Sindrom Tukul di DPR
Kembali ke laptop. Kalimat itu begitu akrab di telinga kita belakangan ini. Siapa lagi kalau bukan pelawak Tukul Arwana yang memopulerkannya. Melalui acara Empat Mata yang berdurasi satu setengah jam itu, entah berapa puluh kali kalimat tersebut diucapkannya.
Kehadiran Tukul dengan laptopnya dalam acara Empat Mata tersebut tenyata membawa kesan tersendiri bagi masyarakat. Hal itu dapat dibuktikan dengan banyaknya masyarakat yang menggandrungi acara tersebut. Mulai anak-anak hingga orang dewasa. Kalangan awam hingga pejabat pemerintah. Semuanya terserang demam Empat Mata. Bahkan, menurut beberapa sumber terakhir, saat ini sindrom Tukul telah merambah ke wilayah DPR.
Ternyata, anggota DPR kita juga ingin seperti Tukul. Yakni, bekerja dengan laptop di depannya. Politisi kita juga masih seperti anak kecil. Mereka mudah tergiur saat melihat mainan temannya. Tak peduli apakah mainan itu mahal atau tidak, bermanfaat atau tidak, bisa mengoperasikannya atau tidak, yang terpenting baginya adalah bisa segera memilikinya.
Kalaupun nanti tidak bisa mengoperasikannya, kan mereka bisa belajar di kemudian hari. Adanya putusan pengadaan laptop bagi setiap anggota DPR yang santer terdengar akhir-akhir ini dapat dijadikan bukti uraian di atas.
Tak pelak, adanya putusan tersebut menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Di antara kalangan yang setuju dengan putusan itu adalah Ketua Fraksi Partai Golkar Andi Matalatta. Selain itu, diperkuat Ketua DPR Agung Laksono yang juga sebagai wakil ketua umum Partai Golkar.
Menurut mereka, pengadaan laptop tersebut sangat relevan bagi anggota dewan. Sebab, penguatan perangkat teknologi, semacam laptop, dapat menunjang kualitas kinerja para anggota dewan. Karena pada dasarnya, mereka bekerja dengan otak, bukan otot (Jawa Pos, 25/03/2007).
Di sisi lain, kalangan yang kontra juga tidak kalah kuat. Di antaranya, Sekjen PDIP Pramono Anung menilai kinerja anggota DPR tidak dapat diukur dari kepemilikan sebuah laptop. Bahkan, pengadaan laptop tersebut, menurut dia, dirasa belum begitu urgent mengingat fasilitas komputer yang tersedia di setiap ruang anggota DPR sudah mencukupi.
Pro dan kontra di atas semakin menghangat ketika dibenturkan dengan kondisi riil yang terjadi di masyarakat saat ini. Bagaimana tidak, untuk pembelian sebuah laptop, pemerintah harus menganggarkan Rp 22 juta. Berarti, untuk membeli 550 unit laptop, total uang negara yang akan dihabiskan mencapai Rp 12,1 miliar.
Melihat demikian besar uang rakyat yang dikeruk untuk kepentingan itu, anggota dewan terkesan tidak mau berhemat. Padahal, jika mau jujur, saat ini masih banyak hal yang lebih mendesak untuk segera diselesaikan daripada sekadar pengadaan laptop.
Arbi Sanit, pengamat politik dari Universitas Indonesia, mengatakan, alangkah lebih baik kalau anggaran sebesar itu digunakan untuk keperluan pendidikan. Misalnya, anggaran tersebut dipakai untuk membangun sekolah, sudah berapa sekolah yang bisa dibangun. Bagaimana mungkin DPR membeli laptop, sedangkan rakyat masih kelaparan (Kompas, 24/03/2007).
Kebijakan yang Tak Bijak
Di tengah kemelut bangsa yang tidak kunjung reda, kebijakan itu dinilai sangat idak realistis oleh banyak kalangan. Sederet musibah belum teratasi. Di tengah berbagai bencana yang melanda, ditambah lagi kemiskinan yang tidak kunjung usai, anggota DPR justru sibuk mengurus kepentingan individu.
Dalam konteks ini, semestinya mereka lebih bisa berpikir bijak dalam menentukan kebijakan. Karena sejauh ini, kebijakan pemerintah sering hanya menguntungkan segelintir kalangan dan kurang memihak kepentingan rakyat pada umumnya.
Kita lihat saja bagaimana perjuangan penduduk Sidoarjo yang sampai detik ini belum mendapatkan hak ganti rugi atas tanah yang mereka ajukan kepada Lapindo. Padahal, berbagai macam cara sudah mereka lakukan. Mulai berunjuk rasa sampai cap jempol darah. Semua itu mereka lakukan hanya untuk mendapatkan hak. Itu adalah salah satu contoh dari ketidakbijakan pemerintah kita.
Karena itu, dengan mengaca pada realita yang ada, pemerintah diharapkan untuk meninjau ulang keputusan tersebut. Sebab, jika itu terjadi, rakyat akan semakin terluka. Sebagai wakil rakyat, pemerintah seharusnya dapat memberikan sumbangan yang praktis bagi rakyat. Tidak selayaknya wakil rakyat membuat kebijakan yang justru memberatkan rakyat kecil dengan ego pribadi yang kurang membawa manfaat secara langsung bagi kesejahteraan rakyat. Jika sekali saja pemerintah membuat kebijakan yang salah, akibatnya akan fatal. Rakyat tidak akan pernah lagi percaya kepada pemerintah.
Namun, DPR -seperti biasanya- mustahil akan mengurungkan niatnya walau berbagai kecaman muncul begitu deras. Sekarang tinggal kita lihat, apakah benar kinerja DPR ketika melakukan sidang di layar TV akan menyaingi Tukul seperti dalam tayangan Empat Mata tersebut atau malah di bawahnya.
Apakah anggota DPR akan bisa seperti Tukul yang kehadirannya selalu dirindukan penggemar setiap hari atau malah sebaliknya. Kita semua yang akan melihat. Sebab, saat ini rakyat tidak butuh janji, tetapi bukti.
M. Husnaini, mahasiswa Fakultas Tarbiyah, IAIN Sunan Ampel Surabaya
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 27 Maret 2007