Tetap Tegas di Tengah Sarana yang Serba Terbatas

Achmad Linoch, Hakim yang Dipinggirkan karena Menentang Petinggi MA

Gara-gara ngotot menghadirkan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan sebagai saksi dalam kasus suap, Achmad Linoch, salah satu hakim ad hoc tipikor, dicopot dari keanggotaan majelis hakim yang mengadili perkara tersebut. Salah satu alasan Linoch ngotot dengan sikapnya itu, dia malu kepada mahasiswa yang pernah diajarnya.

BAHARI, Jakarta

Sebagian besar rambut Linoch sudah memutih. Umurnya sudah 66 tahun dan gaya bicaranya tegas.

Ketika ditemui Jawa Pos kemarin siang di ruang kerjanya di Pengadilan Tipikor, Kuningan Jakarta, Linoch baru saja selesai menyidangkan kasus dugaan korupsi dengan terdakwa mantan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Theo F. Toemion. Dia menjadi anggota majelis hakim kasus itu bersama I Made Hendra Kusuma.

Nama Linoch, Hendra, dan Dudu Duswara (ketiganya hakim ad hoc Tipikor) sempat menjadi pemberitaan ramai di media massa. Ini terkait kasus suap di MA dengan terdakwa Harini Wijoso. Sebelumnya, mereka adalah anggota majelis hakim yang menyidangkan kasus tersebut.

Polemik terjadi ketika Linoch, Hendra, dan Dudu bersikukuh menghadirkan Bagir Manan dalam sidang itu sebagai saksi. Ini setelah nama Bagir disebut-sebut Harini dalam kasus tersebut. Tapi, permintaan tiga hakim ad hoc itu ditolak Ketua Majelis Hakim Kresna Menon. Karena permintaannya ditolak, mereka sempat walk out. Akhirnya, ketiganya dicopot dari keanggotaan majelis hakim.

Saya lebih baik dicopot daripada harus membohongi diri sendiri, kata Linoch. Meski dicopot, saya tetap beraktivitas seperti biasa. Sama sekali tidak terpengaruh (pencopotan itu), tambahnya.

Kami bertiga bangga bisa tetap bertahan pada pendirian kami meski mendapat banyak tekanan dari sana-sini. Kami yakin prosedur ini (menghadirkan Bagir dalam sidang) yang benar. Jelek-jelek begini, saya ini dosen pengajar hukum acara pidana selama 30 tahun, jelasnya.

Atas kegigihan sikapnya itu, Linoch tak hanya didukung keluarga. Dia juga mendapat empati dari para kolega dan aktivis LSM. Para mahasiswa di Universitas Jember (Unej) yang pernah diajar Linoch selama 30 tahun, mengirimkan ucapan simpati. Justru kalau kami tidak ngotot menghadirkan Pak Bagir Manan, saya malu dengan murid-murid saya. Bisa-bisa saya dicap tak becus, karena bertolak belakang dengan apa yang diajarkan selama ini. Sebab, hukum acaranya mengharuskan Pak Bagir dihadirkan di persidangan, ungkap bapak satu anak dan empat cucu itu.

Alasan Linoch ngotot menghadirkan Bagir dalam sidang juga pernah disampaikan di depan Wakil Ketua MA Bidang Yudisial Mariana Sutadi. Tapi, alasan yang kami ungkapkan bahwa menghadirkan Pak Bagir Manan justru bisa menjernihkan persoalan, sepertinya tak ditanggapi. Makanya kami agak kecewa, ungkapnya.

Sebaliknya, Linoch dan kedua rekannya secara tersirat mengaku terus dipojokkan oleh Mariana Sutadi yang mempersoalkan aksi walk out-nya dari persidangan selama enam kali. Sebaliknya, Mariana tidak sekali pun menyinggung sikap majelis hakim Kresna Menon dan rekannya, Sutiyono, yang menolak menghadirkan saksi Bagir Manan. Padahal, alasannya tidak begitu kuat.

Penjelasan kami sepertinya tak dianggap, aku pria kelahiran Mojokerto, 2 November 1940 itu.

Seorang sumber di MA menceritakan, saat Linoch bertemu Mariana, terjadi aksi saling gebrak meja. Mariana sempat emosi dan menggebrak meja. Tindakan ini dibalas Linoch dengan menggebrak meja juga. Benarkah? Ketika dikonfirmasi, Linoch terkesan tak membenarkan, juga tak menyalahkan. Soal gebrak meja segala itu tak perlu saya tanggapi. Nanti malah tambah panas. Tapi, Anda perlu tahu, saya orangnya tak bisa ditekan. Kalau ada orang bertutur kata lembut, saya lebih halus lagi. Sebaliknya, kalau ada orang bicara kasar, saya bisa lebih kasar, ingat Linoch, bekas anak tentara yang asli Kandangan, Kalimantan Selatan, ini.

Linoch, Hendra, dan Dudu merupakan sedikit hakim ad hoc tipikor gelombang pertama yang direkrut MA sejak Juli 2004 untuk menangani kasus korupsi kelas kakap. Ironisnya, fasilitas yang diberikan negara kepada hakim ad hoc itu tak sebanding, bahkan sangat minim. Ini kontras dengan tugas dan tanggung jawabnya yang berat dalam menangani kasus korupsi miliaran rupiah.

Bahkan, mereka pernah tidak menerima gaji yang biasa disebut tunjangan kehormatan selama 10 bulan saat mulai bertugas di pengadilan tipikor. Selama itu pula, Linoch, Hendra, dan Dudu terpaksa bertahan hidup hanya mengandalkan mantab (makan tabungan). Setelah mantab habis, mereka bertiga pun bertahan pada matang (makan dengan utang) sana-sini pada keluarga dan kolega.

Fasilitas tempat tinggal pun sangat sederhana. Mereka diinapkan di satu kamar apartemen di Kemayoran milik Setneg. Jangan heran kalau kerabat mereka yang datang ke Jakarta terpaksa tidur di sofa karpet, kursi, atau lantai dengan membeber tikar. Habis tidak ada tempat yang layak lagi, ungkapnya.

Karena itu, ketiga hakim ad hoc tersebut tidak berani mengajak istri dan keluarganya ke Jakarta. Sebulan, dua atau tiga bulan sekali mereka pulang ke kota asal untuk menjenguk keluarga. Atau, sebaliknya, anak atau istri disuruh datang ke Jakarta. Itu kondisi awal tugas kami sebagai hakim ad hoc mulai Juli 2004, papar Linoch.

Bahkan, untuk membeli kertas, tinta untuk berita acara, mereka harus berpatungan dan bergotong royong mengetik agar tidak bocor ke pihak yang tidak bertanggung jawab. Begitu juga mobil dinas untuk mereka hanya satu. Dengan demikian, Linoch, Dudu, dan Hendra pulang pergi ke kantor selalu bersama. Itu pun hanya sebatas antar jemput. Tapi, kondisi tersebut hanya berlangsung tiga bulan. Setelah itu mobil dinas ditarik pengadilan. Alasannya, tidak ada uang bensin. Sejak itu, terpaksa ketiga hakim ad hoc tadi naik angkutan umum. Karena jarak tempat tinggal di Kemayoran dan kantor di Kuningan cukup jauh, dan dikenal daerah macet, mereka sering terlambat masuk kantor. Akhirnya, KPK meminjami mobil untuk antar jemput.

Namun, dalam dua bulan belakangan ini, kertas dan tinta untuk membuat berita acara sudah ditanggung pihak pengadilan. Begitu juga kamar. Dulu satu kamar untuk tiga orang, sekarang satu hakim mendapat satu kamar.

Dengan fasilitas serba terbatas itu, banyak pihak khawatir hakim ad hoc mudah tergoda dan melacurkan independensinya dalam memutus perkara. Ternyata, itu tidak berlaku bagi Linoch, Hendra, dan Dudu. Terbukti, beberapa kasus yang disidangkan diputus dengan hukuman yang pantas, bahkan cenderung lebih berat. Misalnya, kasus mantan Gubernur Abdullah Puteh, mantan Ketua KPU Nazarudin Syamsuddin, mantan anggota KPU Mulyana W. Kusumah, dan matnan Sekjen KPU S. Yussac.

Meski fasilitas serba terbatas, kami tidak akan tergoda, apalagi memanfaatkan jabatan, untuk kepentingan pribadi. Kami sudah bersumpah kepada 210 juta rakyat Indonesia untuk memberantas korupsi. Itu amanat yang kami pegang sampai mati, aku Linoch berapi-api.(*)

Sumber: Jawa Pos, 21 Juni 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan