Teror Politik Proses Hukum

Dalam rapat Badan Musyawarah DPR, Selasa (3/10), Panitia Kerja Penegakan Hukum dan Pemerintahan Daerah, yang merupakan gabungan Komisi II dan III, menilai proses hukum yang dilakukan atas anggota DPRD dalam berbagai kasus korupsi sudah mengarah ke kriminalisasi politik kebijakan pemerintah daerah (Kompas, 4/10).

Karena penilaian itu, Panitia Kerja meminta Presiden segera merehabilitasi dan memulihkan nama baik serta segenap hak anggota DPRD dan kepala daerah. Terkait dengan hal itu, Panitia Kerja meminta agar Presiden menegur keras Jaksa Agung karena tidak tepat menggunakan dasar hukum dan tidak mampu memimpin aparat kejaksaan di daerah dalam menangani kasus korupsi.

Melihat perkembangan yang terjadi di DPR dalam beberapa waktu terakhir, penilaian Panitia Kerja bukan sesuatu yang aneh. Misalnya Effendy Choirie, anggota DPR dari Fraksi Kebangkitan Bangsa, menilai bahwa selama dua tahun perjalanan DPR Periode tahun 2004-2009 semangat reformasi terasa semakin pudar (Kompas, 2/10). Sulit untuk dibantah, salah satu semangat reformasi yang terdegradasi adalah agenda pemberantasan korupsi.

PP No 110/2000
Argumen utama yang digunakan Panitia Kerja untuk menyatakan bahwa telah terjadi kriminalisasi politik kebijakan pemerintahan daerah terkait dengan Peraturan Pemerintah Nomor 110 Tahun 2002 tentang Kedudukan Keuangan DPRD (PP No 110/2000). Ketika itu, sesuai dengan amanat Pasal 39 UU No 4/1999 tentang Susduk dan Pasal 78 UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah telah memberlakukan PP No 110/2000 sebagai acuan dalam menyusun keuangan DPRD.

Dalam perkembangannya, DPRD Provinsi Sumatera Barat mengajukan gugatan hak uji materiil PP No 110/2000 dan Mahkamah Agung (MA) mengabulkan gugatan tersebut. Karena dinyatakan bertentangan (tegengesteld) dengan UU No 4/1999 dan UU No 22/1999, MA menyatakan PP No 110/2000 batal dan tidak mempunyai kekuatan mengikat. Untuk itu, MA memerintahkan tergugat (dalam hal ini Presiden RI) segera mencabut PP No 110/2000 dengan ketentuan apabila dalam waktu 90 hari setelah putusan disampaikan tidak dilakukan pencabutan, demi hukum PP 110/2000 tidak mempunyai kekuatan hukum.

Dengan hasil itu, semua anggota DPRD yang diproses dalam kasus korupsi APBD menolak proses hukum yang dilakukan kepolisian dan kejaksaan. Bagi mereka, dengan dikabulkannya permohonan uji materiil tersebut, tidak ada lagi alasan hukum untuk mempersoalkan pelanggaran PP No 110/2000. Barangkali, alasan itu juga yang digunakan Panitia Kerja DPR untuk mengatakan bahwa penanganan kasus korupsi di daerah mengarah ke kriminalisasi politik kebijakan pemerintah daerah.

Kalau hanya hasil hak uji materiil tersebut yang digunakan untuk mengatakan telah terjadi kriminalisasi, argumentasi itu amat lemah. Putusan uji materiil MA hanya menyatakan PP No 110/2000 batal, bukan batal demi hukum. Dengan amar demikian, PP No 110/2000 tetap berlaku (the existing laws) setidak-tidaknya sampai ada tidak lanjut dalam bentuk pencabutan oleh pemerintah. Akan berbeda halnya kalau amar putusan MA menyatakan batal demi hukum, maka PP No 110/2000 harus dianggap tidak pernah ada. Dengan argumentasi itu, semua penyimpangan penyusunan anggaran DPRD sejak berlakunya PP No 110/2000 dapat dijangkau dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

Barangkali, perdebatan mendalam baru diperlukan kalau penyimpangan PP No 110/2000 terjadi setelah putusan MA. Berdasarkan putusan MA, PP No 110/2000 tidak lagi punya kekuatan hukum apabila dalam waktu 90 hari setelah putusan disampaikan tidak dilakukan pencabutan oleh Presiden RI. Dari catatan yang ada, hasil uji materiil baru disampaikan ke pihak terkait pada tanggal 27 Desember 2002.

Dengan menggunakan tanggal 27 Desember 2002 sebagai hitungan awal masa tenggang 90 hari

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan