Setelah Perjanjian Ekstradisi Diteken

Perjanjian ekstradisi antara Singapura dan Indonesia yang diteken di Istana Tampak Siring, Bali, Jumat lalu, memungkinkan Singapura berkewajiban mengembalikan pelaku kejahatan di Indonesia, termasuk koruptor yang lari dan berlindung di sana. Sebaliknya, tidak mustahil sebelum perjanjian itu diratifikasi kedua negara, kawanan koruptor yang dimaksud hengkang ke negeri lain. Mungkin ke Cayman Island, yang tersohor sebagai surga money laundering.

Kemungkinan kabur itu sangat kuat mengingat perjanjian berlaku surut 15 tahun, yang berarti sejak 1992. Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang terjadi pada 1997-1998 sudah pasti bisa terjaring. Jika para pelakunya berdiam di Singapura, kini mereka bisa disentuh perjanjian ekstradisi itu. Tapi apakah mereka menunggu ditangkap dan dipulangkan tanpa berpikir hengkang ke negara lain yang lebih aman?

Maria Pauline Lumowa, mantan orang kita, warga negara Belanda, dan pernah disebut-sebut berada di Singapura, rasanya lebih memilih kembali ke Belanda, negara barunya, dan bukan ke Manado di Sulawesi Utara sana. Maria beruntung tidak ikut diadili dalam kasus L/C fiktif Bank Negara Indonesia senilai Rp 1,7 triliun seperti rekannya, Adrian Herling Waworuntu, beberapa karyawan BNI, serta Komisaris Jenderal (Purnawirawan) Suyitno Landung. Adapun pelaku baru yang terjaring setelah perjanjian ekstradisi itu tidak pula bodoh lari ke Singapura.

Mestinya, Indonesia tidak hanya bergantung pada perjanjian ekstradisi itu, tapi berupaya bagaimana caranya agar para koruptor tidak dengan mudah melarikan diri dari Indonesia. Intel dan polisi kita tentu saja harus bermata elang sehingga dapat mencegah pelarian itu. Ini masalah domestik, bukan tanggung jawab Singapura.

Penelitian Merryl Linch pernah menunjukkan bahwa 18 ribu dari 55 ribu orang kaya di Singapura adalah orang Indonesia. Total aset mereka Rp 506,8 triliun (versi lain Rp 783 triliun). Padahal anggaran pendapatan dan belanja negara kita saja hanya bernilai Rp 763 triliun. Meskipun Indonesia dalam kasus L/C BNI pernah meminta Singapura membuka 14 rekening bank di sana, negara pulau itu bergeming.

Walaupun Singapura bisa terlihat dengan mata telanjang dari Pulau Batam, polisi kita tak bisa langsung menggerebek uang hasil korupsi itu. Hukum internasional bersabda bahwa satu negara tak bisa memaksa negara lain jika belum terikat perjanjian. Meski lambang negara kita, burung garuda yang perkasa, tidak bisa sembarangan menekan-nekan Singapura. Semut pun melawan, dan Singapura, namanya saja sudah singa, jelas lebih perkasa daripada semut.

Pedagang dari Venesia
Indonesia patut meradang. Syahdan, Indonesia menjadi miskin, antara lain karena korupsi merajalela. Tapi ada negara yang menjadi kaya, antara lain karena uang hasil korupsi dari negara lain masuk ke negara mereka. Termasuk Singapura? Tentu saja tidak sesumir itu.

Singapura sudah menjadi pusat perekonomian sejak Traktat London pada 1824. Singapura strategis karena menghubungkan Timur dan Barat serta Utara dan Selatan. Inggris pintar bisa kebagian Singapura, sedangkan Belanda kecipratan Bengkulu. Sekiranya isi Traktat London dibalik, jangan-jangan wilayah Singapura menjadi wilayah RI yang kita rebut dari Belanda setelah kemerdekaan.

Tapi sejak itu Singapura menjadi sentral di Asia. Posisinya sebagai pelabuhan transshipment membuat negara itu bisa mereekspor komoditas ekspor Indonesia ke Eropa dan Amerika Serikat. Luar biasa, negara yang tak punya hutan itu bisa mengekspor log ke belahan dunia lain. Bahkan jins buatan Ajo Sukaramai di Medan, yang diekspor ke Singapura, kembali lagi ke Indonesia dengan label Made in AS, bukan Ajo Sukaramai, melainkan Amerika Serikat.

Singapura, bukan small is beautiful, melainkan small is power. Niat kita membangun Batam sejak masa B.J. Habibie agar bisa menyaingi Singapura hingga kini tak kesampaian. Kita malah meningkatkan kerja sama dengan Singapura membangun Kawasan Ekonomi Khusus Batam, Bintan, dan Karimun. Maksudnya, win-win solution. Bukan head to head. Singapura sudah pasti ogah jika win untuk mereka lebih kecil dibanding kita. Kini memang zaman share, tapi tak berarti kompetisi lenyap.

Hal lainnya, korupsi marak di Indonesia, tapi tidak di Singapura. Tentu saja korupsi adalah masalah domestik. Dalam kasus L/C BNI, terbukti orang dalam ikut bermain. Sampai-sampai dananya mengalir ke 89 rekening dalam negeri dan 15 rekening di Singapura. Idem ditto dengan pengemplang BLBI yang lolos ke negara lain, yang membuktikan pengawasan lemah. Jangan negeri orang disalah-salahkan melulu.

Harap dicatat bahwa antara uang haram dan halal secara material sama saja sebagai alat tukar yang berfungsi netral, bebas nilai. Singapura pun tidak mungkin bangkrut jika investasi orang Indonesia, yang kata Menteri Senior Lee Kuan Yeuw, hanya 3 persen dari investasi berbagai negara di sana, kembali ke Indonesia setelah perjanjian bilateral itu.

Lagi pula yang dipulangkan adalah pelaku pidananya. Bukan investasi mereka di Singapura yang sejak awal sudah memenuhi prosedur hukum di negara itu. Bahkan Lee memastikan tidak akan ada penarikan dana besar-besaran oleh investor Indonesia ke luar Singapura. Yang penting bagi kita adalah mengadili orangnya seraya mengembalikan uang negara yang pernah dikorup, tanpa harus mematikan bisnis mereka di Singapura.

Jika penetrasi bisnis Singapura sudah merasuk ke Indonesia, seperti yang dilakukan Grup Temasek di Indosat dan Danamon, bisnis orang kita di sana sebetulnya sudah merupakan awal yang baik. Misalnya, Agus Anwar, yang tersangkut BLBI senilai Rp 1,9 triliun, telah membeli saham-saham Keppel Telecommunication dan Singapura Petroleum senilai Rp 1,5 triliun.

Jangan sampai Indonesia salah bidik dalam mencapai target seperti kisah Pedagang dari Venesia karya Shakespeare itu. Ia berkisah tentang seorang Yahudi bernama Shylock yang menipu Antonio dengan perjanjian unik. Antonio boleh mengambil satu pon daging Shyloc tapi tanpa setetes darah pun. Jelas saja mustahil bisa dieksekusi. Siapa tahu kiat Shyloc itu diamalkan oleh Singapura, bukan?

Bersihar Lubis, Penulis, Tinggal Di Depok

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 1 Mei 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan