperluas kewenangannya, KY tetap akan mengajukan amandemen UU No 22 Tahun 2004 tentang KY di samping UU No 4 Tahun 2004 tentang MA ke DPR. KY merupakan lembaga yang memegang amanat reformasi. Jika berhasil mengembalikan KY pada spirit awal, itu juga prestasi untuk DPR, tambahnya.

Revitalisasi kewenangan KY juga dianggap penting oleh pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada, Denny Indrayana. Dia menyatakan, semangat untuk memberantas mafia peradilan yang dibebankan pada KY harus diimbangi pemberian kewenangan yang lebih besar.

KY memang tidak boleh mengintervensi independensi peradilan. Tapi, mestinya KY diberi kewenangan lebih luas dalam administrasi lembaga peradilan, seperti menentukan mutasi dan promosi hakim, ungkapnya.

Sebelumnya, wewenang administrasi dipegang Departemen Kehakiman. Namun, dengan dalih membebaskan MA dari pengaruh eksekutif, kewenangan tersebut dipegang MA. Dengan kekuasaan yang berlebih itu, MA justru menjadi tiran yudikatif. tandasnya.

Anggota Komisi III DPR Gayus T. Lumbun menilai, kinerja KY setahun ini dapat dikatakan baik. Namun, KY masih bias dalam menginterpretasi kewenangan yang dimiliki. Mereka justru sering menabrak prinsip independensi peradilan dengan mengintervensi proses peradilan.(ein)

Sumber: Jawa Pos, 31Juli 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan