Sidang Pra Peradilan; Soeharto Diperiksa Dokter Kandungan

Sidang ketiga gugatan praperadilan penerbitan SKPP (surat ketetapan penghentian penuntutan) kasus korupsi mantan Presiden H M. Soeharto dilaksanakan kemarin. Tim pengacara pemohon dari APHI (Asosiasi Penasihat Hukum dan HAM Indonesia) mengungkapkan sejumlah fakta kejanggalan pengobatan Pak Harto.

Menurut Dorma Siagian, salah seorang pengacara APHI, penunjukan tim dokter RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) yang mendiagnosis kelainan jantung Pak Harto tidak sesuai dengan keahliannya. Tim dokter tersebut diketuai oleh dokter kebidanan dan kandungan.

Ini jelas menimbulkan tanda tanya. Yang diperiksa dari Soeharto itu otak dan jantungnya atau menyangkut kesuburan dan kebidanannya? sindir Dorma yang disambut gerr pengunjung sidang. Dokter yang dimaksud Dorma adalah dr Irhamsyah A. Rachman SpOG KFEK, ketua tim dokter yang mengobati Soeharto pada 27 Agustus 2001.

Dalam repliknya (tanggapan pemohon praperadilan atas tanggapan termohon/kejaksaan), APHI juga mengungkapkan bahwa tim dokter yang dipimpin Irhamsyah itu hanya satu kali mengobati Pak Harto. Begitu juga tim dokter independen yang diketuai Prof Dr Akmal Taher SpU, cuma mendiagnosis sakit Pak Harto pada 4 Juni 2002 dan 15 Juli 2002.

Dorma menyatakan, SKPP Pak Harto harus dicabut karena prematur dan cacat hukum. Sebab, SKPP itu tidak sesuai dengan pasal 140 ayat 2 huruf a KUHAP. Di dalamnya dinyatakan bahwa perkara dapat dihentikan penuntutannya jika tidak terdapat cukup bukti, bukan tindak pidana, dan perkara ditutup demi hukum.

Selain itu, dia menjelaskan, SKPP Pak Harto menyalahi pasal 4 Tap MPR Nomor XI/1998. Itu merupakan bukti diskriminasi dalam pengadilan korupsi atas penguasa Orde Baru tersebut.

Dorma lantas mencontohkan sejumlah kasus lain yang terdakwanya sakit tetapi tetap diajukan ke persidangan. Misalnya, Abu Bakar Ba`asyir (kasus terorisme) dan Mokhtar S. Pakpahan (kasus perburuhan). Atas sejumlah fakta tersebut, kami minta hakim tunggal yang memimpin sidang itu menolak jawaban termohon/kejaksaan dan mengabulkan permohonan praperadilan SKPP Soeharto dengan menyatakan SKPP itu tidak sah, tegas Dorma.

Dia menyatakan Kejagung tidak serius mengobati penyakit Pak Harto yang disebut mengidap brain-damage (kerusakan otak permanen). Padahal, sesuai dengan surat edaran MA (Mahkamah Agung) No 1856/SAH/PIB/2000 tertanggal 2 Februari 2001, Kejagung harus menyembuhkan Soeharto sebelum dibawa ke sidang.

Ketua PN Jaksel Andi Samsan Nganro yang bertindak sebagai hakim tunggal dalam sidang praperadilan SKPP Soeharto itu menunda sidang hingga hari ini. Agendanya pembacaan duplik (tanggapan replik) dari pihak termohon kejaksaan.

Sementara itu, menjelang peringatan ulang tahun ke-85 Pak Harto pada 8 Juni, kemarin digelar unjuk rasa di pintu masuk gedung Kejagung. Namun, aksi puluhan aktivis dari Gerakan Masyarakat Adili Soeharto (Gemas) itu akhirnya dibubarkan polisi karena melebihi pukul 18.00 sebagaimana pemberitahuan unjuk rasa.

Pembubaran berlangsung panas. Puluhan polisi menggunakan pentungan agar pengunjuk rasa tidak menginap di gedung Kejagung. Akibatnya, sebagian pengunjuk rasa berdarah. Aksi penyalaan 85 lilin dan pembakaran foto Pak Harto pun gagal.

Massa Gemas merupakan gabungan sejumlah aktivis LSM, mulai aktivis 1998, Famred, Univ Trisakti, Univ Mercu Buana, dan UI. Mereka sejak pukul 10.00 sudah mendirikan tenda, lalu berorasi menentang penerbitan SKPP yang dikeluarkan Kejagung. Tak ada satu pun pejabat Kejagung yang menerima wakil pengunjuk rasa. (agm)

Sumber: Jawa Pos, 8 Juni 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan