Teror Terhadap Aktivis Antikorupsi
Pelemparan bom molotov ke kantor Tempo dan penganiayaan terhadap Tama Satrya Langkun, aktivis ICW, mengundang perhatian publik. Bahkan, presiden ikut memberikan atensi atas kasus tersebut. Dua peristiwa ini menandakan bahwa teror masih dianggap efektif untuk meredam gerakan antikorupsi.
Peristiwa yang terjadi beruntun tersebut menimbulkan tanda tanya besar. Mengapa peristiwa itu terjadi dalam waktu hampir bersamaan? Mengapa peristiwa itu terjadi setelah ada pengungkapan rekening gemuk para perwira tinggi Polri? Siapa sebenarnya pelaku di balik dua kasus tersebut?
Melihat kasus tersebut terkait dengan lembaga kepolisian, muncul spekulasi bahwa yang melakukan teror adalah Polri. Tetapi, tudingan ini telah dibantah Kapolri. Bahkan, Kapolri mengatakan bahwa itu merupakan taktik adu domba antara kepolisian dan Tempo.
Bila benar Polri merasa diadu domba, adalah tugas Polri untuk mengusut tuntas pelaku teror tersebut. Keberhasilan Polri mengusut tuntas kasus ini tidak hanya akan mampu mengungkap siapa pelaku dan dalang di balik semua ini. Lebih jauh, keberhasilan itu akan meyakinkan publik bahwa doktrin polisi yang tidak menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan masalah akan diakui.
Namun, bila polisi tidak bisa mengusut tuntas kasus tersebut atau diusut tetapi tidak tuntas, publik akan berkesimpulan bahwa pihak kepolisian layak dituduh bertanggung jawab.
Memang menganalisis dua kasus di atas tidak bisa hanya dari satu kacamata. Harus digunakan banyak sudut pandang. Hal ini mengingat banyak masalah yang mengitari kasus tersebut. Menurut saya, setidaknya ada tiga sudut pandang yang bisa dipergunakan.
Pertama, menjelang pergantian pucuk pimpinan Polri, bisa saja kini terjadi conflict of interest antara kelompok di internal tubuh kepolisian sendiri untuk merebut posisi orang nomor satu di lembaga itu. Salah satu caranya adalah merekayasa kasus rekening gemuk tersebut menjadi masalah besar, melebar, dan berkepanjangan. Dengan cara seperti itu, para perwira tinggi yang diuntungkan saat kepemimpinan Jenderal Bambang Hendarso Danuri bisa digeser untuk tidak berjaya di puncak kepemimpinan ke depan.
Kedua, bisa saja kedua kasus tersebut merupakan rekayasa untuk mengalihkan pengusutan rekening gemuk yang secara terbuka sudah menjadi konsumsi publik. Sebab, kasus tersebut sulit dipetieskan karena banyak pihak yang menuntut penuntasannya. Bahkan, Presiden SBY atas desakan SMS publik juga sudah meminta Kapolri menuntaskan kasus tersebut.
Ketiga, bisa saja yang melakukan teror itu tidak ada kaitan langsung dengan institusi kepolisian. Mungkin ada pihak-pihak yang merasa gerah dengan pengungkapan kasus rekening gemuk tersebut. Sebab, kalau terkuak tuntas, hal itu akan menyeret banyak pihak di luar kepolisian. Kelompok-kelompok kepentingan ini harus mengambil langkah sebelum semua terjadi, sehingga cara-cara teror menjadi pilihan.
Teror terhadap Antikorupsi
Istilah teror dan intimidasi sangat populer di Indonesia pada masa pemerintahan Orde Baru. Saat itu negara dikelola dengan manajemen teror. Dengan sistem menajemen teror, penguasa mampu mengendalikan semua lini kehidupan. Teror diyakini ampuh untuk menyelesaikan masalah-masalah besar negara.
Di era reformasi pun ternyata hal itu belum bisa dihapuskan. Hanya, setelah sepuluh tahun reformasi bergulir, tampaknya ada pergeseran medan yang menjadi sasaran teror. Bila pada masa Orde Baru dan sebelum 2000-an, isu teror ditujukan kepada mereka yang intens di bidang penegakan hak asasi manusia (HAM). Terakhir yang kita saksikan adalah kasus pembunuhan Munir.
Pasca pembunuhan Munir, tampaknya, isu-isu HAM tidak lagi menjadi isu besar yang bisa mematikan karir elite politik atau kelompok di Indonesia. Lalu isu HAM bergeser ke isu pemberantasan korupsi. Karena itu, pascareformasi, isu HAM tidak seksi lagi. Isu-isu HAM yang muncul masih bisa diselesaikan dengan pendekatan-pendekatan politis.
Di tengah melemahnya isu-isu HAM, merebaklah isu-isu pengungkapan korupsi dan pemberantasannya. Isu-isu korupsi ini tidak hanya melibatkan pejabat eksekutif, TNI-Polri, legislatif, dan yudikatif, melainkan semua orang yang menjadi kroni kekuasaan. Masalah korupsi tidak hanya berurusan dengan denda dan pidana, tetapi bisa membunuh karir politik para elite pemegang kekuasaan semua level, baik individu maupun kelompok.
Karena itu, isu korupsi lebih mengancam daripada HAM. Dengan demikian, teror-teror yang muncul sekarang lebih banyak dialamatkan kepada aktivis antikorupsi daripada aktifvis HAM.
Teror terhadap gerakan antikorupsi secara sistematis sudah dilakukan dengan mengkriminalisasikan para pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dengan adanya kriminalisasi pimpinan KPK, pemberantasan korupsi mengalami pelemahan yang signifikan. Negosiasi-negosiasi politik bisa memengaruhi arah pemberantasan korupsi. Kondisi ini sangat berbeda dengan sebelumnya, yakni KPK sangat power full dan ditakuti karena ketegasannya.
Setelah KPK berhasil dilemahkan, kekuatan civil society di sektor pemberantasan korupsi masih memiliki daya dobrak. Kebebasan pers dan keterbukaan informasi publik yang diimplementasikan di dunia LSM menjadikan masih adanya ruang gerak bagi gerakan antikorupsi. Karena itu, teror terhadap majalah Tempo dan aktivis ICW adalah langkah lanjutan dari upaya teror terhadap gerakan antikorupsi. Bila KPK telah berhasil dilemahkan, pers dan LSM adalah lembaga civil society yang harus dilemahkan berikutnya. Caranya bisa melalui kooptasi ataupun teror.
Jabir Alfaruqi, koordinator Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KP2KKN) Jawa Tengah
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 12 Juli 2010