Tempat Sembunyi Hakim Korup

LAGI-LAGI institusi pengadilan memperoleh sorotan bukan karena putusan keadilan yang dijatuhkan, akan tetapi uang sogok yang diterimanya. Sudah lama banyak yang menandai bahwa salah satu tempat jual beli perkara ada pada lembaga yang sangat terhormat ini.

Ketika lebih dari 20 (dua puluh) tahun yang lalu istilah mafia peradilan diintroduksi, yang paling menentang penggunaan terminologi tersebut justru para petinggi dalam lingkungan pengadilan, dengan menyatakan di Indonesia tidak ada mafia peradilan.

Dalam waktu singkat dan berturut-turut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapat kasus memalukan, yaitu kasus suap seorang pejabat panitera Pengadilan Tinggi DKI dan jaringan suap yang melibatkan para petugas Mahkamah Agung. Sebenarnya jauh lebih banyak lagi yang tersembunyi dan ataupun tidak diekspos namun indikasi ke arah itu amatlah banyak.

Mahkamah Agung adalah puncak serta anutan dari seluruh pengadilan di bawahnya, sehingga penyimpangan yang terjadi akan merusak citra serta reputasi bangsa. Lebih dari itu kita semua tahu bahwa pengadilan adalah benteng terakhir bagi masyarakat serta para pencari keadilan. Apabila benteng tersebut dapat disuap dan permainan suap ada di lembaga Mahkamah Agung, maka sesungguhnya merupakan kondisi yang tidak dapat dimaafkan karena kredibilitas dan integritas keadilan tidak lagi dapat dibanggakan.

Banyak dilaporkan

Selama kurun waktu lebih dari 5 (lima) tahun sejak berdirinya KON (Komisi Ombudsman Nasional) laporan mengenai peradilan selalu mendominasi dan mencakup lebih 35% dari seluruh laporan. Tampaknya keadaan seperti ini kurang memperoleh perhatian dan dianggap sepele sehingga rekomendasi KON dianggap tidak penting padahal apabila Mahkamah Agung lebih responsif tentu akan memiliki dampak positif bagi kinerja mereka. Respons dari Mahkamah Agung (tahun ini 6,8%) menurut hemat kami sangat memprihatinkan.

Ketuhanan

Lembaga pengadilan adalah suatu institusi yang memiliki status agak aneh dan unik ketika mengadili dan memberikan keadilan mengenai masalah keduniawian (suatu kasus) pada saat itu keadilan yang diberikan mengatasnamakan Tuhan Yang Maha Esa. Dengan kata lain saat mengadili, kaki seorang hakim berada di alam fana dan pada saat yang sama kaki yang lain berada di alam baka.

Sebagai akibat ketika salah satu pihak ataupun anggota masyarakat mempertanyakan tidak adanya keadilan atas suatu putusan seorang hakim dengan enteng akan memberi jawaban bahwa ia bertanggung jawab kepada Tuhan. Di sini Tuhan bukan menjadi landasan keadilan, akan tetapi tempat sembunyi apabila ada pihak yang menggugat keadilan. Tempat sembunyi ini sangat ampuh karena tidak untuk dipertanggungjawabkan sekarang di dunia, tetapi nanti di akhirat sehingga tidak ada jalan keluar bagi mereka yang mempertanyakan keadilan.

Apakah keadilan yang diberikan tanggung jawab penegak hukum lain ataupun aparat penyelenggara negara tidak berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa? Mengapa hanya pengadilan yang secara formal mengemban landasan Ketuhanan Yang Maha Esa tersebut?

Substansial

Satu lagi tempat ampuh bagi penerima suap. Dalam kasus Pilkada Depok yang melibatkan Pengadilan Tinggi Jawa Barat, salah satu pembelaan yang dikemukakan adalah bahwa Komisi Yudisial telah memasuki wilayah kewenangan substansial atau teknis yuridis maupun teknis fungsional para hakim dalam memupus perkara.

Saat KPK bermaksud memeriksa hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara PT Taspen, Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan langsung menolak memberi izin dengan alasan bahwa hal tersebut merupakan masalah substansial, teknis fungsional yang menjadi kewenangan hakim, sebagai akibatnya KPK tidak berkutik dan tidak bisa berbuat apa-apa.

Sebenarnya banyak sekali kasus-kasus yang dilaporkan kepada KON masuk wilayah substansial namun nyata-nyata mengandung keanehan, misalnya putusan perdata yang melebihi gugatan, menggunakan data salah satu pihak perkara secara utuh, memasukkan uang titipan ke rekening pribadi, menghukum sangat ringan dan lain-lain.

Keanehan-keanehan semacam ini tidak pernah memperoleh tanggapan dengan dalih masalah kewenangan substansial. Tentu amat sulit untuk menemukan orang yang memberi suap atau menerima suap namun sangat mudah menemukan putusan, pertimbangan, ataupun proses aneh dan tidak masuk akal.

Independensi

Salah satu ciri universal dari pengadilan adalah independensi. Siapa pun tidak boleh mencampuri independensi hakim, namun bukan berari tidak bisa diawasi. Independensi atau kebebasan hakim dalam memutus perkara diberikan agar keadilan bisa dijamin tanpa campur tangan pihak luar, namun kebebasan tersebut bukan untuk menutupi praktik ketidakadilan dan ataupun upaya-upaya pengawasan.

Kebebasan dan keadilan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan tidak memiliki integritas meski sulit dibuktikan adanya suap. Sementara itu kebebasan hakim yang secara hukum dapat dipertanggungjawabkan namun bergelimang dengan uang juga tidak memiliki integritas.

Sekarang ini menjadi kata-kata yang amat lumrah diucapkan oleh majelis yang memutus sesuatu perkara. Dengan enteng mengatakan kepada terdakwa atau salah satu pihak, apabila ada yang tidak puas dengan putusan ini silakan banding. Mereka tidak merasa ada beban moral apabila putusannya dimohon banding atau diubah oleh pengadilan yang lebih tinggi.

Sekitar tahun 1960 banyak hakim yang sering minta kepada jaksa agar jangan banding karena merasa malu apabila putusannya, baik penerapan hukum dan ataupun hukumannya diubah. Sekarang justru tidak sedikit hakim yang menganjurkan atau menyarankan apabila tidak puas agar terdakwa banding.

Lebih dari itu belum ada suatu sistem tolok ukur keberhasilan serta karier hakim dari segi bobot putusan sejak tingkat pengadilan negeri, Pengadilan tinggi sampai Mahkamah Agung sebagai akibatnya independensi bukan menjadi sarana penentu keadilan tetapi menjadi sarana untuk menyimpangi keadilan.

Keadilan dapat dirasakan pada putusan hakim karena itu putusan hakim harus mencerminkan profesionalisme serta integritasnya, dengan kata lain putusan hakim adalah kehormatan yang harus dijaga serta diawasi.

Keterbukaan serta kesediaan untuk mau dikontrol merupakan sikap untuk mengurangi suap. Apabila pengadilan dalam hal ini Mahkamah Agung bersikap resisten (enggan) dengan dalih masalah substansi atau independensi hakim tentu kita tidak bisa mengharap banyak bahwa perilaku buruk dapat ditindak serta dicegah.

Tempat menindak atau mencegah bukan kepada pegawai rendahan, ruangan-ruangan pegawai ataupun para petugas piket tetapi pada sistem yang harus diciptakan secara lebih transparan. Terserah pada komitmen para petinggi pengadilan untuk bersedia membersihkan diri serta lingkungannya.

Antonius Sujata, Ketua Komisi Ombudsman Nasional, Jakarta

Tulisan ini disalin dari Media Indonesia, 19 Oktober 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan