Terdakwa Kasus Mi-17 Diadili

Swifth Air sudah tidak ada sejak 1999.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kemarin menyidangkan perkara koneksitas kasus dugaan korupsi pembelian empat helikopter Mi-17. Kasus itu melibatkan empat terdakwa, yakni bekas Direktur Pelaksanaan Anggaran Departemen Pertahanan Brigadir Jenderal (Purnawirawan) Prihandono, Kepala Pusat Keuangan Departemen Pertahanan Tardjani, bekas Kepala Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara Jakarta Mardjono, dan pengusaha Andy Kosasih.

Menurut jaksa Musyaman Faried, pengadaan dan pembayaran uang muka helikopter Mi-17 tidak sesuai dengan ketentuan. Pengadaan tidak sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000 dan surat keputusan Menteri Pertahanan, ujar jaksa membacakan dakwaan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kemarin.

Bermula pada 2002, Departemen Pertahanan mendapat alokasi kredit ekspor untuk pengadaan helikopter sebesar US$ 21 juta. Untuk pengadaan itu, dibentuk panitia lelang. Diperoleh tiga calon pemenang lelang dengan harga terendah dan dianggap memenuhi syarat administrasi, yaitu PT Esefa Krida, PT Chandra Eka Karya Pratama, dan PT Putra Pobiagan Mandiri.

PT Putra Pobiagan (Irzal Chaniago dan Andy Kosasih) sebagai pemenang lelang ditunjuk selaku agen tunggal dari Kazan dengan harga US$ 4,7 per unit. Tapi negosiasi dengan pihak Rusia diwakili Rosoboronexport Rusia belum bisa terlaksana karena harus ada garansi bank dan lisensi ekspor.

Andy, kata jaksa, lalu berunding dengan pihak Rusia dan dicarikan perusahaan di luar Indonesia yang berpengalaman di bidang pesawat terbang. Andy mengajukan Swifth Air Industrial Supply dari Singapura selaku supplier.

Dibentuklah tim antardepartemen yang meliputi Departemen Pertahanan, Departemen Keuangan, dan Bank Indonesia. Tujuannya, kata jaksa, merumuskan kontrak. Disepakati pembayaran uang muka 15 persen dari harga kontrak. Adapun sisanya, 85 persen, dibayarkan setelah itu.

Menurut jaksa, terdakwa Prihandono mengirim surat kepada Kepala Pusat Keuangan Departemen Pertahanan Tardjani perihal persetujuan kontrak. Itu tindakan melawan hukum karena tanpa dilampirkan bank garansi pembayaran uang muka, kata jaksa.

Adapun terdakwa Tardjani, kata jaksa, dinilai melakukan perbuatan melawan hukum dengan menerbitkan surat permintaan pembayaran pembangunan kepada Kepala Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara. Terdakwa menerbitkan surat perintah membayar uang muka dan menyatakan penyelesaian bank garansi menjadi tanggung jawabnya, kata jaksa.

Singkat cerita, dana pengadaan helikopter sebesar US$ 3,2 juta cair. Namun, setelah dicek oleh Mas Widjaja selaku pejabat Departemen Pertahanan, ternyata Swifth Air sudah tidak ada sejak 1999 dan dalam kondisi merugi. Modal awalnya hanya $Sin 100 ribu, kata jaksa.

Akibat perbuatan terdakwa, kata jaksa, negara rugi US$ 3,2 juta (sekitar Rp 29 miliar). Jumlah itu, kata jaksa, berdasarkan penghitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan pada 26 Februari 2007.

Josep Badeoda, pengacara Prihandono, menilai dakwaan jaksa tidak tepat. Sebab, kata dia, kliennya hanya meneruskan surat dari Direktur Jenderal Rencana Sistem Pertahanan. Rekomendasi itu hanya administrasi, ujarnya seusai sidang. Perihal garansi bank, Josep mengatakan, hal itu kewenangan kepala pusat keuangan, bukan kliennya. Sedangkan M. Ali, pengacara Mardjono, mengatakan akan menyanggah dakwaan jaksa dalam eksepsi pada persidangan pekan depan.Sukma N. Loppies

Sumber: Koran Tempo, 8 Juni 2007
-----------
Empat Terdakwa Pakai Perusahaan Bangkrut
Sidang Pertama Kasus Korupsi Helikopter Mi-17

Proses hukum terhadap dugaan korupsi pengadaan empat helikopter Mi-17 produksi Rusia mulai dilakukan. Kemarin empat terdakwa menjalani pengadilan koneksitas di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.

Dua mantan pejabat Departemen Pertahanan menjalani persidangan bersama dua pejabat sipil. Mereka adalah mantan Direktur Pelaksanaan Anggaran Direktorat Jenderal Perencanaan Sistem Pertahanan Departemen Pertahanan (Dephan) Brigjen (pur) TNI Prihandono, mantan Kepala Pusat Keuangan Dephan Tardjani, mantan Kepala Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN) Jakarta VI Mardjono, dan perwakilan Swift Air and Industrial Supply di Jakarta Andi Kosasih. Kasus mereka disidangkan dalam satu berkas.

Tim jaksa penuntut umum (JPU) yang diketuai Musyaman Faried mendakwa mereka dengan pasal berlapis. Dalam dakwaan primer, mereka dikenai pasal 2 ayat 1 jo pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Antikorupsi). Tak hanya itu, mereka juga dikenai pasal 3 jo pasal 18 UU Antikorupsi dalam dakwaan subsider.

Kasus itu bermula saat Dephan mendapatkan alokasi kredit ekspor (AKE) senilai USD 21,6 juta untuk pengadaan helikopter pada 2002. Melalui Surat Keputusan KSAD Jenderal TNI Ryamizard tanggal 10 Oktober 2002, PT Potra Pobiagan Mandiri (PPM) selaku agen tunggal Kazan Helikopters Rusia ditunjuk sebagai pemenang lelang untuk melaksanakan kontrak pengadaan helikopter Mi-17 seharga USD 4,76 juta per unit. PT Swifth Air dan Industrial Supply juga ditunjuk sebagai rekanan.

Kedua perusahaan tersebut ternyata tak aktif lagi sejak 1999 dan bahkan dalam kondisi bangkrut akibat merugi. JPU menyebutkan, penelitian yang dilakukan pejabat Departemen Pertahanan (Dephan) Mas Widjaja pada Februari 2004 juga menemukan Kantor Swifth Air berupa gudang kosong yang sama sekali tidak ada kegiatan.

Penelitian yang dilakukan pejabat Dephan Mas Widjaja juga menemukan bahwa Alternarig and Marine Supply SDN BHD, Malaysia, ternyata perusahaan yang tidak aktif sejak 31 Desember 1999 dan dalam kondisi keuangan merugi. Kantornya pun hanya berupa ruko kumuh dan rusak berat.

Para terdakwa mempunyai peran masing-masing dalam melakukan tindak pidana, ujar Musyaman. Terdakwa satu Brigjen TNI Prihandono secara melawan hukum mengirimkan surat kepada Kapuskeu Dephan tentang persetujuan penerbitan surat perintah pembayaran (SPP) untuk pembayaran uang muka USD 3,24 juta tanpa dilampirkan bank garansi.

Andy Kosasih selaku agen Swifth Air di Indonesia telah membuat surat pernyataan berupa kesanggupan menyerahkan bank garansi uang muka. Andy kemudian menyerahkan bank garansi yang dikeluarkan Bank Mandiri pada 5 Mei 2004 berupa advance payment bond senilai USD 3,24 juta dan performance bond senilai USD 1,08 juta. Namun, setelah Dephan mengecek, ternyata Bank Mandiri tidak pernah menerbitkan bank garansi yang diserahkan Andy tersebut, tambah JPU.

Pencairan uang negara yang dilakukan terdakwa satu, dua, dan tiga bertentangan dengan Keppres No 18 Tahun 2000 yang menyatakan bahwa pembayaran uang muka dilakukan setelah penyedia barang dan jasa menyerahkan surat jaminan muka.

Ketiganya didakwa telah memperkaya terdakwa empat, Andy Kosasih, dan merugikan negara USD 3,24 juta atau setara Rp 29,1 miliar pada 2002. (ein)

Sumber: Jawa Pos, 8 Juni 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan