Soeharto dan Soekarno dalam Tap MPR/S

Status hukum mantan Presiden Soeharto diperbincangkan kembali karena pemeriksaan terhadapnya mengalami kemacetan maupun karena permintaan agar pemerintah mengambil langkah untuk itu. Perbincangan juga dikaitkan dengan kejelasan (atau ketakjelasan) produk MPR selama ini (Kompas, 5/12/2005).

Pemeriksaan terhadap Soeharto memang dikaitkan dengan Ketetapan MPR No XI/1998 yang mengharuskan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) secara tegas, termasuk kepada mantan Presiden Soeharto.

Partai Golkar menggulirkan pendapat bahwa Ketetapan MPR tersebut bisa dianggap tak berlaku lagi karena sudah ada undang-undang yang dinilai merujuk perintah Ketetapan MPR tersebut. Pengacara Soeharto menilai bahwa Ketetapan MPR tersebut terlalu berlebihan karena landasan hukumnya tidak ada dan terlalu politis. Pemerintah bahkan diminta untuk mengambil langkah politis tak jelas apa maksudnya. Namun menarik bahwa permintaan ini juga dikaitkan dengan sikap Soeharto terhadap (almarhum) mantan Presiden Soekarno.

Stigma dua presiden
Ketetapan MPR No XI/1998 (tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN) dihasilkan dalam Sidang Istimewa MPR bulan November 1998. Waktu itu BJ Habibie membutuhkan legitimasi politik dalam melanjutkan pemerintahan, 21 Mei 1998, yang ditinggalkan oleh Presiden Soeharto setelah desakan gerakan reformasi tak terbendung. SI MPR 1998 menambah legitimasi politik Habibie, sekaligus menjadikan pemerintahannya bersifat sementara. Menurut legitimasi konstitusional Habibie dapat menjabat hingga 2003, namun ia harus berkompromi untuk mempercepat pemilu pada tahun 1999 (Ketetapan MPR No XIV/1998).

Kompromi tak terelakkan karena muncul penolakan yang kuat terhadap SI MPR 1998. Para penentang SI MPR 1998 menginginkan Habibie turun jabatan, untuk digantikan oleh presidium pemerintahan transisi yang terutama akan diisi oleh kelompok Ciganjur empat (Megawati Soekarnoputri, Hamengku Buwono X, Amien Rais, dan Abdurrahman Wahid). Langkah terakhir tak terwujud karena tercapai kompromi di atas. Selain itu, Ketetapan MPR No XI/1998 mencantumkan nama mantan Presiden Soeharto dalam target pemberantasan KKN.

Nasib Soeharto tampak serupa dengan Soekarno. Regalia Bung Karno sebagai Pemimpin Besar Revolusi dikikis, pengangkatannya sebagai presiden seumur hidup dibatalkan dengan permohonan maaf (Ketetapan MPRS No XVIII/1966), dan akan didesak untuk didampingi Wakil Presiden (Ketetapan MPRS No XV/1966). Ketika kekuasaan Bung Karno dilucuti dan Pengemban Supersemar Letjen Soeharto ditunjuk sebagai pejabat presiden, persoalan menjadi lain.

Pasal 6 Ketetapan MPRS No XXXIII/1967 (Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno) menyatakan bahwa ... penyelesaian persoalan hukum selanjutnya yang menyangkut Dr Ir Soekarno dilakukan menurut ketentuan-ketentuan hukum dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan, dan menyerahkan pelaksanaannya kepada Pejabat Presiden. Karena tak ada proses peradilan sampai ia meninggal, Soekarno tak memperoleh amnesti maupun abolisi. Keluarga Soekarno pun menginginkan pencabutan Ketetapan MPRS No XXXIII/1967, tetapi gagal meraihnya dalam Sidang MPR 2003. Penulis berpendapat bahwa Ketetapan MPRS No XXXIII/1967 bersifat einmalig dalam hal pencabutan kekuasaan presiden dan Pasal 6-nya tak berlaku karena Soekarno telah meninggal (Newsletter Komisi Hukum Nasional, edisi Juli-Agustus 2003). Tampak bahwa Soekarno dan Soeharto menyandang stigma historikal yang dilekatkan oleh para politisi di MPR/S.

Amnesti dan abolisi
Ketetapan MPR No XI/1998 merupakan haluan negara untuk menanggapi tuntutan reformasi untuk menyelenggarakan secara bersih. Pasal 4 pun menegaskan bahwa ”Upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapa pun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat, termasuk mantan Presiden Soeharto, dengan tetap memerhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan