Stiglitz dan Privatisasi

Sebagai pengagum Joseph Stiglitz, saya tergolong beruntung karena berhasil bertemu, berdiskusi, dan berdebat secara langsung dengan sang pemenang Nobel bidang ekonomi tahun 2001 dalam pelbagai kesempatan. Dalam kesempatan makan pagi sebelum Pak Stiglitz memberikan public lecture di Jakarta pada Selasa (14/12) lalu, saya mengajukan pertanyaan tentang pandangan Stiglitz mengenai privatisasi (dan pasar) yang menurut saya ditangkap tidak komplet dan tidak benar oleh banyak kalangan di Indonesia, termasuk kutipan hakim majelis konstitusi dalam memutuskan pembatalan UU Nomor 20/2002.

Kerangka pikir yang digunakan Stiglitz tetap menggunakan kerangka keseimbangan umum dan teori kesejahteraan (welfare theorem). Teorema ini menunjukkan bahwa every competitive equilibrium is efficient and pareto optimum (setiap keseimbangan kompetitif adalah efisien dan pareto optimum). Jadi secara umum dipercaya bahwa harga dan output hasil keseimbangan permintaan dan penawaran (mekanisme pasar) adalah harga dan output yang optimum.

Namun, Stiglitz menunjukkan pula dalam pelbagai artikelnya, baik ditulis sendiri maupun bersama penulis lain, ketidaksempurnaan informasi akan menyebabkan keseimbangan kompetitif tidak selamanya efisien (dan pareto optimum). Temuan dan argumentasi Stiglitz inilah yang kemudian menjadikan beliau dianugerahi Nobel. Implikasi selanjutnya adalah intervensi pemerintah dapat dibenarkan dengan tujuan untuk memfasilitasi--bukan menggantikan--mekanisme pasar.

Implikasi temuan dari Stiglitz bukanlah hal yang baru. Sejarah ekonomi telah menunjukkan jauh sebelumnya terdapat dua mazhab yang berkembang dalam intervensi pemerintah tersebut. Pertama, intervensi dalam bentuk pemilikan negara (BUMN). Dengan asumsi BUMN dapat beroperasi seefisien perusahaan swasta, dengan tujuan berbeda BUMN dapat beroperasi pada harga sama dengan biaya rata-rata atau marginal jangka panjang dengan output lebih baik dari hasil mekanisme pasar (private monopoly). Mazhab ini dianut oleh negara Eropa dan sebagian besar negara berkembang.

Kedua, intervensi dengan regulasi. Mekanisme pasar dapat diintervensi dengan regulasi dengan mengenakan pajak atau subsidi. Pola ini digunakan oleh Amerika Serikat.

Dalam perjalanannya, dinamika intervensi pemerintah pun berubah. Perubahan teknologi, misalnya, telah mengubah struktur industri telekomunikasi dan listrik, dan ukuran ekonomi industri mengalami penurunan secara signifikan, sehingga pembenaran monopoli alamiah tidak berlaku lagi. Serupa pula dengan persoalan kemungkinan kegagalan pemerintah yang kemungkinan dampak (negatif)-nya lebih besar dibandingkan dengan kegagalan mekanisme pasar. Dua alasan tersebutlah yang mendasari mengapa terjadi gelombang privatisasi dan deregulasi sejak awal 1980-an.

Dalam percakapan makan pagi tersebut, Stiglitz mengakui, privatisasi secara umum baik, tapi ia mengingatkan tiga hal yang harus dilihat dalam memutuskan proses privatisasi.

Pertama, privatisasi jangan dilihat sebagai dogma atau ideologi. Sejauh mekanisme pasar bekerja dengan baik, untuk mencegah konflik kepentingan, kegiatan bisnis tersebut seharusnya diserahkan kepada swasta. Tapi masih banyak kegiatan yang masih memerlukan peran pemerintah, yaitu dalam kasus missing market (pelayanan jasa publik di daerah terisolasi), kegiatan yang mengandung eksternalitas atau spillover yang besar, dan pelbagai kegiatan strategis lainnya.

Tentunya kita setuju dengan pandangan ini, tapi definisi strategis di kepala Stiglitz dengan kenyataan di Indonesia dan/atau kepala para penentang privatisasi tentu berbeda. Hanya kita yang bisa mendefinisikan ini dengan kriteria yang obyektif, terutama mengingat operasi BUMN pun dalam kegiatan strategis ini dalam keadaan bad governance lebih menimbulkan beban ketimbang manfaatnya. Mungkin yang paling baik perlu dilakukan analisis biaya manfaat untuk menentukan keputusan ini.

Kedua, Stiglitz menekankan perlunya membangun pasar ketimbang memprivatisasi BUMN. Membangun pasar berarti mendorong kompetisi. Untuk pasar teregulasi (regulated market), membangun perangkat kelembagaannya menjadi prasyarat sebelum melakukan privatisasi. Kita pun setuju dengan pandangan ini dengan melihat contoh pasar telekomunikasi, yang pasarnya secara relatif kurang berkembang--dibandingkan dengan pengalaman negara lain--karena kita melakukan privatisasi dulu (dengan menjual saham PT Telkom dan PT Indosat) sebelum membuka pasar.

Di negara lain, justru pasarnya yang dibuka untuk menambah pelaku ekonomi dan mendorong kompetisi dan perbaikan efisiensi dan kemudian melakukan privatisasi. Hasilnya, bukan hanya efisiensi pasar tercapai, pendapatan negara melalui pajak dan net proceed dari privatisasi akan lebih besar.

Argumen Stiglitz ini didorong dengan kenyataan empiris bahwa privatisasi akan diikuti dengan pemutusan hubungan kerja (PHK) pada awal proses, walaupun dalam jangka menengah penyerapan tenaga kerja cenderung meningkat. Stiglitz berpendapat, jika efisiensi dalam kegiatan produksi diikuti dengan peningkatan pengangguran (akibat PHK), hasilnya bukan merupakan efficient outcomes walaupun sifatnya temporer.

Ia menganggap bahwa lebih baik--least cost--membiarkan BUMN beroperasi dan bersaing dengan perusahaan baru walaupun kemudian BUMN tersebut harus tutup karena biaya penyesuaiannya jauh lebih rendah. Penjelasannya sederhana. Ketika perusahaan baru masuk, tentunya akan menyerap tenaga kerja secara bertahap sesuai dengan perkembangan pasar. Kalaupun nantinya BUMN akan bangkrut, sebagian akan dapat diserap oleh perusahaan-perusahaan baru sehingga net effect terhadap employment cenderung tetap positif sepanjang waktu.

Untuk catatan kedua dari Stiglitz ini pun, saya kira kita setuju secara garis besar mengingat sebagian motif penjualan BUMN untuk menutupi defisit anggaran di mana privatisasi merupakan the least cost option dibandingkan dengan menambah utang baru atau mencetak uang.

Catatan ketiga dari Stiglitz adalah proses dari privatisasi. Stiglitz mengingatkan, apa pun hasil dari privatisasi, secara politik privatisasi merupakan tindakan tidak populer. Memastikan proses ini dijalankan menjadi sangat penting agar tekanan politiknya dapat dikurangi.

Ia memberikan contoh privatisasi di Rusia. Kita pun tidak kurang dengan contohnya. Di masa lalu, deregulasi dan privatisasi dipakai untuk memberikan jalan kepada pengambil rente seperti keluarga Soeharto atau keluarga pejabat lainnya. Hasilnya hanya pengalihan rente dari birokrat dan BUMN kepada keluarga pejabat pemerintah. Dalam masa pasca-Soeharto, prakteknya tidak berbeda. Karena itu, menjadi sangat penting bagi kita untuk memperbaiki proses ini.

Percakapan makan pagi bersama Stiglitz berkesimpulan bahwa Stiglitz tidak pernah menentang privatisasi, tapi dia menentang bad privatization dan menginginkan a better privatization dengan memperhatikan catatan di atas. Dan bagi kita, ketiga catatan Stiglitz menjadi pelajaran berharga dari pemenang Nobel untuk mendapatkan proses dan hasil privatisasi yang lebih baik (better privatization).

Tulisan ini diambil dari Koran Tempo, 27 Desember 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan